Setiap hari jumat saya selalu mengunjungi St Francis Hall, Chaplaincy di komplek University of Birmingham untuk melakukan ibadah sholat jumat. Tempat ini sebenarnya biasa digunakan untuk beribadah seluruh umat, baik Islam, Kristen ataupun penganut agama lainnya. Tidak heran Al Quran dan Injil disusun dan disimpan rapi dalam satu rak yang sama. Seperti biasa, hari ini (24/10/14) saya sudah siap-siap untuk menahan kantuk karena mendengarkan khutbah yang biasanya ‘relatif’ datar dengan topik bahasan seputar Palestina, Israel, Timur Tengah, anak yatim  dsb. Namun ternyata hari ini hadir Imam Jumat yang berbeda. Begitu khutbah dimulai, dia langsung menggebrak jamaah dengan intonasi pembukaan yang tinggi dan terus meningkat, sehingga mampu memaksa dan mengusir kantuk yang tadi saya siapkan sebelumnya. Seluruh jamaah seolah terkesima dengan pembawaan yang berapi-api tersebut.
[caption id="attachment_330952" align="aligncenter" width="576" caption="Rak tempat Al Quran dan Injil berdampingan disimpan di Chaplaincy"][/caption]
Apa sebenarnya yang dia sampaikan? Baiklah, tema khutbah sebenarnya dimulai dengan menggugah komunitas muslim untuk aware dan peduli dengan pelbagai persoalan. Yang terbaru katanya adalah penghinaan (kembali) terhadap Rasulullah SAW melalui pembuatan film dsb. Dan reaksi umat islam sepertinya datar-datar saja. Pesannya sederhana, janganlah kita  menjadi bangsa yang reaktif, tapi jadilah umat yang proaktif. Dia mengingatkan bahwa umat muslim adalah satu tubuh. Sesungguhnya muslim itu bersaudara. Innamal mukminuuna ikhwatun. Kira-kira begitu Bahasa Arabnya.
Sampai di sini saya masih mangut-manggut dan sependapat dengannya. Lantas dia mengingatkan beberapa kisah jaman Nabi SAW dan sahabat. Satu pertanyaan yang dilontarkan Imam yang membuat kantuk saya benar-benar terusir adalah. ‘Would you split your wife (mungkin wives maksudnya) with someone you don’t know for the sake for brotherhood?’  kira-kira dalam Bahasa kita begini, ‘Bisakah anda berkorban untuk membagi istri (-istri) anda dengan orang lain atas nama persaudaraan?’. Itulah yang dilakukan sahabat kepada saudaranya yang seiman, tegasnya dengan berapi-api.’ Well, would you?!!’ Dalam hati saya berteriak.
Entahlah, barangkali konsep persaudaraan pada jaman Nabi dan sahabat perlu dipahami secara lebih arif dan bijak dalam konteks kelokalan, norma dan budaya yang berlaku. Tidak serta merta diterjemahkan secara literal. Saya berani bilang akan sangat sulit dibayangkan pada masa kini, ada orang yang mau berbagi istri (-istri)nya dengan orang lain, atas nama keimanan. Sangat sulit barangkali dengan norma yang sekarang menerima istri sebagai pasangan hidup yang bisa diperlakukan seperti ‘barang’ atau komoditi untuk dipertukarkan. Jaman ketika nilai-nilai kesetaraan gender hampir menjadi keniscayaan.
Saya sendiri bukan pengusung isu gender, apalagi pemikir liberal, seperti tokoh-tokoh dari Utan Kayu, hehe. Saya hanya terhenyak dengan adanya pemaksaan opini untuk menerima doktrin tanpa pendalaman dan penghayatan yang lebih arif dan kontekstual. Alih-alih memberi kesejukan, yang terjadi malah resistensi dan kontra produktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H