Menulis memang memiliki nilai manfaat yang banyak. Selain sebagai sarana untuk menghilangkan stress, menulis juga bisa menjadi semacam investasi di masa mendatang. Anggaplah seperti tabungan.
Ya, ketrampilan menulis memang jarang dimiliki dan diminati oleh sembarang orang. Boleh jadi orang itu memiliki bakat menulis, namun tidak pernah menulis, akhirnya tumpul. Ada juga yang tidak berbakat namun kekeh agar bisa menulis dengan bertenaga. Bahkan beberapa ada yang beranggapan menulis menjadi aktivitas yang membuang-buang waktu. Lebih baik digunakan untuk aktivitas lain yang dinilai lebih produktif dan menjanjikan materi.
Apalagi di negeri kita ini, profesi penulis masih dianggap barang tak kasat mata dan disalah artikan. Kelakar lucu pernah dialami oleh Mahfud Ikhwan, penulis ngetop yang moncer dalam satu dasawarsa belakangan ini. Lha gimana egak moncer, kitab cerpennya Kambing dan Hujan berhasil meraih kemenangan di Sayembara Novel DKJ 2014, kemudian novel Dhawuknya yang menggait penghargaan bergengsi Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, dan ia akhirnya dipaksa untuk mewakili sastrawan Indonesia ke Frankfurt Bookfair 2018.
Beberapa tahun silam petugas sensus mendatangi Mahfud seraya bertanya pekerjaan apa yang sedang ia geluti. Mahfud menjawab dengan yakin, mantab, dan tegas, "saya penulis mbak."
"Penulis?", ekspresi geli bercampur bingung merayapi wajah petugas sensus. Namun sejurus kemudian petugas sensus segera menerka dan terlontarlah pertanyaan untuk meyakinkan dirinya sebelum jatuh pingsan, "penulis itu maksudnya sekretaris ya?"
Dalam bayangan petugas sensus mungkin penulis itu adalah sekretaris, dan tugas sekretaris adalah juru ketik. Urut-urutan yang memiliki legitimasi konstruksi historis yang kuat soal penulis. Cerita ini ditulis oleh Iqbal Aji Daryono dalam bukunya Out of The Lunch Box (Yogyakarta: Shira Media, 2018).
Tapi apakah ada orang yang memang berprofesi sebagai penulis? Ada, tapi hanya sedikit. Sebut saja nama-nama beken yang kerap muncul di laman mbah google, Pramoedya Ananta Toer, Tere Liye, Andrea Hirata, dan beberapa lagi. Selebihnya hanya menjadi sampingan kala waktu senggang atau untuk sekadar untuk menambah kepingan rupiah.
***
Di masa pandemi covid 19 ini, profesi penulis mengalami lonjakan. Bekerja dari rumah, pemutusan hubungan kerja, dan kebutuhan hidup yang tidak bisa ditunda membuat banyak orang memilih sampingan menjadi penulis di media. Beberapa bahkan ada yang rela ikut kursus kelas menulis agar namanya terpampang di media dan tentunya, dapat honor.
Media-media yang awalnya kesulitan mencari tulisan masuk yang layak dimuat, kini harus berjibaku menyeleksi puluhan tulisan yang masuk setiap harinya. Media dimanjakan dengan pilihan tulisan itu. Oh ini cocok, ini tidak. Tulisan yang ini dikembalikan saja untuk diedit ulang.
Namun kadang kala juga ada belasan tulisan masuk dengan topik obrolan dan kualitas yang sama. Atau penulis tidak melakukan filter sejak dari awal, mulai dari typo, pemilihan diksi, judul yang ngawur, dan seabrek hal-hal kecil yang cenderung diremehkan oleh penulis awal. Biasanya redaktur tidak mau ambil pusing, satu dua paragraf awal dan akhir dibaca tidak menarik, ya sudah, dikembalikan ke pemiliknya.