Mohon tunggu...
Sugeng Triyono
Sugeng Triyono Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang Pendidik yang sedang merantau di Kalimantan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

HAM dan Multikulturalisme

12 April 2015   10:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:13 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

10 Desember 1948 merupakan tanggal mulai berlakunya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang kini diperingati sebagai Hari HAM Sedunia.Sudah 66 tahun sejak berlakunya DUHAM namun masih banyak polemik-polemik yang berkaitan dengan HAM, salah satunya tentang multikulturalisme.

Negara multikultural rawan terjadi pelanggaran HAM, hal ini terkait munculnya dua kelompok yaitu mayoritas kultural dan minoritas kultural.Kelompok minoritas kultural cenderung dianggap sebelah mata dalam segala pengambilan keputusan publik dan juga rentan terhadap penindasan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas kultural.Sedangkan jelas, prinsip-prinsip HAM dalam Hukum HAM Internasionalsalah satunya yaitu prinsip kesetaraan dimana semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam HAM, serta prinsip diskriminasi dimana jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan diskriminatif.

Polemik Multikulturalisme

Indonesia merupakan negara yang sangat kompleks, tidak hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali dst.), melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Cina, Belanda, Portugis, Hindhuisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalis, dst.).Menurut Clifford Geertz, “Indonesia adalah sejumlah ‘bangsa’ dengan ukuran, makna dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religious atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama”.Kemudian juga terlihat jelas dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika (UUD 1945 Pasal 36A), bahwa Indonesia merupakan sebuah negara multikultural.

Bangsa seharusnya lebih dilihat sebagai civic nation daripada ethnic nation.Jika bangsa lebih dilihat sebagai ethnic nation, akan muncul berbagai pelanggaran HAM.Hal ini tampak misalnya dalam istilah “pri” (pribumi) dan “non-pri” (non-pribumi) dalam Era Orde Baru.Disini imigran (orang Arab, Barat, dan khususnya Cina) dan keturunannya meskipun sudah berstatus WNI, tetap dianggap ‘asing’ di hadapan mayoritas pribumi.Diskriminiasi tersebut berkaca pada istilah pri dan non-pri.Kerusuhan anti-Cina di Jakarta, Solo, Medan, konflik antar etnik Dayak dan Madura di Kalimantan, konflik agama di Maluku, gerakan-gerakan separatisme di Aceh dan Papua, protes-protes dari kaum Islam serta merebaknya tuntutan-tuntutan untuk memerintah sendiri di berbagai daerah setelah tumbangnya rezim Orde Baru merupakan fakta adanya problem poli-etnisitas pasa era itu.Lepasnya Timor Timur merupakan pertanda awal dari akhir era kenaifan yang menilai homogenitas bangsa yang pada nyatanya poli-etnis.

Pemecahan

Kekerasan-kekerasan dan diskriminasi tersebut diatas perlu ditangani dengan tepat terhadap kelompok-kelompok di dalam negeri multikultural ini.Pertama, sikap negara terhadap kelompok-kelompok minoritas kultural.Minoritas-minoritas agama atau etnis merupakan kelompok paling rentan terhadap keputusan mayoritas.Perlu ‘perlindungan internal’ bagi mereka, yakni dengan mendukung kesetaraan di antara kelompok-kelompok dengan mengurangi hal-hal yang merugikan kelompok minoritas tersebut.Misalnya dengan diberikannya hari-hari raya, bahasa, pendirian tempat ibadah, aturan-aturan birokratis dst.Hal tersebut diatas sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tentang HAM yang berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatis itu”.

Kedua, sikap negara terhadap kelompok-kelompok “illiberal”.Ada dua macam kelompok disini: minoritas illiberal yang damai, yaitu yang menindas para anggotanya demi solidaritas, namun tidak ingin menguasai kelompok-kelompok lain; dan minoritas illiberal yang agresif-totaliter, yaitu yang menindas para anggotanya demi solidaritas sekaligus ingin menguasai kelompok-kelompok mlain, jika perlu dengan melawan hukum nasional.Terhadap kelompok tipe yang kedua iniNegara harus bersikap tegas dan bertindak demi law and order.Polisi dan aparat harus dikerahkan untuk mencegah dan menindak setiap aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas.Kemudian pada tipe yang pertama, negara menurut Kymlicka tak boleh bersikap paternalistis dengan mengintervensi mereka secara politis.Tapi negara juga tidak boleh pasif terhadap ketidakadilan, sehingga harus menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan kelompok itu mereformasi diri dan membuka diri terhadap pluralisme.

Kemudian terkait prinsip kesamaan di hadapan hukum karena semua warga negara diperlakukan sama tanpa diskriminasi, prinsip ini sampai pada taraf tertentu dapat berbalik menjadi ketidakadilan.Hal tersebut terjadi jika kekhasan dan keberlainan dari individu-individu maupun kelompok-kelompok diabaikan.Dengan diperlakukansama, kelmpok minoritas justru dapat merasa didiskriminasikan, karena kesamaan itu menguntungkan mayoritas.Keadilan bisa berarti kesamaan, tetapi kesamaan yang memuncak menjadi penyamaan tanpa batas akan bertentangan dengan keadilan yang lain.Keadilan yang lain ini terdapat dalam sikap menghargai keberlainan dan kekhasan.

Menggalang sikap saling pengertian antar suku dan agama tentu merupakan masalah yang rumit, karena menyangkut tata nilai kultural, prasangka, dan lain-lain.Tetapi langkah politis yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya tentu merupakan langkah yang terpenting untuk mulai mengatasi malalah tersebut.Negara hukum demokratis harus proaktif berjuang mengatasi masalah tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun