Mohon tunggu...
Sugeng Eka Pangestu
Sugeng Eka Pangestu Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pekerja Seni dan Pemerhati Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Akon, Pemuda Papua yang Suka Menolong

14 Agustus 2011   15:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:47 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="432" caption="KOMPAS/ICHWAN SUSANTO"][/caption] Kulitnya hitam kelam dan rambutnya keriting dan lebat, sesekali dia mencukur rambutnya hingga gundul, senyum tulusnya selalu menghiasi keramahannya yang renyah dan tidak dibuat-buat. Akon, itulah nama pendeknya, dia adalah pendatang baru di kampungku bersama beberapa saudara kandungnya dia mengontrak sebuah rumah kecil yang letaknya persis disamping rumahku. Akon pemuda Papua, tidak sedikit warga di kampung Rawa Sepat - Cililitan yang tidak mengenal sosoknya. Tubuhnya yang terlihat atletis menunjukkan bahwa dia bukan seorang pemalas.  Akon begitu ringan tangan dan suka menolong dalam segala hal yang dianggapnya mampu untuk melakukannya. Tidak ada kata "tidak bisa" apabila ada tetangga yang membutuhkan bantuannya. Warga di kampungku menyambut kehadirannya dengan tangan terbuka, itu ciri khas orang Betawi yang mudah menerima pendatang baru. Pemuda papua ini memang tidak punya pekerjaan tetap, berbeda dengan kakaknya yang pertama sebagai pemusik yang keluar masuk kafe untuk menghibur pengunjung kafe, begitu pula kakanya yang bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah Instansi Pemerintah.  Walau tidak mempunyai pekerjaan tetap Akon tidak pantas mendapat predikat sebagai pengangguran. Sebab warga di kampungku tidak pernah melihat di dalam keadaan diam. Akon mudah sekali bersosialisasi dan beradaptasi dengan warga yang mayoritas berbeda warna kulit dan beragama muslim. Dia tidak pernah merasa canggung untuk bergabung bersama warga lain dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, wargapun tidak pernah menganggap dia sebagai pendatang bahkan tidak pernah memandang dia sebagai orang yang lain agama. Akon dengan senang hati ikut serta dalam kerja bakti membersihkan Musholla setiap menjelang Ramadhan. Bahkan dia pernah diikutsertakan dalam kepanitiaan acara Maulid Nabi di Mushollah kami meskipun hanya sebagai seksi logistik. Apalagi ketika warga kampungku mengadakan acara karnaval menyambut HUT Kemerdekaan RI, Akon dan keluarga papuanya dengan bangga mengenakan pakaian adat Papua lengkap dengan tombak dan perisainya sambil menyuguhkan tarian khas Papua, warga berbaur membawakan budaya asal daerah masing-masing, dan merah putih berkibar diantara warga yang bersukaria menyambut HUT RI. Akon.... tidak merasa risi ketika dia dengan sukarela mengenakan baju koko dan kopiah putih, aku memandangnya begitu indah seorang berkulit hitam dan berambut kriting memakai pakaian muslim, bahkan dia sempat menjadi pusat perhatian banyak orang ketika dia sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk acara keIslaman tersebut. Kesokan harinya di hari Minggu dia bersama  keluarganya berpakaian rapih sambil menenteng Alkitab untuk pergi ke gereja, dan tidak canggung untuk mengucapkan : "Assalamu'alaikum, ane pergi ke Gereja dulu", kepada semua warga yang berpapasan di jalan. Warga pun tidak segan untuk membalas salam, karena salam adalah do'a. Lebih dari 5 tahun Akon hidup bersama dengan warga kampung, penuh toleransi dan saling menghargai, saling memahami tanpa harus saling mencurigai. Perbedaan bukanlah penghalang untuk menciptakan pelangi yang indah, bukankah pelangi itu juga terbentuk dari bermacam-macam warna. "Besok Akon pulang kampung", begitu berita yang terdengar dari obrolan warga, mereka begitu peduli karena Akon adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah komunitas yang menjunjung tinggi kebersamaan. Namun tidak banyak yang mengetahui kepulangannya ke kampung halamannya. Termasuk aku yang memang banyak kesibukan di luar rumah. Setahun sejak kepulangan Akon, warga kampung mulai menanyakan kabar berita itu melalui adiknya yang masih bekerja sebagai PNS dan khabarnya Akon sehat-sehat saja dan sedang mengurus usaha orang tuanya. Namun di tahun yang ketiga sejak kepulannganya, aku sempat terhenyak ketika mendengar bahwa Akon telah meninggal dunia karena sakit. Berita kepergian Akon untuk selamanya tersebar, dan warga kampung merasa kehilangan. Aku sendiri merasa kehilangan atas kepergiannya, kerinduan akan sesuatu yang menghiasi kehidupan sosial di kampungku adalah kerinduan pada sosok Akon pemuda Papua. Dia, Akon aku anggap sebagai simbol keberagaman tanpa harus menyandang seorang Pruralis namun dia telah menunjukkan kepada kami bahwa kebersamaan dalam perbedaan tidak perlu untuk diteriakkan di depan panggung, tidak perlu diperankan di atas pertunjukkan drama dan tidak perlu digembar-gemborkan lewat siaran televisi, karena sesungguhnya gotong-royong, saling mengharagai dan menghormati, saling memahami adalah sebuah tanaman yang bibitnya sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Tetaplah berkibar merah putihku di Tanah Papua, tetaplah hidup bersama dalam keragaman melantunkan kebesaran lagu Indonesia Raya. Marilah berjabat erat walau warna kulit kita dan bentuk rambut kita berbeda. Kami merindukan Akon-Akon lain, yang dengan ketulusan tanpa kecurigaan tetap mencium merah putih bersama kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun