Mohon tunggu...
sugeng winarno
sugeng winarno Mohon Tunggu... -

saat ini (2014) tercatat sebagai dokter gigi spesialis perio di RSGM TNI AL RE. Martadinata

Selanjutnya

Tutup

Politik

Silaturahmi Formil Antar Institusi, Why Not?

25 Juli 2015   22:06 Diperbarui: 25 Juli 2015   22:07 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

oleh : sugeng winarno

MOMENTUM lebaran merupakan peristiwa budaya yang penuh dengan nilai. Diantara nilai dari peristiwa yang selalu dinanti-nanti ini, khususnya bagi umat muslim, adalah adanya unsur silaturahmi yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya tali persaudaraan. Silaturahmi adalah bentuk kegiatan yang bersifat non formal berbasis keluarga dan masyarakat serta memiliki energi yang luar biasa. Dengan silaturahmi, persoalan pelik akhirnya terurai dengan baik, pertengkaran berubah menjadi perdamaian, permusuhan mencair manjadi persahabatan, kekurangcukupan teratasi dengan saling berbagi kemampuan, dan lain sebagainya. Berdasarkan evidance based, silaturahmi merupakan energi potensial. Siapa saja yang mau melakukannya maka dialah yang akan memperoleh manfaatnya. Lantas, bagaimana jika dilembagakan secara formal, dengan berbasis pada institusi dan negara, untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melilit bangsa, mungkinkah?
Kita sadari bersama bahwa saat ini negara kita sedang menghadapi berbagai kesulitan sebagai manifestasi dari ancaman nyata nir-militer, termasuk bidang ekonomi. Beberapa indikator menunjukkan bahwa kondisi negeri ini sudah masuk dalam zona lampu kuning, jika tidak hati-hati maka prediksi dari beberapa pengamat bahwa Indonesia bisa jadi termasuk sebagai negara gagal (failed state) akan benar-benar menjadi kenyataan (na’udzubillahi mindzalik). Bagaimana menerapkan energi silaturahmi ini ke dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga negara mampu mengambil manfaat sebesar-besarnya untuk kemudian keluar dari zona bahaya tersebut.
Pemerintah yang belum genap setahun mengelola negara ini sebenarnya sudah bekerja keras, namun hasilnya toh masih belum maksimal. Sebagai warga negara yang baik, apapun latarbelakang politiknya, wajib hukumnya untuk menyampaikan saran atau “urun rembug” kepada pemerintah untuk memperkaya sudut pandang sebelum mengambil keputusan. Sebab dalam sistem pengelolaan pemerintahan terkini, sebenarnya pemerintah adalah bukan satu-satunya aktor yang bertanggungjawab dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Tetapi perlu adanya pengintegrasian seluruh komponen kekuatan bangsa sehingga menjadi satu kesatuan pertahanan negara untuk menghadapi berbagai persoalan bangsa tersebut.
Permenhan 16 tahun 2012 sebagai kebijakan “silaturahmi”
Dalam Undang-Undang Pertahanan Negara, pasal 7 ayat (3) dijelaskan bahwa sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa. Aturan ini bersifat normatif, sehingga diperlukan peraturan pelaksanaan (verordnung) dan peraturan otonom (otonome satzung) yang menurut Nawiasky (1978) dalam Syamsuddin (2012) termasuk ke dalam norma hukum terakhir dari empat jenjang norma hukum.
Menteri Pertahanan sebagai pembantu Presiden dalam menjalankan pemerintahannya telah menyusun kebijakan yang bersifat operasional yaitu Permenhan Nomor 16 tahun 2012 tentang Kebijakan Pengintegrasian Komponen Pertahanan Negara. Kebijakan ini dapat dikatakan sebagai regulasi yang mengatur agar setiap institusi melakukan “silaturahmi” secara formal dan menuangkan program kegiatan masing-masing sehingga terjadi pengintegrasian dan saling melengkapi. Sebab salah satu pertimbangan dalam penyusunan kebijakan ini adalah disadarinya bahwa dalam menghadapi setiap ancaman yang kompleks dan multidimensional, maka tidak mungkin hanya diselesaikan melalui fungsi dari satu kementerian saja, tetapi perlu dukungan dari sektor lain sebagai kekuatan pengganda.
Kehadiran Permenhan ini tentu tidak otomatis dapat dioperasionalkan oleh stake holders, tetapi membutuhkan proses implementasi yang tidak sederhana, yang menurut Edward III (1984) prosesnya dipengaruhi oleh faktor-faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Dari seluruh tahapan dalam penyusunan suatu kebijakan, maka implementasi merupakan bagian yang sangat penting dengan prosentase 60%, sedangkan 20% adalah proses formulasi dan 20% sisanya adalah pengawasan. Bahkan Udoji (1981) mengingatkan bahwa jika suatu kebijakan tidak diikuti dengan proses implementasi yang memadahi maka kebijakan tersebut hanya akan menjadi hiasan dalam arsip.
Sebagai negara yang berdasarkan hukum, “silaturahmi” instutusi secara legal formal, kehadiran Permenhan ini sebenarnnya sudah cukup memadahi karena merupakan perintah Undang-undang pertahanan negara. Namun berhasil tidaknya tergantung dari peran komunikasi Kemhan selaku pemrakarsa kebijakan ini dan para stake holders untuk mau berperan sebagai unsur utama sesuai dengan fungsi masing-masing. Semoga negeri ini terbebas dari belenggu berbagai macam persoalan. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun