Problem rasial masih belum rampung. Setelah sekian tokoh berargumentasi dengan dalil-dalil soal keadilan dan kesetaraan sesama umat manusia, rasial masih saja terjadi.Â
Sejumlah orang didiskriminasi tanpa sebab, bahkan harus meregang nyawa sebelum pendapatnya dikemukakan. Amerika Serikat, negara yang konon mendeklarasikan sebagai negara kebebasan dan egaliter, nyatanya masih menyimpan sejumlah kasus rasial. Kabar ini memang memilukan.
Belakangan ini, kasus rasial telah memantik amarah sejumlah manusia untuk melakukan protes unjuk rasa. Tewasnya George Floyd, pria kulit hitam, yang lehernya ditekan dengan dengkul selama sembilan menit oleh polisi berkulit putih di Minneapolis, Negara Bagian Minnesota menjadi alasan manusia untuk bergerak menuntut hukuman yang setimpal.Â
Pengunjuk rasa juga menyuarakan reformasi di kepolisian untuk mengakhiri tindakan brutal kepada warga kulit hitam. Memang kepolisian di Minnesota didominasi oleh orang kulit putih dengan prosentase penduduk 60% berkulit putih, 20% berkulit hitam, 10% Latin, dan 6% Asia.
Di sisi lain, Amerika Serikat sendiri masih ngos-ngosan menangani pandemi covid 19 yang menewaskan lebih dari 100.000 warganya. Angka pengangguran juga melonjak tajam. Kabar ini dapat kita dapati di Koran Kompas dengan tajuk "Gejolak Rasial Guncang AS", 02 Juni 2020.
Protes unjuk rasa yang semula damai dan tertib berubah menjadi bentrok dan rusuh di malam hari. Penjarahan juga terjadi di sejumlah kota. Sebagai respon, pemerintah memberlakukan jam malam.Â
Simak penuturan yang dikutip dari Harian The New York Times, "demonstrasi dan kerusuhan terjadi setidaknya di 14o kota di seantero AS. Para wali kota pun memberlakukan jam malam di hampir 40 kota.Â
Ini pemberlakuan jam malam terluas di AS sejak 1968, menyusul terbunuhnya Martin Luther King Jr, yang kala itu, seperti kini, terjadi pada musim kampanye pemilu presiden." Di Indonesia sendiri pemberlakuan jam malam diberlakukan sebagai proteksi dari maling dan apel kepada pacar, bukan solusi dari penjarahan dan demonstrasi besar-besaran.
Bisa ditebak, garda terdepan yang menghadapi lautan pengunjuk rasa adalah polisi itu sendiri. Bahkan ketika mendekati Gedung Putih, Presiden Donal Trump disembunyikan di bungker. Lha staffnya? Mungkin di depan pintu bungker.Â
Saya agak gagap memaknai sikap yang diambil, apakah ini bentuk proteksi agar presiden sebagai orang nomor satu tidak dicederai oleh amukan pengunjuk rasa yang merupakan warganya sendiri? Apa malah ini menjadi bentuk dari pemerintah yang emoh tanggung jawab dan secara tidak langsung merestui rasial terus berlanjut? Ah embuh.
Namun kita patut bersyukur sementara. Bahwa empat polisi yang terlibat di kasus ini telah dicopot dari jabatannya. Namun hanya Derek Chauvin yang diajukan ke pengadilan. Sedangkan tiga lainnya, Tou Thao, J Alexander Kueng, dan Thomas K Lane masih bebas belum dituntut.