Lebih lanjut, Ilmuwan penemu ubikayu Rastana ini mengemukakan bahwa singkong unggul yang sebelumnya dikenal sebagai Varietas Gajah ini tidak sekadar bahan pangan, tetapi kulitnya bisa untuk briket (bahan bakar), selain tepung kanjinya bisa sebagai pengganti tepung gandum.
Sesuai dengan potensi Indonesia yang mampu menjadi penghasil singkong terbesar di dunia, maka tentunya juga berpotensi untuk menjadi negara penghasil makanan olahan dari singkong terbesar di dunia.
Di mana ada singkong, di situ ada ubi, sepertinya berlaku di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan singkong dapat sekaligus pengembangan ubi. Karena produk olahan ubi dan produk olahan singkong sama-sama memiliki potensi pasar yang besar. Â
Seperti Bogor,  juga sudah mulai memasarkan produk unggulan ubi  (jalar / rambat). Olahan ubi ini bisa banyak sekali variannya, seperti: Bolu  dan keripik ubi ungu yang sangat lezat, dodol, kue kering, dll.
Singkong banyak ditemui di Asia pada khususnya, dan  di beberapa belahan bumi lain pada umumnya, di antaranya di Amerika Selatan dan Kanada.
Saat ini  singkong dan ubi memang bukan makanan pokok, alias hanya  makanan selingan. Tetapi dalam kenyataannya semakin banyak saja orang-orang yang menyukainya di seluruh dunia.
Oleh karena itu, maka singkong dan ubi mempunyai potensi menjadi media diplomasi antar bangsa melalui kesamaan selera makanan atas produk olahan singkong dan ubi.
Berdasarkan uraian-uraian di atas,  sudah saatnya Tiwul Ala Indonesia, Getok Lindri Ala Indonesia, Bolu Ala Indonesia,  Keripik Ala Indonesia, Slondok Ala Indonesia, dan lain-lain makanan olahan dari  singkong  atau ubi yang berasal dari Indonesia, tersaji menggugah selera di restoran bergengsi di seluruh dunia.
Hal ini, tentunya harus dimulai dari penciptaan inovasi makanan dari singkong  dan ubi yang go-international.Â
Dengan demikian,  produk olahan dari singkong dan ubi Ala Indonesia dapat  menyusul bahkan melampaui Singkong Ala Thai di kancah internasional. Semoga. (S.Sumas / sugiarto@sumas.biz).