Jalan ilmu menjadi jalan sunyi. Tidak setiap insan, mau bergelut dengan dunia ilmu secara mendalam dan menyeluruh sampai ke akar-akarnya. Hal ini lantaran, mode hidup manusia, terutama di masyarakat kita, bukan mode pencarian ilmu. Melainkan mode hiburan, politik, dan aktivitas lain yang sebenarnya hanya serpihan-serpihannya ilmu.
Imam Ghazali, cendekiawan muslim yang lahir beberapa abad lalu pernah berujar: "Siapa saja yang bergelut dengan dunia keilmuan, maka ia akan berharga (tinggi derajatnya). Kenapa? Karena ilmu saja itu sudah luhur. Proses pencariannya juga adiluhung. Apalagi tujuan atau buahnya dari ilmu itu sendiri."
Misalnya saja, ketika kita pergi dan peroleh tanya mau kemana? Dengan pede kita menjawab, mau belajar atau mau cari ilmu. Tanpa sadar, kita sudah dilabeli sebagai manusia mulia. Manusia yang tidak menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang tidak perlu
Beda cerita ketika jawaban yang terlontar adalah nongkrong, main game, atau cari hiburan. Sekalipun kita melakukan aktivitas itu dalam konteks positif, tapi efek labelisasi itu tidak membuat diri kita naik derajat layaknya sedang mencari ilmu.
Bahkan, kata belajar atau mencari ilmu itu sudah mulia. Terlebih, subjek yang bergerak dalam rangka pencarian ilmu, otomatis juga mulia. Belum lagi tujuan pencarian ilmu adalah untuk kebermanfaatan kepada diri dan liyan. Tentu ini sangat mulia.
Fahruddin Faiz dalam sela-sela mengampu ngaji filsafat di Masjid Jendral Sudirman, Yogyakarta pernah memberi tips jitu ihwal itu. Katanya, "Paling tidak, satu hari kita harus dapat satu ilmu.,"
Bayangkan saja, jika itu konsisten kita tunaikan selama 3 tahun berturut-turut, maka kita peroleh akumulasi 1000 ilmu. Ini bisa membuat diri kita menjadi berkualitas. Kedengarannya memang sepele, tapi saya dan bahkan kita semua meyakini, tidak banyak manusia yang bisa menunaikannya. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H