Salah satu dari enam temuan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 seperti yang disampaikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah  ditemukan  adanya dugaan pelibatan pejabat BUMD, BUMN, anggota TNI/Polri, kepala  daerah, aparatur sipil negara (ASN) hingga kepala desa dalam kampanye  Pilkada Serentak 2018. Dugaan pelanggaran itu tersebar di 14 provinsi dan 76 kabupaten/kota.
Bawaslu mencatat ada 425 pelibatan pihak yang dilarang tersebut dalam kampanye pilkada serentak 2018 (Kompas 13 Maret 2018). Padahal sebagaimana yang kita ketahui pihak-pihak itu dilarang terlibat pada kampanye pilkada sesuai  dengan ketentuan undang-undang. Pelibatan ASN menjadi poin yang penting dalam temuan Bawaslu tersebut apalagi sejak awal Netralitas ASN harus dijaga supaya tidak terlibat /melibatkan diri dala pilkada supaya tidak terjadi konflik kepentingan dan keberpihakan pada kepentingan politik pasangan calon.Â
ASN diharapkan senantiasa dapat menjunjung tinggi profesionalisme dan tidak memihak dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak tergantung kepada orientasi politik masyarakat yang dilayaninya. Â Siapapun harus dilayani dengan baik tidak melihat kelompok, golongan ataupun kepentingan politiknya. Â Terjaganya netralitas ASN ini diharapkan tidak terjadi konflik kepentingan atau tindakan keberpihakan yang terjadi dalam lingkungan kerja birokrasi yang dilakukan oleh oknum ASN yang mengarah kepada aktivitas politik atau kegiatan politik praktis selama penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018.
Pentingnya untuk menjaga netralias ASN ini juga selaras dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 2 huruf f dinyatakan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah netralitas. Dalam hal ini netralitas berarti bahwa setiap ASN tidak berpihak pada segala bentuk pengaruh dari manapun datangnya dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Â
Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Bawaslu bertugas untuk mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN), netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia. Â Bawaslu juga berwenang merekomendasikan kepada instansi yang bersangkutan mengenai hasil pengawasan terhadap ASN, anggota TNI dan Polri tersebut.
Berkaitan dengan netralitas ASN dalam penyelenggaraan Pilkada ini, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) melalui surat Nomor B-2900/KASN/11/2017 tanggal 10 November 2017 tentang pengawasan Netralitas Pegawai ASN Pada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2018 telah melakukan pemetaan terhadap permasalahan sikap dan tindakan ASN yang mengarah kepeda konflik kepentingan dan keberpihakan antara lain keikutsertaan dalam acara deklarasi salah satu bakal calon, Deklarasi partai politik, Deklarasi diri sendiri untuk menjadi bakal calon, Penggunaan photo dengan atribut PNS atau tanpa atribut pada spanduk/iklan/reklame terkait pencalonan diri ASN yang bersangkutan, Ucapan dan atau tindakan yang menghimbau atau mengarahkan pihak lain untuk memilih salah satu bakal calonpeserta pilkada, Memposting foto dengan komentar atau hanya dengan like di media sosial dan sebagainya yang mengarah pada kegiatan politik praktis.Â
Sesuai dengan Peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil disebutkan bahwa dalam hal etika terhadap diri sendiri PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan maka PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis / beraffiliasi dengan partai politik, maka PNS dilarang :Â
- Melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon kepala daerah / wakil kepala daerah.
- Memasang spanduk / baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon;
- Mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon;
- Menghadiri acara deklarasi bakal calon / bakal pasangan calon dengan atau tanpa atribut bakal calon / atribut partai politik;
- Mengunggah, menanggapi (komentar, like, dan sejenisnya) atau menyebarluaskan foto / gambar dan visi misi bakal calon / bakal pasangan calon maupun keterkaitan lain dengan bakal calon / bakal pasangan calon melalui media online atau media sosial;
- Foto bersama dengan bakal pasangan calon dengan mengikuti simbol tangan / gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan;
- Menjadi pembicara / narasumber pada kegiatan pertemuan partai politik.
Pelanggaran terhadap berbagai larangan di atas sesuai dengan Pasal 15 Ayat 1  Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2004 dikenakan sanksi moral.  Selain itu atas rekomendasi Majelis Kode Etik (MKE) PNS pelanggaran kode etik selain dikenakan sanksi moral dapat juga dikenakan tindakan administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana termaktub dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor  42 Tahun 2004 tersebut.  Tindakan administratif tersebut dapat berupa sanksi hukuman disiplin ringan maupun berat sesuai dengan pertimbangan Tim Pemeriksa, sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar oleh PNS / ASN.
PNS /ASN yang diduga melanggar kode etik diperiksa oleh Majelis Kode Etik (MKE) dan Tim Pemeriksa Pelanggaran Disiplin (Tim Pemeriksa). Â Apabila PNS / ASN Â yang diduga melanggar Kode Etik adalah bukan Sekretaris Daerah maka yang berwenang membentuk MKE dan Tim Pemeriksa adalah Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi PNS yang bersangkutan. Untuk PNS / ASN yang diduga melanggar kode etik adalah Sekretaris Daerah Kabupaten / Kota maka pembentukan MKE dan Tim Pemeriksa dilakukan oleh Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat di daerah. Â Sedangkan apabila PNS / ASN Â yang melanggar kode etik adalah Sekretaris Daerah Provinsi maka pembentukan MKE dan Tim Pemeriksa dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
PNS / ASN yang diduga melanggar kode etik dilaporkan paling paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kejadian kepada Majelis Kode Etik (MKE) untuk diperiksa dan Majelis wajib memeriksanya paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya laporan / pengaduan. Â Keputusan majelis dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah dilakukan pemeriksaan dan keputusan Majelis bersifat final.
Apabila Majelis memberikan rekomendasi untuk dilakukan tindakan administratif terhadap PNS / ASN yang diduga melakukan pelanggaran, maka kepada PNS / ASN yang bersangkutan akan diperiksa lebih lanjut oleh Tim Pemeriksa  yang terdiri dari Atasan langsung,  Unsur pengawasan, dan Unsur kepegawaian atau Pejabat lain yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Â