D.I. Yogyakarta “BENTENG BUDAYA NUSANTARA”, jika runtuh R.I. diserbu “Allien” pembawa sampah dan wabah. Kalau tegar pembawa berkah. Waspada!
Saya mantan Market Analyst yang terbiasa memanfatkan “Visionary Strategic Thinking”, yang tumpuannya paduan “military intelligence, economic intelligence, prophetic intelligence”. Pedomannya “Super Symbolic Economy” (Alvin Toffler, POWER SHIFT, 1991) dan “Spiritualization Integrated Marketing Economy” (Francis Fukuyama, TRUST, 1996). Saya juga berupaya menjadi “symbol analyst” yang “future oriented”, karena di masa depan mereka yang memahami symbolism akan “survive”, dan yang mampu menciptakan aneka symbols akan “leading”. Ini seiring dengan “power shift” dari “military power” yang bertumpu pada I.M.C. (industrial military complex) ke “economic power” yang bertumpu pada I.T. (information technology), kini sudah mulai beringsut lagi ke arah “Cultural Power” yang bertumpu pada “spiritualization eco tourism”.
“UFO di Yogyakarta” atau “Crop Circle” saya lihat sebagai “peluang pasar” (market opportunity), yang bisa “dijual” sebagai symbol, logo, atau “trade mark” D.I. Yogyakarta (artistic design). Apabila DIY tetap tegar sebagai “Benteng Budaya Nusantara”, maka akan berdampak positif bagi NKRI. Sudah barang tentu apabila fenomena UFO ini memiliki “value added”, berkat diungkap misterinya oleh para cendekiawan Indonesia berdasarkan kajian ilmiah. Indonesia memiliki potensi “competitive advantages” menghadapi “cultural warfare” mendatang. Ini peluang dan tantangan yang mulia, sebaiknya dimanfaatkan. Tapi siapa ya, yang peduli (Q.S. 33 Al Ahzab 72-73)?
“Crop Circle Yogyakarta” terkesan canggih, karena berpola yang kelihatannya punya makna simbolik. Aneka pola fenomena seperti itu kelihatan rapih, dan terkesan dibuat berdasarkan pandangan dari tempat yang tinggi (bird eye view). Pandangan horizontal di atas tanah tak sempurna, baru sempurna apabila dilihat persis dari atasnya, ini hanya dimungkinkan apabila naik pesawat dirgantara. Kerja manual tidak mungkin begitu rapih yang dirampungkan dalam waktu amat singkat, apalagi dalam kegelapan malam. Dari pendekatan budaya juga tak bisa diterima, karena bangsa Indonesia berpantang merusak tanaman padi, apalagi orang Yogya. Padahal areal “crop circle” tersebut cukup luas, dan letaknya dekat perkampungan. Jadi, ini bukan kerja orang Indonesia. Dugaan saya, ini dikerjakan dengan peralatan teknologi canggih yang “computerize programmed”, termasuk pembuatan desain polanya. Ini untuk dinikmati keindahannya dari angkasa, seperti halnya “Nasca Lines”, yang menggambarkan pola aneka binatang dalam ukuran raksasa, dan terhampar lebih dari 450 Km di daerah Pampas de Jumana, Chili (Amerika Selatan). Namun perlu dipertanyakan, mengapa yang sekarang ini lokasinya di ladang jagung atau ladang gandum, dan di Yogya di persawahan yang padinya sedang menghijau? Apa sebabnya, apa pula maknanya? Saya “market analyst”, maka melihat keuntungan “multi dimensi” bila misteri ini.bisa terkuak, apalagi dasarnya ilmiah.
AL QUR’AN mengisyaratkan agar manusia mempelajari UFO, karena ada hubungannya dengan transportasi udara yang semakin vital tapi bermasalah, utamanya terkait dengan keselamatan dan polusi (udara maupun suara). Di samping itu juga untuk menghadang “Apocalypse threat” yang tampil sebagai bahaya nuklir. Ini jelas amat serius, sehingga tak pantas jadi pergunjingan orang yang awam, tapi sudah selayaknya menjadi bahan diskusi bagi kaum cerdik-pandai, yang waskita serta luas dan luwes pandangannya. Fenomena ini juga “test cases” bagi para agamawan yang berminat mengkaji agama secara “kaffah” (holistic approach, integrated efforts). “Visionary Strategic Thinking” bagi yang beriman. Presiden pun tidak terkecualinya, maka sebaiknya menaruh cukup perhatian pada masalah ini.
“IMAGINE” – John Lenon.
Imagine there's no heaven, it's easy if you try. No hell below us, above us only sky. Imagine all the people living for today, ah!
“IMAGINARY DIALOGUE with Prof. DR. Ahmad Baiquni”.
(Baiquni, Ahmad, MSc, Ph.D. ISLAM DAN PENGETAHUAN MODERN, 1983).
“SEMBILAN” sebagai “Unify Numeric Symbolism” tercatat di berbagai Kitab Suci agama-agama yang beragam, juga tersurat dan tersirat dalam aneka symbols atau logo-logo agama. Pakuah logo agama TAO (Cina) memiliki 1 + 8 = 9 titik, Mandala logo agama HINDU, Swastika logo agama BUDDHA, dan KA’BAH logo Millah Ibrahim juga memiliki komposisi dan jumlah titik yang sama. KA’BAH memiliki 12 garis, demikian pula Bintang Daud logo agama YAHUDI, Salib logo agama NASRANI, dan Bulan Bintang logo agama ISLAM, kalau 12 dipangkatkan 2 = 144 > 1+4+4 = 9. Bilangan “Sembilan” ini tercatat dalam INJIL Perjanjian Baru: Wahyu 7; AL QUR’AN Surah 27 An Naml 12, 48; BHAGAVAT GITA Bab V (13); TAO THE CHING Bab 64.
Q.S. 69 AL HAQQAH ayat 17.
Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atasmereka.
Cosmologia:
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa telah diciptakan “delapan Cosmos”, yang substansinya bersumber dari “satu ‘Arsy.
Anthropologia:
Ayat tersebut juga berlaku bagi komposisi manusia yang terdiri dari satu komponen “jasad” dengan delapan komponen “mental”.
"BIG BANG THEORY" atau "Inflation theory", mengisyaratkan terjadinya lebih dari satu Cosmos. Para ilmuwan belum tahu persis berapa jumlah yang sebenarnya. Namun mereka sudah meyakini adanya "Shadow World" kembaran Cosmos yang kita huni. Walaupun demikian mereka pun masih bertanya, apakah posisinya terpisah ataukah "overlapping"?
Pertanyaan pertama bisa dicarikan jawabannya melalui ayat-ayat tersebut di atas.
Pertanyaan kedua barangkali bisa kita temukan jawabannya, apabila kita hubungkan dengan AL QUR'AN Surah ke-72 Al Jin. Kemudian dikonfirmasikan dengan wayang purwo kisah "Pendowo Mbabad Alas Martani", yang mengisyaratkan keberadaannya “overlapping”. Dan kenyataannya bisa disaksikan di segenap penjuru Nusantara.
UFO dan Awak Pesawatnya juga bisa kita cari datanya di dalam Al Qur’an, utamanya Q.S. 34 SABA’. Daripadanya kita boleh menduga bahwanya sebenarnya fenomena UFO adalah realistic, merupakan warisan ilmu dan teknologi Nabi Sulaiman a.s. Jadi asalnya bukan dari luar angkasa, karena menurut perhitungan Carl Sagan, perjalanannya ke bumi akan mengkonsumsi enerji yang amat banyak. Pandangannya “reasonable”, karena jumlah dan frekwensi penampakan UFO relative tinggi, sehingga kecil kemungkinannya berasal dari luar angkasa yang jauh. Ihwal awak pesawatnya kita bisa carikan referensinya melalui Q.S. 72 Al Jin, dan kenyataannya bisa kita bandingkan dengan permainan “Nini Towok” di Jawa Tengah, “Lukah Gilo” di Sumatera Barat dan Kerici, atau “Bambu Gila” di Ternate (Maluku Utara). Selama ini yang nampak oleh manusia adalah awak UFO yang sebenarnya “Robot”, namun “software” penggeraknya adalah “mahluk halus” sebangsa Jin. Namun diduga pula ada lagi mahluk UFO jenis lain, yaitu “intelligence creature” yang seangkatan dengan Dinosaurus, tapi masih “survive”. Ini spekulasi saya, karena untuk membuktikannya sudah barang tentu memerlukan kerjasama dengan NASA. Namun dipastikan akan menghadapi “communication constrain” dan sekaligus “psychological barrier”, karena kemungkinan besar para ahlinya akan berpantang, karena mengagapnya tahyul belaka.
“Piring Terbang” (Flying Saucer) sudah sering disaksikan orang, namun “Pesawat Induknya” (Mother Ship) yangberbetuk “cerutu” sangat jarang terlihat. Ini bisa dipahami, karena biasanya pesawat induknya menyelam di kedalam laut, hanya sekali-kali terbang mengudara. Bentuknya seperti Balon Zeppelin milik Jerman sebelum PD II, atau seperti kapal selam nuklir yang terbalik (tower di bawah). Pesawat induknya pernah terlihat di atas laut New Zealand bagian selatan, dan juga di atas pegunungan Andes, Amerika Selatan.
Ada sarjana alumnus ITB yang pernah menyaksikan pesawat UFO di Malang, sekarang kejadian di Yogyakarta, dan lebih sering di bagian selatan pulau Jawa. Ini bisa kita hubungkan dengan kehadiran UFO yang frekwensinya tinggi di belahan bumi Selatan, seperti Afrika Selatan, Australia, New Zealand, Amerika Selatan, dan yang perlu perhatikan Antartica. Diduga “station UFO” berada di kedalaman laut benua ini, sedangkan yang di “Bermuda Triangle” hanyalah sekedar “terminal”, ataukah milikmahluk yang berbeda? Team ahli Jepang pernah merencanakan akan menelitinya dengan mengendarai kapal selam khusus, namun sampai sekarang saya belum mengetahui hasilnya.
Dari fenomena UFO sepertinya terkandung pesan, bahwasanya manusia sebaiknya mengadopsi teknologinya untuk menggantikan tenologi dirgantara yang ada sekarang. UFO memiliki “comparative advantages” dalam hal “safety” yang prima, “speed and maneuverability” yang tinggi, “sound and air pollution” rendah. UFO pernah menonaktifkan “control systems” rudal nuklir di beberapa pangkalan di Amerika Serikat, inilah yang diharapkan akan meredam bahaya perang nuklir di masa depan. Ini bukanlah urusan para amatir, maka seyogyanya juga menjadi perhatian yang serius oleh para ilmuwan dan Pemerintah Republik Indonesia.
Permainan (games) ditangani secara serius di Barat, sehingga menjadi “duit” dan memperluas lapangan kerja. Indonesia lain pula geliatnya, seni budaya tradisi yang adhiluhung dipermainkan oleh kaum elite negeri ini. Wayang purwo, yang sebenarnya “meditative arts” yang disakralkan, kini justru dilecehkan oleh ulah para dalang sendiri. “Nilai jual” jadi semakin rendah, dan “audiences” pun merosot. Fenomena UFO Yogyakarta juga dijadikan plesetan, padahal sekurang-kurangnya bisa dieksploitir untuk keuntungan ekonomis. Kini gejala “self destruction” marak di mana-mana. Sungguh tak terpuji, mengapa semakin banyak orang yang merasa nikmat mencemohkan budaya tradisi. Lebih parah lagi, sebagian merasa orgasm mengolok-olok bangsa sendiri. SWOT Analysis, adakah yang bisa diadalkan bangsa Indonesia untuk berkompetisi dalam CULTURAL WARFARE?
Salam hormat,
The Sunset Generation.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H