[caption id="attachment_339840" align="alignnone" width="500" caption="Ilustrasi, sumber foto: jambidaily.com"][/caption]
Beberapa waktu lalu diberitakan bahwa mulai tahun depan gaji PNS DKI akan ditetapkan paling rendah sebesar 12 juta, bahkan sampai 25 juta di tahun 2016. Beritanya bisa diikuti seperti di link yang satu ini. Tentu gebrakan ini menjadi honeymoon yang spektakuler di masa-masa awal kepemimpinan Ahok sebagai Gubernur di DKI Jakarta. Pertanyaannya apakah penetapan gaji ini menolong PNS (DKI) saja dan melebarkan jurang perbedaan kesejahteraan PNS pusat dan daerah (di Jakarta)?
Berdasarkan PP 34/2014 tentang Peraturan Gaji PNS, maka gaji terendah yang bisa diterima PNS dengan masa kerja 0 tahun Gol Ia adalah Rp. 1.402.400, sedangkan tertinggi dengan masa kerja 32 tahun dan golongan IVe adalah Rp. 5.302.100. PP Gaji ini sudah mengalami revisi sebanyak 16 kali, sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1977.
Nah, lantas kenapa gaji PNS DKI bisa berlipat-lipat besarnya dari standar gaji PNS pada umumnya? Inilah yang media seringkali tidak (pernah) kutip dengan tuntas. Bahwa gaji yang dimaksud Ahok di sini adalah gaji dan tunjangan kinerja daerah (TKD), yang dimungkinkan dialokasikan oleh setiap Pemerintah Daerah dengan menyesuaikan kemampuan daerah masing-masing. Pemda DKI dengan PAD-nya yang (ter)tinggi tentu sangat mampu untuk menggaji (baca: membayar TKD) pegawainya setinggi itu. Tinggi? Sejujurnya untuk ukuran hidup di Jakarta, dengan standar biaya hidup di atas daerah lainnya, tentu gaji sebesar itu tidak banyak selisihnya.
Bagaimana dengan PNS pusat yang bekerja di Jakarta? Tentu dengan status ke"pusat"annya, mereka akan menerima gaji (khususnya tunjangan kinerja) yang berbeda, disesuaikan dengan kemampuan instansinya (misalnya PNBP, Penerimaan Negara Bukan Pajak). Semakin "menghasilkan" instansi tersebut bagi kantong negara, semakin besar kemampuan instansi itu untuk memberikan gaji yang layak kepada pegawainya. Pada kasus ini, hanya instansi-instansi yang "basah" saja yang bisa melakukan itu, tanpa perlu menyebut nama instansinya tentunya. Lain cerita untuk instansi yang "kering", di mana pegawainya harus siap menerima gaji dan tunjangan apa adanya. Salah sendiri tidak menguntungkan negara.
Saya buat perbandingan Si A tukang sapu di DKI (yang PNS) tentunya, dengan si B seorang Professor di PTN Jakarta yang menerima gaji dan tunjangan kehormatan guru besar (namanya bukan tunjangan "kinerja"), berdasarkan PP 41/2009. Si A di tahun 2015, yang belum berpengalaman dan masa kerja minim akan menerima 12 juta bersih dengan tugas menyapu dan menjaga kebersihan wilayah yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan si B dengan pengalaman segudang, keilmuan yang tinggi dan masa kerja puluhan tahun hanya akan menerima Rp. 20 jutaan. Memang terdapat perbedaan sekitar 8 jutaan, tapi jika dibandingkan antara masa kerja dan kualifikasinya, maka dapat terasa ada yang salah dengan fakta ini. Jangan bandingkan Si A dengan pegawai rendahan di instansi pusat, sudah pasti jomplangnya.
Inilah potret keadilan pasar yang disajikan oleh sistem desentralisasi, di mana daerah sangat "legitimate" untuk menyejahterakan pegawainya, sementara pemerintah pusat tidak berdaya melakukan hal yang sama, padahal secara fisik dan geografis keduanya hidup di satu kota yang sama. Pemda DKI tidak bisa disalahkan atau digugat. Bukan salah mereka kalau PAD tinggi. Tapi DKI menjadi se"kaya" ini karena mendapatkan keistimewaan sebagai daerah ibukota, di mana seluruh pusat pemerintahan berlokasi di DKI, serta di mana seluruh proses dan dinamika sosial, ekonomi dan politik nasional "terpaksa" terpusat di DKI. Bayangkan jika ibukota ada di Tjipetir misalnya, tentu hanya warga Tjipetir saja yang menikmati keistimewaan ini.
Apa artinya ini? Bagi saya DKI pun sebenarnya berhutang kepada pemerintah pusat, karena dengan keberadaan pemerintah pusat di DKI lah, maka DKI mendapatkan PAD yang yang sedemikian tinggi. Dengan kata lain pemerintah pusat mempunyai "share" atau saham atas tingginya PAD DKI. Jadi bagi saya sudah sewajarnya kalau Pemda DKI "mensubsidi" silang kesejahteraan (pegawai) pusat, khususnya yang tinggal dan/atau bekerja di wilayah DKI. Mungkin jajaran Menpan dan Menkeu perlu sedikit berbaik-baik dengan Ahok, hehe.
Lebih adil mana coba?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H