Mohon tunggu...
sugeng winarno
sugeng winarno Mohon Tunggu... -

saat ini (2014) tercatat sebagai dokter gigi spesialis perio di RSGM TNI AL RE. Martadinata

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Selamat Bekerja Pak Jokowi, Jangan Sampai Sakit Gigi Bila Tak Ingin Sakit Hati!

28 Oktober 2014   18:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:26 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat Bekerja Pak Jokowi,

Jangan Sampai Sakit Gigi Bila Tak Ingin Sakit Hati!

Oleh : Sugeng Winarno, drg, Sp. Perio.

Keputusan strategis yang melibatkan institusi pertahanan dan keamanan (TNI dan Polri) dalam pelaksanaan program nasional Jaminan Kesehatan, sebagaimana tertuang di dalam amanat UU no 24 tahun 2011 tentang BPJS, sejauh ini dapat berjalan“maju ke depan” dengan menimbulkan sejumlah dampak tak sedap bagi anggota TNI/Polri. Data dari BPJSsaat ini jumlah peserta dari unsur anggota dan keluarga TNI (859.216) dan Polri (734.454). Dalm makalah ini penulis ingin mengulas permasalahan yang berkembang dari aspek pelayanan kesehatan bagi peserta. Sebab menurut Ilyas (2003), sebuah tim kerja yang sukses tidak akan pernah membiarkan masalah kecil menjadi besar dan membiarkannya berlarut-larut sehingga sulit diselesaikan. Penyataan ini sejalan dengan ungkapan jawa yang berbunyi “kriwikan dadi grojogan”. Salah satu permaslahan tersebut adalah adanya policy dalam pelayanan yang berlaku hanya satu tindakan spesialistik dalam satu hari kunjungan di PPK 2. Kebijakan inilah yang paling dirasakan anggota TNI/Polri jadi ngeri-ngeri tak sedap, karena berbeda 180 derajat ketimbang pada era sebelumnya. Dulu dengan memanfaatkan dana DPK (dana pemeliharaan ksehatan), yaitu potongan gaji sebesar 2% yang sekarang disetor ke BPJS sebagai iuran/premi.pelayanan kesehatan yang dilakukan secara swadaya oleh faskes TNI/Polri tidak ada kebijakan tersebut, hampir semua didukung dan tidak ada pembatasan tindakan spesialistik seperti itu. Padahal kebanyakan orang(di Indonesia) yang mengalami sakit gigidalam kondisi kronis dan melibatkan jaringan penyangga (periodontal) disekitarnya. Oleh sebab itu tinduakan perawatannya memerlukan kolaborasi lebih dari satu dokter gigi spesialis. Gambaranini sesuai dengan data Rikkesdas tahun 2013 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI, bahawa prevalensi masalah kesehatan gigi di Indonesia adalah 24,9%, dan lebih dari 74% nya adalah penyakit karies dan jaringan periodontal.

Sebagai ilustrasi, ada seorang anggota TNI pangkat bintara datang ke klinik dengan keluhan gigi berlubang, sakit tajam, bengkak daerah gusinya dan mudah berdarah, agak goyang sedikit,bila untuk makan dan gigi tersebut bersentuhan dengan gigi lawannya tambah nyeri. Diagnosa kerja pasien tersebut adalah gigi gangren pulpa dengan periodotal abscess. Dengan melihat gejala klinis tersebut maka pasien tersebut memerlukan tindakan perawatan gigi gangren oleh dokter gigi spesialis konservasi gigi (Sp KG), serta dalam waktu yang bersamaan perlu perawatan abscess periodontalnyagigi spesialis periodonti (Sp. Perio). Jika kejadian di atas masih di era sebelum BPJS, maka pasien akan mendapatkan pelayanan kesehatan secara komprehensif yaitu perawatan konservasi gigi dan diikuti perawatan periodontal. Tetapi di era BPJS, maka hanya satu tindakan yang dapat dilakukan yaitu konservasi gigi saja atau perawatan periodontal saja. Maka sangat manusiawi jika anggota tersebut kecewa dan menggerutu. Ya, karena hanya itu yang dapat dilakukan oleh seorang anggota berpangkat bintara, tidak berani melawan atasan (baca : dokter gigi pasti seorang perwira). Kata anggota tadi, “sakitnya itu ada di sini”, sambil mengepalkan tangan dan menempelkannya di depan dada, seperti aksi penyanyi dangdut yang saat ini sedang melambung.

Kaji ulang kerjasama dengan BPJS

Ada satu masalah mendasar yang menurut penulis penting sebagai pijakan dalam mengkaji ulang format kerjasama antara TNI/Polri dengan BPJS, adalahpembinaan kesehatan bagi anggota di lingkungan TNI dan Polri merupakan bagian dari pembinaan personel yang bersifat fungsi komando. Artinya, melalui sklus pembinaan personel yang berawal dari saat rekruetmen atau seleksi, pendidikan dan latihan, penggunaan, pemeliharaan dan sklus terakhir adalah pemisahan, maka pada masing-masing siklus tersebut ada peran serta setiap unsur pimpinan, baik sebagai komanadan, kepala maupun perwira staf terhadap pembinaan personel anggotanya, karena baik buruknya kondisi kesehatan anggota adalah menjadi bagian dari tanggung jawab pimpinan.

Sebagai contoh, ada salah satu regulasi pelengkap atas terbitnya Undang-Undang BPJS, yaitu peraturan presiden nomor 107 tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan tertentu bagi anggota TNI/Polri, yang salah satu klausulnya mengatur pelaksanaan uji pemerikasaan kesehatan (Urikkes). Urikes ini dibedakan dalam beberapa katagori, yaitu urikkes rutin yang dilaksanakan sekali dalam setiap tahunnya, urikes pra dan purna tugas, serta urikes kemampuan bagi prajurit khusus. Pelaksanaan kegiatan urikes ini adalah bukan pilihan sukarela bagi anggota tetapi atas perintah dengan diterbitkan surat perintah (SP) dan dengan begitu bila tidak dilaksanakan maka diberlakukan sanksi atau hukuman. Tetapi yang menjadi masalah bukan pelaksanaan urikes itu sendiri. Melainkan tindak lanjutnya, yaitu jika terdapat kelainan/penyakit yang memerlukan tindakan perawatan, maka koridornya tetap saja melalui pintu pelayanan kesehatan yang saat ini dikelola dengan sistem BPJS. Umpamanya kelainan yang dijumpai adalah penyakit gigi dan mulut, maka anggota harus ke PPK I terlebih dahulu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, seperti tambal, cabut sederhana dan pembersihan karang gigi sesudah itu bila ditemukan kasus yang memerlukan tindakan spesilistik anggota baru dirujuk ke rumah sakit sebagai PPK 2 dan inipun dalam satu hari hanya boleh satu tindakan saja. “Alammaaaak, cek repote saiki!” gerutu anggota dengan logat surabaya.

Bagi anggota TNI dan Polri, gigi bukan hanya sebagai salah satu unsur pelengkap dalam urikes. Tapi lebih dari itu, gigi merupakan faktor penting dalam keberhasilan pelaksanaan tugas operasional terutama bagi prajurit khusus yang dihadapkan pada kondisi matra baik darat, laut maupun udara. Disamping itu, gigi juga memiliki peran dalam pembinaan karier anggota. Penjelasannya begini, bila anggota mengalami penyakit gigi bagian depan hingga akhirnya tanggal atau harus dicabut maka status kesehatannya adalahdua, meskipun sudah diganti dengan prothesa gigi. Nah, bila yang bersangkutan akan mengikuti pendidikan pengembangan umum untuk peningkatan karier militernya maka salah satu bagian yang diseleksi adalah status kesehatan ini dan sudah pasti grade status kesehatan dari satu hingga empat bila dikonversikan dalam angka maka bobot nilainya paling tinggi adalah grade satu.

Keterangan Foto : Tentara Pasukan khusus Amerika yang sedang menggunakan giginya

dalam menghadapi kondisi matra untuk survival.

Melihat permasalahan tersebut di atas, maka mau tidak mau para pimpinan pengambil keputusan bagi para pihak, yaitu TNI/Polridan BPJS, perlu duduk bersama untuk mengkaji ulang dan renegosiasi. Bagi TNI/Polri sangat penting mengingat nasib anggotanya dalam pelayanan kesehatan sebagai peserta yang sudah mengiur dengan gaji sebesar 2% ( bahkan iuran ini lebih besar dibandingkan pegawai pemerintah yang ada di BUMN, mereka hanya 0,5 %, padahal standar gaji mereka lebih besar dibandingkan dengan anggota TNI/Polri) rutin dan tidak pernah akan menunggak. Demikian pula bagi BPJS, jumlah PPK I TNI 758 dan Polri 569 serta PPK II TNI/Polri sebanyak 109 yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, menjadi faktor yang sangat menentukan bagi kelancaran program jaminan kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya.

Setidaknya ada dua hal pokok yang perlu dibicarakan ulang, pertama tentang perbaikan tarif INA CBGs dan kedua tentang rujukan internal. Pertama tentang tarif yang berlaku saat ini (sebagai sampel adalah Rumah sakit Gigi dan Mulut Ladokgi TNI AL RE. Martadinata) sebesar 178 ribu rupiah dalam satu kali tindakan. Tentu nominal sebesar itu tidaklah akanmencukupi biladihitung per individu untuk membayar jasa medis, bekal obat/bahan dan bekal sarana penunjang lainnya. Akibatnya adalah pihak managemen terpaksa melakukan pengetatan yang luar biasa dengan pengurangan tindakan-tindakan yang dapat dilewatkan (padahal secara lege artis harus dilakukan) sehingga mutu pelayananlah yang menjadi taruhan. Lebih tidak masuk akal lagi, tarif tersebut mencakup pula odontektomi (operasi gigi terpendam) yang memerlukan alat dan bahan cukup mahal serta faktor resiko yang besar, padahal tarif yang berlaku untuk pasien non BPJS (umum atau peserta asuransi komersiel lainnya adalah sebesar 2 juta rupiah). Hal ini juga berpotensi menurunkan kualitas pelayanan kesehatan pasien dan juga ada peluang untuk berbuat kecurangan administratif, misalnya manipulasi data menjadi operasi odontektomi dengan perawatan inap (one day care) yang tarif.nya jauh lebih besar.

Kedua, tentang rujukan internal. Sepanjang kasus yang akan dirujuk adalah ada kaitannya dengan keluhan utama (Chief Complain) maka sudahseharusnya tidak boleh ada pembatasan jumlah tindakan dalam satu hari kunjungan hanya boleh satu. Karena kebijakan ini bagi anggota TNI/Polri menjadi sangat merepotkan baik bagi yang bersangkutan maupun dinas yang sering ditinggalkan. Akhirnya pekerjaan menjadi terlantar atau setidaknya akan menjadi beban anggota lainnya. Rujukan internal adalah salah satu jawaban terbaik dan masuk akal, sekalipun hal ini tentu akan membebani BPJS karena klaim akan membesar.

Penutup

Yang jauh lebih penting dalam renegosiasi antara para pihak disamping masing-masing membawa dokumen beserta argumentasinya yang disampaikan secara setara tanpa ada pihak yang merasa lebih superior dalah membangun kebersamaan dan kepercayaan (trust). Tanpa kedua hal ini maka masing-masing hanya akan bergerak ditempat yang sama dan tidak akan mampu,mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi anggota TNI/Polri sebagai penegak kedaulatan dan penjamin keamanan NKRI serta BPJS mewujudkan visinya yang handal, unggul dan terpercaya selaku penyelenggara program Jaminan Kesehatan Nasional. Semoga di era pemerintahan baru Pak Jokowi ini ada kesempatan untuk merenegosiasi antara TNI/Polri dengan BPJS untuk menghindari disruption. Selamat bekerja Pak Presiden.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun