Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Insinyur - Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

DIY Syndrom, Ilusi Freak Control Aplikasi yang Merugikan Organisasi

29 Agustus 2024   14:23 Diperbarui: 29 Agustus 2024   14:35 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu lalu, saya dihubungi oleh seorang pejabat di unit kerja kampus yang mengusulkan untuk membuat aplikasi baru di unit kerjanya. Aplikasi ini akan menggantikan aplikasi pihak ketiga yang sudah berjalan selama beberapa tahun dan cukup stabil. 

Mendengar usulannya, saya pun bertanya apa motivasi dan tujuannya? Dia menjawab bahwa dengan membuat aplikasi sendiri, mereka akan memiliki kontrol penuh atas sistem, dapat menyesuaikan fitur sesuai kebutuhan spesifik unit kerja, dan meningkatkan keamanan data internal.

Jawaban ini membawa saya pada refleksi yang lebih dalam tentang fenomena yang sering terjadi di berbagai institusi, yaitu kecenderungan untuk terjebak dalam apa yang dikenal sebagai Syndrome DIY atau Do-It-Yourself Syndrome. Fenomena ini, meskipun berangkat dari niat baik untuk meningkatkan kemandirian dan personalisasi, sering kali berakhir dengan hasil yang tidak sesuai harapan, dengan biaya dan risiko yang jauh lebih besar daripada yang diperhitungkan di awal.

Ungkapan Presiden Jokowi pada acara Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) Summit 2024 dan Peluncuran GovTech Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Senin (27/05/2024), menyoroti secara langsung masalah ini. Beliau mengungkapkan, "Bayangkan 1 kementerian 400 (aplikasi), banyak yang lebih dari itu. 

Ada yang lebih dari 5.000. Saya enggak nunjuk di kementerian mana. Saking kreatifnya. Jadi sekali lagi Kemenkes (punya) aplikasi sendiri, pelayanan pajak (punya) aplikasi sendiri, untuk pelayanan pendidikan aplikasi sendiri." Ucapan ini menggarisbawahi betapa banyak institusi yang terjebak dalam DIY Syndrome, yang sering kali dilandasi oleh keinginan untuk memiliki kontrol penuh dan independensi.

Karakteristik DIY Syndrome mencakup kecenderungan untuk melakukan segala sesuatu sendiri, overestimasi kapabilitas internal, meminimalkan risiko dan biaya, serta mengabaikan solusi yang sudah ada. Misalnya, institusi yang merasa harus membangun perangkat lunak dari awal sering kali tidak mempertimbangkan sumber daya dan waktu yang dibutuhkan, atau bahkan meminimalkan risiko biaya tersembunyi seperti pemeliharaan jangka panjang dan dukungan teknis. 

Fenomena ini tidak hanya terjadi di lingkup kementerian atau lembaga pemerintah, tetapi juga sangat terasa di sektor pendidikan tinggi, di mana banyak kampus memilih untuk mengembangkan sistem internal mereka sendiri, meskipun ada opsi pihak ketiga yang lebih efisien.

Fenomena DIY Syndrome ini juga terkait erat dengan beberapa konsep manajemen dan studi organisasi yang telah lama menjadi perhatian para akademisi, seperti bias overconfidence atau managerial hubris. Pejabat atau pemimpin organisasi sering kali menunjukkan keyakinan berlebihan dalam kemampuan mereka sendiri untuk mengelola proyek internal tanpa bantuan eksternal. 

Penelitian oleh Roll (1986) tentang bias hubris menunjukkan bagaimana kepercayaan diri yang berlebihan dapat mengarahkan pada keputusan yang tidak rasional. Dalam konteks DIY Syndrome, keyakinan serupa dapat mendorong pejabat untuk memilih "melakukan sendiri" berbagai proyek, meskipun ada opsi pihak ketiga yang lebih efisien.

Selain itu, konsep Resource-Based View (RBV) dan core competencies menekankan pentingnya organisasi untuk memfokuskan sumber daya mereka pada kompetensi inti dan bekerja sama dengan pihak ketiga untuk fungsi di luar kompetensi tersebut. Dengan mencoba melakukan segala sesuatu sendiri, organisasi mungkin mengabaikan area di mana mereka tidak memiliki keahlian inti, yang pada akhirnya dapat menyebabkan inefisiensi dan kegagalan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus, mengembangkan solusi internal dapat memberikan keunggulan kompetitif. Namun, sering kali organisasi lupa bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya menghindari keterlibatan pihak ketiga. Bahkan dalam hal-hal yang tampaknya sederhana dan rutin, pihak ketiga sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem teknologi mereka, seperti penggunaan layanan email, chat, web server, hingga platform pembelajaran online. Mencoba menghindari ketergantungan pada pihak ketiga ini sering kali membawa lebih banyak masalah daripada solusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun