TIADA kabar bahagia yang aku dapatkan, kemarin, saat mendapat sms dari istri bahwa anak lelaki kami yang belum genap 7 tahun sudah tamat puasanya. Hamdallah. Tanpa paksaan. Tanpa intimidasi, anak kami yang alhamdulillah meraih ranking 3 di kelas satu SD-nya, naik kelas 2, sukses menunaikan salah satu rukun islam.
Good job. Bagi kami, orang tua, mendengar anak menyelesaikan puasa untuk kali pertamanya tentu membuat bangga. Terharu. Seraya tak henti-hentinya bersyukur. Allah mengkaruniakan dan menitipkan anak hebat bagi kami. Istri bercerita, semuanya berjalan lancar pada hari pertama puasa anak kami.
Sempat muncul khawatir. Sebab jam 2 siang, kaki anak kami dingin karena menahan lapar. Tapi saat ditawari makan, menolak. Ibunya lalu mengajak ngabuburit, mencari ikan untuk mengisi kolam kecil di halaman rumah kami. "Sepanjang jalan solawatan," kata istriku.
Kesalehan, kemampuan beragama anakku sejak kecil, membuatku tercenung. Di usiamu, ayahmu juga belum kuat puasa. Tapi memang, aku mengamati, kecintaan anak ke agama sudah tertanam. Hapalan suratan pendeknya juga pintar. Bahkan, dia hapal doa solat yang biasa dipakai umat Nahdliyin serta Muhammadiyah sekaligus.
Suatu waktu, saat aku tanya apa cita-citamu, nak? "Jawabannya presiden bank." Entah. Aku tak tahu apa artinya dari cita-cita itu. Setidaknya, cita-citanya sudah keren. Selamat berpuasa........................
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H