Hal yang sama juga berlaku pada profesi-profesi yang dinilai elit itu tadi. Berapa posisi yang dibutuhkan untuk masa mendatang, dan berapa banyak yang digiring untuk masuk ke profesi tersebut.
Di sisi lain, profesi-profesi yang dinilai pinggiran tidak dikenalkan oleh sekolah sebagai profesi yang luhur. Profesi pinggiran cenderung dianggap profesi bagi orang-orang yang kalah dalam kehidupan.
Jarang kita temui saat anak-anak ditanya kelak nanti ingin menjadi apa kemudian dengan lantang menjawab, petani, nelayan, tukang becang, atau profesi lain yang serupa. Sekalipun itu anak petani, mereka hampir selalu menjawab ingin menjadi dokter atau pilot.
Ya akibat tidak langsung, petani misalnya, generasi-generasi selanjutnya menjadi tidak tahu bagaimana cara menanam padi dan membasmi hama dengan benar. Sebab dirinya didorong untuk belajar dan digiring untuk meraih profesi yang dinilai prestisius itu tadi.
Padahal jika negeri ini kekurangan sumber daya petani saja misalnya, kemungkinan besar suplai padi atau beras ke perut-perut warga juga terhambat. Ujung-ujungnya ya impor.
Teman-teman boleh menilai ini sebagai cocoklogi. Tapi yang ingin saya garisbawahi adalah di bulan kemerdekaan ini, mbok ya menghargai setiap profesi yang ada. Mulai dari pemungut sampah sampai rektor, pejabat sampai mereka yang setiap hari hanya membuat keset untuk kaki kotor, dan seabrek profesi-profesi lainnya.
Setiap profesi itu baik, yang membuatnya tidak baik bukan karena tidak berseragam dan bergaji kecil, tapi karena di dalam profesi tersebut dirinya mencuri yang bukan menjadi haknya.Â
Maka tahun depan, jika Bulan Agustus hendak digelar pawai kembali, profesi lainnya bisa dilibatkan dengan menjadikan satu dua bocah sebagai prototipenya.
Toh negeri ini tidak dibangun hanya dari orang-orang yang setiap hari memegang pena, berdiskusi, dan duduk di bawah ruang yang nyaman. Melainkan juga oleh mereka-mereka yang berjuang di bawah terik matahari, bercucuran keringat, bahkan sampai meregang nyawa lebih dulu sebelum menikmati perjuangannya dan dinyatakan menang.
Cerita ini diilhami dari obrolan dengan buruh gendong Pasar Beringharjo dan tukang becak yang biasa mangkal di Pasar Demangan. Salam kesetaraan profesi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H