Sejarah mencatat belum sekalipun tim Eropa memenangi Piala Dunia ketika turnamen digelar di Benua Amerika. Kalau bukan tuan rumah, maka tim-tim dari wilayah merekalah yang menjadi juaranya saat hajatan dilangsungkan di benua itu.
Dimulai saat Uruguay menjuarainya pada 1930. Menjadi tuan rumah, Albiceleste mengalahkan Argentina 4-2 pada partai puncak. Di hadapan 93.000 fans di Montevideo, Uruguay berpesta. 20 tahun berselang pada Piala Dunia 1950, Uruguay mengulang prestasi. Kali ini di Brasil.
Pada Piala Dunia 1962 di Cile, giliran Brasil mengukir prestasi. Mengalahkan tuan rumah 4-2 di semifinal, tarian Samba mengudara di final seusai menggulung wakil Eropa Cekoslovakia (Rep Ceko) 3-1. Brasil kemudian mengulangi pencapaian itu di Meksiko, delapan tahun kemudian.
Di Piala Dunia 1970, dalam sebuah partai final klasik melawan Italia, Pele, Jairzinho, Gerson dan Carlos Alberto membawa negaranya meraih kemenangan 4-1. Setelah Uruguay dan Brasil mendominasi empat penyelenggaraan di Benua Amerika, giliran Argentina unjuk kehebatan ketika menjadi tuan rumah pada 1978.
Dua gol Mario Kempes pada masa extra time membantu Tim Tango mengangkat trofinya, mengalahkan Belanda 3-1. Seperti halnya Brasil, Argentina kemudian menuliskan sejarah sama delapan tahun berselang di Meksiko. Argentina menjuarai Piala Dunia 1986 setelah mengalahkan Jerman Barat 3-2.
Ketika Amerika Serikat (AS) menjadi tuan rumah pada 1994, Brasil lagi-lagi menunjukkan dominasi Benua Amerika di teritorialnya sendiri. Duet Bebeto-Romario membawa Selecao meraih gelar. Di final, Brasil mengalahkan Italia melalui drama penalti. Sejarah mencatat, itu menjadi momen terkelam sepanjang karier Roberto Baggio karena gagal dalam tendangan penentu.
Setelah 1994, Piala Dunia berturut-turut dipentaskan di Prancis 1998 (juara Prancis), Jepang-Korea Selatan 2002 (Brasil), Jerman 2006 (Italia), dan Afrika Selatan 2010 (Spanyol). Dari sana terpapar, saat laga digelar pada tempat netral memunculkan juara dari Benua Amerika (Brasil, 2002) dan Eropa (Spanyol, 2010).
Menimbang kekuatan sepak bola dibangun oleh Amerika dan Eropa, tanpa mengucilkan Afrika, Asia atau Oseania, panggung Brasil 2014 pun akan tetap menampilkan kekuatan dari dua kutub kekuatan tersebut. Si Uruguay Luis Suarez yang mengadu nasib di Inggris sepertinya siap bersaing dengan Wayne Rooney. Secara kebetulan bersama Kosta Rika dan Italia, Inggris, Uruguay berada di grup sama, D, dalam babak penyisihan.
Dua ikon sepak bola dunia saat ini yang juga mewakili kutub berbeda Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi membuat Brasil 2014 bakal lebih membara. Begitu juga dengan Neymar. Ilmu yang diserapnya selama semusim di Barcelona bisa membuatnya lebih percaya diri saat melawan Andres Iniesta dkk.
Ilustrasi tersebut adalah contoh riil betapa memori pecinta sepak bola dunia memang lebih banyak terisi pemain-pemain berdarah Amerika dan Eropa, ketimbang mengingat Keisuke Honda atau Samuel Eto’o, misalnya. Semua karena prestasi mereka, keandalan mereka dan talenta yang terasah melalui profesionalisme.
Perimbangan kekuatan Amerika dan Eropa yang berada dalam takaran ajeg, lantas terus memunculkan harapan rivalitas sengit di level internasional. Sayangnya, ada sebuah fenomena yang hingga kini memang sulit dipahami dan terus bergulir di Piala Dunia.
Sebagaimana saya sebut di pengantar catatan ini, sulit bagi tim dari luar kedua teritori tersebut (Amerika dan Eropa) keluar sebagai juara di luar kandang masing-masing, pengecualian Brasil saat menjadi juara ketika event di gelar di Swedia pada 1958.
Analisa sederhana, dan jamak terdengar di warung kopi, soal sulitnya tim Eropa juara di Amerika dan sebaliknya kemudian muncul. Pertama, soal pengenalan medan. Jelas, tim dari sebuah teritori lebih paham kondisi wilayahnya sendiri. Itu yang membuat pemain Eropa yang terbiasa di hawa sejuk ngos-ngosan saat berada di kelembaban Amerika. Sebaliknya demikian, terkecuali bintang-bintang Amerika yang sudah terbiasa dengan salju Eropa.
Kedua, motivasi. Tim asal Amerika juga sebaliknya Eropa, tentu lebih termotivasi tampil di hadapan publik sendiri, mengingat jarak terbentang luas antar dua benua, yang membatasi pergerakan suporter. Selanjutnya faktor tuan rumah. Argentina dan Uruguay sukses menjadi juara saat pada 1930 dan 1978. Sejumlah negara Eropa juga beberapa kali menjadi juara ketika menjadi host, contoh termutakhir Prancis di 1998.
Last but not least, tentu sejarah itu sendiri. Atau tradisi. Apalagi tradisi yang dibangun secara turun temurun biasanya memunculkan unsur magis dan misteri yang kadang sulit dimengerti dengan akal sehat.
Untungnya, dalam sepak bola selalu ada dewi fortuna. Keberuntungan. Lalu muncul yang namanya 11 vs 11, noting is impossible.
[caption id="attachment_315546" align="aligncenter" width="640" caption="Tim nasional mana ya yang akan berjaya di Brasil Juni mendatang? (kredit : www.totalprosport.com)"][/caption] 90 menit waktu normal bisa melahirkan apapun. Melanggengkan tradisi atau memutusnya. Alhasil, masih tersimpan harapan bagi Spanyol, Jerman, Italia, Portugal, Prancis, Inggris bahkan Belgia sekalipun meraih kejayaan di Brasil. Mereka bisa seperti Colombus yang sukses menaklukkan Benua Amerika. Siapa jagoan Anda ?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H