Mohon tunggu...
suga adiswara
suga adiswara Mohon Tunggu... -

kumpulan serpih2 aksara, yang tercerai dari badai kata

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Rakaat yang Terlewat

16 Agustus 2011   16:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:43 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kupacu laju motor, berpacu dengan mendung yang menggantung di angkasa. Ketika speedo meter menunjuk angka 80 kmh, rintik-rintik hujan mulai berjatuhan. Sempat kusesali keputusanku yang menanggalkan jas hujan di rumah, karena dari pagi langit terlihat amat cerah.

Kugelontorkan laju motor, yang bunyinya kian meraung-raung. Asap tebal mengepul dari knalpotnya. Kupacu lebih kencang lagi, agar terhindar dari kejaran hujan. Agak kaget juga, sewaktu melirik speedo meter. Kecepatannya tak beranjak di angka 80 kmh.

‘Ada apa dengan motor ini?’ gumamku, agak khawatir. Apakah sistem perapiannya bermasalah? Bensinnya mau habis? Rasa-rasanya tak mungkin. Baru saja bensinnya diisi penuh. Baru dua minggu lalu motor ini diservis. Baru juga businya diganti.

Perjuanganku melawan hujan akhirnya kandas. Titik-titik hujan mulai membasahi kaca helm, membuat pandangan agak kabur. Makin lama titik-titik itu berubah menjadi guyuran besar. Celana dan baju basah karenanya. Air yang bercucuran ke bumi semakin lebat, membuat genangan di sepanjang jalan. Tak ada pilihan, selain cepat-cepat mencari tempat berteduh.

Tanpa pikir panjang kuikuti motor di depanku yang membelok ke arah kiri dan akhirnya berhenti di pinggir jalan. Ia memarkir motor, lalu berlari ke suatu tempat tak jauh dari sana dan berteduh. Segera kuikuti lelaki tersebut.

Tempat itu ternyata emperan masjid. Beberapa orang berkerumun di sana. Mereka bernasib sama denganku. Takberapa lama, adzan maghrib ditabuh, membuat kerumunan orang itu bubar dari tempatnya. Mereka berlarian masuk ke dalam masjid. Seperti terburu-buru berebut sesuatu. Ternyata mereka mengambil minuman takjil, untuk buka puasa. Setengah ragu, kudatangi tempat itu, berniat mengambil minuman kemasan plastic, berisi kolak atau es dawet. Agak kecewa juga ternyata semua gelas telah kosong.

Orang-orang yang berkerumun di situ berangsur-angsur pergi. Mereka pergi ke tempat wudhu dan mulai melaksanakan sholat Maghrib. Baru kuingat, kalau di motorku ada bungkusan plastic berisi nasi rawon dan minuman kaleng. Sempat ragu juga apakah aku mesti mengambil bekal itu, ataukah cukup buka air putih saja. Derasnya hujan yang tak kunjung berhenti membuatku tak punya pilihan. Ku ambil air wudhu, dan meneguknya sedikit. Untuk membasahi kerongkongan yang dari subuh tadi berasa kering. Dengan cara itulah kubatalkan puasa.

Segera ku bergabung bersama jamaah lain. Terdengar imam mengumandangkan ayat-ayat suci dengan merdu. Kalau saja imam masjid komplekku, se-TOP1 ini, mungkin aku akan lebih rajin datang ke masjid. Untuk sholat berjamaah. Tiba-tiba kuteringat pada bungkusan plastik berisi makanan, yang sedianya akan dipakai sebagai hidangan berbuka. Kuah rawon itu, moga-moga saja tak dingin. ‘Apa enaknya makan daging rawon yang sudah dingin?’

Hawa dingin hujan mulai terasa ke pori-pori. Angin terasa bertiup kencang dan mulai mempermainkan daun pintu dan jendela yang tidak digerendel. Tubuhkupun sudah separuh basah. ’Yah, mudah-mudahan tidak masuk angin’, harapku setengah cemas. Kalau saja dari tadi membawa jas hujan...

Kusadari diriku sekarang sedang sujud. ’Lho, kapan ruku’nya...?’

Ini adalah penyakit lama kalau sedang sholat. Bila sang imam membaca surat yang agak panjang, pikiranku pasti akan mengembara kemana-mana. Meskipun tubuh secara otomatis mengikuti gerakan sang imam, tapi tak satupun ucapan terlontar dari dalam hati karena pikiran tidak terkonsentrasi di tempat sholat. Bahkan pernah, karena terlalu asyiknya pikiranku mengembara, baru kusadari bahwa sholat sudah selesai. Padahal seingatku, bacaan terakhir yang terlontar dari mulutku adalah bacaan Al-Fatihah di rakaat pertama.

Tak ingin mengulang kembali hal sama, kucoba untuk lebih berkonsentrasi. Kuikuti gerakan imam dengan lebih khusu’ lagi. Setelah sujud dan duduk takhiyatul akhir, sang imam mengucapkan salam. Hampir saja kepalaku menoleh ke kanan, mengucap salam yang sama.

Tapi rasa ragu membuatku mengurungkannya. Sejenak otak ini berusaha mengingat-ingat. Di rakaat berapa tadi aku bergabung dengan imam? Bila sudah bergabung sejak rekaat pertama, tentu saja aku bisa mengakhiri sholatku sekarang. Bila tidak, aku mesti menebusnya dengan berdiri sekali lagi.

Tiba-tiba aku punya ide TOP1!

Kulirik makmum sebelah kiri. Terlihat ia berdiri lagi. Ia tak mengakhiri sholat sebagaimana jamaah lainnya. Segera kuingat. Tak lama setelah aku berdiri memulai sholat tadi, ia juga bergabung di sebelahku. Itu berarti ia menjalani rekaat yang sama denganku. Segera ku berdiri. Menambah satu rekaat sholatku, sebagaimana makmum di sebelahku.

Setelah mengucap salam, ku memohon ampunan pada-Nya. Kuberdoa juga, agar diberi kekuatan dalam menjalankan perintah-Nya. Terutama sholat lima waktu, yang masih jauh dari kata khusyu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun