Di akhir pelatihan yang saya ampu, panitia sangat merekomendasikan agar saya mengunjungi kota bernama Takengon, kota yang bisa Anda sebut sebagai pusat budaya Gayo, di Aceh Tengah. Kabupaten Aceh Tengah yang dulunya memiliki area sangat luas, kini secara administratif terbagi menjadi Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Aceh Tenggara. Ya, nama kedua itu benar, Bener Meriah. Menggelitik, ya namanya.
Lalu, disepakatilah kemudian bahwa kami akan pergi ke kota tersebut dengan seorang teman lama, Pak. “Siwin” Mustika namanya. “Siwin” adalah panggilan umum untuk anak laki-laki dalam budaya Gayo. Jadi, itu lucu nama panggilannya “Pak Siwin” 🙂 Tapi, begitulah panggilan rekan-rekannya di Politeknik Negeri Lhokseumawe.
Kami menyalakan mesin untuk memanasinya jam 9.30. Tak lama kemudian, Panther tua ini merangkak naik menyusuri punggungan gunung, yang membentang dari kawasan Permata hingga Bener Meriah. Ya, ini adalah ‘sejengkal’ punggung Bukit Barisan. Jalan beraspal sangat bagus dan juga lebar. Ini bukan Trans-Sumatera yang membentang di sepanjang pantai timur. Orang di sana menyebutnya Jalan KKA, karena dulunya dibangun oleh PT Kertas Kraft Aceh (KKA), sebuah perusahaan milik negara yang bergerak di bidang pulp dan kertas. Perusahaan ini memproduksi kantong semen sebagai produk utamanya, dan perusahaan ini membangun jalan tanah untuk mengangkut kayu pinus merkusi yang dipotong dari daerah sekitarnya. Jalan yang kini menjadi jalan beraspal ini merayap dari Kawasan Permata ke Danau Laut Tawar.
Pak Siwin menuturkan, “Di musim hujan kita tidak bisa mengharapkan perjalanan yang mudah ke sini karena sebagian besar roda kendaraan pasti hanya berputar di atas lumpur licin. Di musim kemarau, debu tebal akan mengikuti truk-truk besar dengan muatan kayu pinus yang berat. ”
Sekarang jalan itu telah diaspal dengan sangat baik oleh pemerintah. Lihat kanan dan kiri, pohon pinang berdiri menjulang menyambut Anda di pagi yang sejuk. Dan dari sinilah “Pak Siwin” mencerahkan saya dengan beberapa hal yang tidak pernah saya bayangkan.
Dia tersenyum dan berkata, “Bukan, Pak Sugeng, itu Batak Karo.”
Saya tersenyum balik padanya, mengakui bahwa pengetahuan budaya saya sangat terbatas. Dengan cepat saya menyimpulkan bahwa orang Gayo adalah orang Aceh di wilayah tertentu. Tapi ternyata saya keliru dari cara pandang orang Gayo. Percakapan kami selanjutnya mengungkap cara pandang Gayo dari sudut pandang seorang Gayo tentang masyarakat dan budayanya.
Dari percakapan itu tahulah saya sedikit tentang cara pandang Aceh dan Gayo. Di kalangan masyarakat Aceh, Gayo dipandang bukan Aceh. Orang Gayo, kata mereka, dekat dengan Batak. Lebih buruk lagi, mereka adalah orang Batak yang terusir dari tanah asalnya. Kenapa begitu? Kita tahu Batak itu Toba, kan?
Secara geopolitik Gayo menempati dataran tinggi di bagian tengah-utara Bukit Barisan. Aceh mendiami wilayah pesisir Aceh. Gayo mewakili budaya petani sederhana, Aceh mewakili masyarakat glamor kosmopolitan. Bagaimana ceritanya bisa begitu? Ini perlu tulisan terpisah.
Percakapan terus berjalan. Perjalanan terus meluncur. Kami melanjutkan ‘pendakian’ kami menuju puncak gunung Salak. Kudengar Pak Siwin menegaskan, “Dengan adanya prasasti baru yang ditemukan di Takengon, masyarakat harus menulis ulang sejarah Aceh. Prasasti itu memberi tahu kita bahwa budaya Aceh berasal dari budaya Gayo.”
Saya tahu Pak Siwin berusaha meyakinkan saya bahwa Gayo hadir lebih awal dan lebih unggul.
“Kita berhenti di puncak untuk istirahat, Pak Sugeng.”