Demotivasi SDM Kesehatan di Era JKN, Jangan Anggap Enteng!
Oleh : Sugeng Winarno
SEMENJAK diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional pada bulan Januari tahun ini yang pengelolaanya dilakukan oleh BPJS, banyak sekali tatanan pelayanan kesehatan yang berubah dan dampaknya mengenai berbagai pihak yang terkait. Salah satu diantaranya adalah SDM Kesehatan. Pengertian SDM Kesehatan merupakan bagian dari sistem kesehatan nasional dan dipandang sebagai komponen kunci untuk menggerakkan pembangunan kesehatan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Dari data Kemenkes yang dirilis pada tahun 2013 yang lalu, rasio SDM kesehatan seperti dokter, perawat, dan bidan telah mencapai 2,25 per 1000 penduduk. Angka tersebut hampir mendekati ambang batas minimal WHO yaitu 2,3 per 1000 penduduk untuk negara yang dinyatakan krisis SDM Kesehatan. Lebih lanjut secara rinci, rasio dokter 38,1 per 100.000 penduduk, dokter spesialis 9,9 per 100.000 penduduk, apoteker 9,2 per 100.000 penduduk, perawat 111,1 per 100.000 penduduk, dan bidan 81 per 100.000 penduduk. Secara akumulasi total SDM kesehatan sudah cukup memadahi untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tetapi secara pemerataan masih ada gap yang menganga yaitu terjadi disparitas yang sangat mencolok antara daerah perkotaan dan pedesaan. Terlebih di Indonesia kawasan Timur, kondisi jumlah, kompetensi dan kelengkapan SDM kesehatannya sangat memprihatinkan.
Sebuah pertanyaan yang boleh diajukan sebagai respon atas program unggulan Kemenkes ketika rezim Indonesia bersatu jilid II masih bertahta dan dituangkan ke dalam RPJMN 2014, dan mungkin juga akan diteruskan oleh pemerintahan saat ini, yaitu dengan memperhatikan adanya ketimpangan seperti tersebut di atas, masih beranikah kita (baca = SDM kesehatan) mencanangkan program unggulan ke delapan yaitu “ world class health care?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada baiknya kita sela dulu dengan pembicaraan yang menyoal skema pembayaran dalam pelayanan kesehatan oleh BPJS. Mengingat badan penyelenggara yang satu ini merupakan organ utama sebagai pengelola program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam aturannya jelas dinyatakan bahwa untuk PPK I sesuai cakupan peserta jaminan kesehatan dibayarkan dengan sistem kapitasi, sedangkang untuk pembayaran rumah sakit sebagai PPK lanjutan adalah dengan menggunakan tarif INA CBGs. Plus minus dari kedua sistem pembayaran tersebut sudah banyak dibahas diberbagai kesempatan oleh para ahlinya. Namun ada satu dampak bagi SDM kesehatan selaku pelaksana langsung dalam memberikan pelayanan jasa kesehatan yang belum banyak dibicarakan. Yaitu adanya demotivasi SDM kesehatan yang sulit dihindari.
Demotivasi yang dimaksud adalah SDM kesehatan yang mengelola PPK 1, ada kecenderungan yang timbul secara alamiah untuk lebih senang jika angka kunjungan pasien sedikit, karena semakin banyak kunjungan pasien maka belanja bekal kesehatannya tentu akan semakin besar, dan ini berarti keuntungan yang diperoleh semakin mengecil. Sedangkan di PPK lanjutan, terkait dengan tarifnya yang kecil dan sudah dikelompokkan kedalam satu groups diagnosis, maka konsekuensinya adalah manajemen rumah sakit akan berupaya memperkecil pengeluaran sehemat mungkin, bahkan kalau bisa menghiindari adanya rujukan parsial ke rumah sakit atau faskes lain yang lebih lengkap atau tinggi, karena beaya atas pelayanan rujukan tersebut mnenjadi beban rumah sakit pengrujuk. Belum lagi jasa medis dokter spesialis yang penghargaannya sangat jauh berbeda dari pasien non JKN.
Selain terjadi pada SDM kesehjatan, ternyata demotivasi, atau setidaknya galau,juga melanda para peserta JKN terutama bagi mereka yang sebelumnya pernah mengenyam fasilitas program Askes. Di era BPJS ini, mereka merasa tambah ribet. Contohnya, dalam satu hari berobat jalan, hanya boleh satu diagnosis dan tindakan perawatannya yang dapat diklaim ke BPJS. Padahal sewaktu jaman askes atau kalau di kalangan TNI Polri yang masih mengelola Dana Pemeliharaan Kesehatan (DPK) secara mandirii, maka hampir semua tindakan dapat ditanggung oleh dinas dan tidak ada cost sharing.
Menyoal tentang motivasi maka berdasarkan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, teori X dan Y Douglas McGregor maupun teori motivasi kontemporer (dalam wikipedia, 2014), arti motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu. Selanjutnya menurut Kerlinger, N. Fred dan Elazar J. Pedhazur (1987) dalam Cut Zurnali (2004) menyatakan bahwa variabel motivasi terdiri dari: (1) Motif atas kebutuhan dari pekerjaan (Motive); (2) Pengharapan atas lingkungan kerja (Expectation); (3) Kebutuhan atas imbalan (Insentive).
Menurut Cut Zurnali (2004) menjabarkan ketiga variabel motivasi tersebut, yaitu pertama tentang motif adalah faktor-faktor yang menyebabkan individu bertingkah laku atau bersikap tertentu. Kedua tentang ekspektasi atau pengharapan adalah adanya kekuatan dari kecenderungan untuk bekerja secara benar tergantung pada kekuatan dari pengharapan bahwa kerja akan diikuti dengan pemberian jaminan, fasilitas dan lingkungan atau outcome yang menarik. Ketiga tentang insentif adalah suatu perangsang atau daya tarik yang sengaja diberikan kepada anggota dengan tujuan agar mereka ikut membangun, memelihara dan mempertebal serta mengarahkan sikap atau tingkah lakunya kepada satu tujuan yang akan dicapai demi kemajuan organisasi.
Dalam konteks permasalahan tersebut diatas, maka SDM Kesehatan dapat dikatakan memiliki motivasi tinggi apabila dia memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang diinginkannya dengan mengerjakan pekerjaannya yang sekarang secara profesional sesuai dengan aturan yang ada. Namun dalam menjalankan profesinya tersebut, tentu tidak dapat dilepaskan dari ketiga variabel tersebut, yaitu motif, ekspektasi dan insentif. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang saling mensuport dan melengkapi. Tidak akan muncul motivasi tinggi jika tidak memiliki motif yang kuat dan seterusnya termasuk urusan insentif. Terlebih pada era sekarang ini sudah terjadi pergeseran nilai, dimana jasa layanan kesehatan sudah menjadi produk ekonomi dan tidak lagi menjadi barang sosial semata. Dampak yang paling potensial akan muncul akibat demotivasi ini adalah mutu pelayanan kesehatan yang akan semakin jauh panggang dari apinya dan akhirnya apakah kita siap bersaing dengan kompetitor tingkat global sedangkankualitas kita masih lokal? Jangan berharap dapat menuntaskan program unggulan ‘world class health care’, kalau masalah motivasi ini saja masih dianggap angin lalu.
Oleh sebab itu,jika kerikil tajam tersebut tidak segera disingkirkan maka bukan tidak mungkin ke depan akan terakumulasi dan berpotensi menjadi batu sandungan dalam mewujudkan cita-cita bersama yaitu adanya layanan kesehatan yang terbaik bagi seluruh rakyat (universal coverage) yang nota bene adalah pemilik hakiki dari NKRI ini. Menjelang satu tahun berjalannya program JKN, nanti pada bulan Januari 2015, yang sudah tinggal se-pelemparan batu lagi, adalah momentum yang tepat untuk mengadakan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan JKN ini, melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan mengedepankan prinsip kesetaraan dalam bekerja sama dan keterbukaan dalam memberikan informasi. Maka dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip ini, kemungkinan adanya demotivasi para pelaku pemberi jasa layanan kesehatan dan peserta jaminan kesehatan dapat dihindari. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H