Pak Sugi, begitu panggilan akrabnya di masyarakat. Perawakannya tidak terlalu tinggi sekaligus tidak terlalu gemuk. Kulitnya bersih dan selalu berpenampilan menarik. Usia Pak Sugi sudah kepala lima. Meskipun begitu, Pak Sugi terlihat seperti baru berusia tiga puluh tahunan. Mungkin karena kebiasaannya yang selalu tampil menarik dan punya kulit bersih, membuat Pak Sugi terlihat lebih muda dari orang-orang seusiannya.
Pak Sugi merupakan orang pendatang di Yogyakarta. Berbekal niat awal ingin melanjutkan studinya, Pak Sugi meninggalkan kampung halamannya di Cirebon untuk menuju ke Kota Pelajar, Kota Yogyakarta. Alih-alih kembali ke kampung halaman setelah selesei studi, Pak Sugi justru betah dan menetap di Kota Yogyakarta, sembari mengembangkan hasil studi yang telah diperolehnya.
Pak Sugi berprofesi sebagai tukang salon. Profesi tersebut merupakan hasil studi yang telah diraihnya selama melanjutkan studinya di Yogyakarta. Pada mulanya Pak Sugi ikut majikannya, karena memang pada masa itu Pak Sugi belum mampu untuk membeli lahan sebagai tempat usahanya sendiri. Setelah bertahan sekitar dua puluh tahun, dengan berganti-ganti majikan, Pak Sugi akhirnya mampu menyewa barang sepetak lahan untuk mendirikan dan menjalankan usahanya sendiri.
Di awal-awal bulan usahanya, Pak Sugi mengalami berbagai macam kendala. Mulai dari pelanggan salon yang belum ada sampai cibiran masyarakat tempat Pak Sugi mengais rejeki. Hampir semua orang yang bertemu dengan Pak Sugi merendahkannya.
"Laki-laki kerjanya kok di salon. Apa tidak ada pekerjaan lainnya,"Â begitu salah satu ucapan yang merendahkan Pak Sugi.
Iya...Pak Sugi memang seorang waria. Entah dari awal kelahirannya atau karena pengaruh lingkungannya belum diketahui secara pasti, dan masyarakat pun enggan untuk menanyakan atau mencari tahu lebih lanjut. Bisa juga disebabkan karena profesinya sebagai tukang salon, yang membuat kedalaman jiwa Pak Sugi berubah layaknya seorang ibu.
Perlakuan dan cibiran yang merendahkannya tidak berhenti disitu. Pernah suatu masa, Pak Sugi direndahkan di masjid. Peristiwa itu terjadi ketika Pak Sugi selesei melaksanakan sholat dhuhur berjamaah.
Usai berdoa, Pak Sugi bergegas keluar masjid, karena ada pelanggan yang sudah menunggu di salonnya. Tepat kaki kanannya memakai sandal, dari masjid ada suara laki-laki yang membentaknya dari belakang, "Kamu dilaknat. Kamu tidak pantas berada disini. Kamu pasti masuk neraka".
Ternyata orang tersebut diketahui sebagai takmir masjid. Perawakannya agak kurus dengan kulit putih bersih. Wajahnya menandakan orang tersebut masih berstatus sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Yogyakarta. Wajahnya masih terpasang garang dengan mata melotot menghadap ke arah Pak Sugi.
Pak Sugi pun kaget. Alih-alih ketakutan, Pak Sugi justru marah. Mukanya merah padam dengan tangannya menuding ke arah takmir tersebut.
"Kamu itu siapa? Kok sudah berani-beraninya mengatakan saya dilaknat. Apakah banci itu pasti masuk neraka? Apakah banci tidak boleh sholat di masjid? Apakah masjid ini punyamu sendiri? Hhheee... Apa kamu sudah merasa suci jadi takmir? Kok seenaknya sendiri kalau ngomong. Banci-banci begini saya juga punya Tuhan, saya juga punya perasaan. Apa kamu kira banci itu kayak hewan?". Orang tersebut tidak bisa menjawab serentetan pertanyaan yang keluar dari mulut Pak Sugi.