Di situ kami berkenalan dengan budaya baru. Kami menyusun berbagai program yang mungkin bisa kami eksekusi di situ dengan risiko seminimal mungkin. Satu program yang saya ingat, karena saya menjadi orang yang terlibat banyak di program itu, adalah pengajian akbar.
Seperti namanya, pengajian itu digelar sebagai doa bersama sebelum kami pergi meninggalkan lokasi KKN. Pengajian itu juga mengundang sejumlah tokoh yang ada di daerah tersebut, termasuk juga seluruh desa di Kecamatan Kwandang.
Saya rasa ini bagian menariknya. Sebab di situ saya bersama satu teman lainnya diutus mengirim surat undangan ke berbagai kepala desa yang ada di kecamatan tersebut. Satu desa, namanya Desa Mamuru kalau saya tidak salah ingat, merupakan desa yang terbilang berlum terbangun secara infrastrukturnya.
Desa itu adalah pecahan dari Desa Titidu. Untuk menuju ke desa tersebut kami berdua harus melewati sungai beraliran deras di perbatasan Desa Titidu. Masuk ke Desa Mamuru, jalan sudah tidak beraspal, melainkan tanah yang saat hujan sangat lengket dan saat kemarau sangat berdebu.
Di situ kami bersua dengan kepala desa dan mengobrol banyak hal. Salah satunya yang saya ingat ketika kunjungan kami ke desa tersebut ialah banyak mata memandang dengan heran. Ada tamu dengan wajah, cara bicara, dan pakaian yang berbeda dengan mereka. Mata itu seakan-akan hendak berkenalan dengan kami. Tapi kami hanya membalasnya dengan senyum dan anggukan kepala. Mereka tidak membalas balik, tapi tetap memandangi kami dengan wajah heran.
