Tulisan ini mengisahkan tentang tokoh 'aku', mulai dari masa kecil sampai keberhasilannya mempertahankan Republik Indonesia bersama teman-teman semasanya. Diawali dari keinginannya untuk bersekolah di Madrasah Al-Huda yang dipimpin oleh Ustaz Mursyid, seorang ulama yang berasal dari Solo. Namun kendala biaya sebanyak dua puluh lima rupiah menjadi tembok penghalang untuk melegakan keinginannya mencari ilmu pengetahuan. Tapi akhirnya keinginan tersebut terwujud setelah diplomasi ibunya atas ayahnya mendapat kemenangan, dengan catatan dia harus merelakan waktu bermainnya untuk membantu kedua orang tuanya, entah untuk mencari rumput atau sekedar bantu-bantu orang tuanya di rumah.
Madrasah Al-Huda menjadi satu dengan mushola. Maklum, pada masa tersebut Republik Indonesia masih mengalami paceklik multidimensi yang disebabkan oleh penjajahan Belanda. Di dalam mushola tersebut dibagi menjadi tiga kelas dengan satu pengajar, yakni Ustaz Mursyid sendiri. Meskipun begitu, Ustaz Mursyid bisa menguasai seluruh kelas. Caranya dengan membagi pelajaran yang berbeda, jika kelas satu menyalin, kelas dua menghafal, kelas tiga diberi penjelasan dan sebaliknya. Selain itu, Ustaz Mursyid juga membuat pertemuan dengan para wali murid. Tujuannya untuk menjalin mitra kerja yang baik antara murid, guru, dan wali murid.
Semakin hari semakin banyak anak-anak yang bersekolah di Madrasah Al-Huda. Musholapun tidak sanggup untuk menampung banyaknya murid yang mendaftar. Karena memang Madrasah Al-Huda menjadi madrasah idola di kampung Sukaraja Wetan. Akhirnya para wali murid melakukan iuran dan membangunkan gedung baru. Selain itu, masalah pengajar juga menjadi kendala. Untuk mengatasi masalah itu, Ustaz Mursyid mengangkat santri-santrinya yang dianggap memenuhi kriteria sebagai pengajar. Tentunya diberikan bekal pengetahuan terlebih dahulu. Mushola yang dulu menjadi pusat pembelajaran, setelah adanya gedung baru, hanya digunakan sebagai tempat peribadatan dan diskusi para santri.
Setelah dinyatakan lulus dari Madrasah Al-Huda, tokoh 'aku' melanjutkan untuk mencari ilmu di luar daerah. Karena memang budaya yang ada di kampung tersebut belum disebut laki-laki jika belum pernah pergi ke tempat yang jauh. Bisa jadi dalam rangka bekerja, mencari ilmu pengetahuan atau hanya sekedar melalang buana mencari pengalaman untuk bekal hidup. Tokoh 'aku' memilih kota Solo sebagai tujuannya. Alasan memilih kota Solo yakni selain sebagai tempat pusat kegiatan islam juga sebagai tempat pergerakan dan kegiatan jurnalis. Bahkan markas jurnalis seluruh Indonesia pada masa itu bertempat di Solo, PERDI (Persatoean Djurnalis Indonesia) namannya. Di Solo, selain melabuhkan keinginannya dalam bidang jurnalis, tokoh 'aku' juga berhasil menggondol ijazah dari madrasah Al-Islam tempat belajarnya.
Sepulang dari Solo, tokoh 'aku' mendirikan sebuah sekolah yang berada di bawah bendera organisasi islam Nahdlatul 'Ulama. Tujuannya yakni untuk menandingi sekolah-sekolah yang dimiliki Belanda dan milik agama-agama lain yang terlebih dulu telah berdiri. Selain itu, keinginannya menjadi penulis semakin menjadi-jadi. Untuk menyalurkan keinginannya, tokoh 'aku' menulis artikel-artikel lantas dikirim ke surat-surat kabar. Dari tulisan-tulisan artikel itulah, menjadi titik awal pertemuannya dengan orang yang selama ini dikagumi,nya yakni putra dari pendiri Nahdlatul 'Ulama, beliau KH. A. Wahid Hasyim. Tokoh 'aku' dimintai untuk mengisi surat kabar miliknya, Suluh Nahdlatul 'Ulama dengan tulisan-tulisannya.
Semenjak itulah, pertemuannya dengan KH. A. Wahid Hasyim menjadi lebih intens. Pertemuan-pertemuan selanjutnya tidak hanya membahas tentang tulisan-tulisan atau keilmuan, tapi juga membahas tentang strategi politik dan pergerakan melalui jalur pesantren. Tokoh 'aku' menjadi corong dalam pendistribusian strategi dari KH. A. Wahid Hasyim kepada para kyai-kyai yang ada di Jawa Tengah dan sekitarnya. Strategi mulai dari pengusiran Belanda sampai dengan mempertahankan kemerdekaan yang hendak dirampas kembali, tokoh 'aku' yang menjadi pendistribusi sekaligus turut ikut memperjuangkannya.
Dari buku tersebut ada beberapa semangat positif yang dapat diambil dan direnungkan di era milenial ini. Pertama tentang mencari ilmu pengetahuan. Memang latar waktu yang digunakan dalam buku tersebut adalah masa penjajahan. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesusahan. Tapi di masa yang demikian justru semangat untuk mencari dan mengembangkan keilmuan tidak pernah surut. Semangat yang demikian hari ini kiranya wajib dibudayakan bagi seluruh warga Indonesia. Sebab bidang sosial maupun agama banyak yang melegitimasi keharusan untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Bidang sosial misalnya, orang yang bodoh akan cenderung diremehkan dan ditindas oleh orang lain. Satu-satunya untuk lepas dari jurang kebodohan dan penindasan adalah dengan belajar. Di bidang agama, ayat yang pertama kali turun yakni iqra' bismi rabbikal ladzi kholaq (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu). Ayat Al-Qur'an ini telah jelas sekali telah menyuruh dan melegitimasi manusia, khususnya umat islam untuk belajar dengan cara membaca.
Kedua tentang kemandirian. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, pada masa dahulu tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Murni bantuan dari wali murid, bahkan uang bulanan yang dibayarkan para santri kepada kyai digunakan kembali untuk membangun fasilitas-fasilitas penunjang pembelajaran. Selain itu, santrinyapun juga dilatih untuk hidup mandiri. Agar nanti ketika terjun di masyarakat bisa tahan banting dan memecahkan permasalahan tanpa merepotkan orang lain. Semangat kemandirian ini bisa kita ambil dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika menghadapi ujian, kita harusnya bisa mandiri dengan tidak mencontek hasil pekerjaan milik orang lain. Untuk bisa mandiri menjawab soal ujian, kita harus ada persiapan. Persiapannya yakni belajar. Oleh karena itu erat kaitannya antara kemandirian dengan belajar.
Ketiga semangat cinta tanah air. Dalam dunia pondok pesantren, terlebih pondok pesantren yang bernaung di bawah Nahdlatul 'Ulama mencintai dan mempertahankan Republik Indonesia adalah suatu keharusan. Bahkan Nahdlatul 'Ulama pada Muktamar 1984 di Situbondo telah bulat menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara final dengan Pancasila sebagai ideologinya dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Disamping itu, mencintai dan merawat tanah air juga menjadi keharusan bagi warga Indonesia yang lain, tanpa terkecuali. Karena yang memperjuangkan bangsa Indonesia tidak hanya datang dari kaum pesantren. Tapi orang-orang muslim lainnya bahkan non-muslimpun juga bahu membahu untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Maka sudah sepatutnya, generasi penerus kemerdekaan juga turut andil untuk merawat persatuan dan kesatuan Negara Indonesia.
      Resensi dari buku Guruku Orang-Orang Dari Pesantren oleh KH Saifuddin Zuhri. Terbit di kota Yogyakarta oleh penerbit Pustaka Sastra LkiS. Terbit tiga kali yakni pada tahun 1974, 2001, dan terakhir 2007.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H