[caption caption="Suasana malam St. Jatinegara"][/caption]Jam menunjukkan 00.30 WIB tepatnya tanggal 31 Oktober 2015. Aku mulai membangunkan istri dan ketiga anakku agar segera berkemas menuju Stasiun Jatinegara untuk menjemput ibu yang sedang dalam perjalanan dari Semarang – Jakarta dan langsung lanjut ke Bogor. Luar biasa malam itu, dimana pemandangan yang biasa saya tidak lihat di siang hari saat ingin lihat batu cincin di Mall Gemstone Jatinegara, namun kali ini pemandangan dimalam hari sepanjang jalan di depan Jatinegara penuh sesak dengan parkir mobil-mobil.
Dari mobil pribadi, taxi, bajai, hingga tukang ojek sedang asik ngetem meramaikan suasana malam untuk beradu nasib mengais rejeki dari stasiun yang cukup tua di Jakarta tersebut. Ada sebagian sedang asik makan di warung tenda atau warung perko (emperan toko), untuk menunggu penumpang atau hanya sekedar menikmati sendunya udara malam Jatinegara.
Di stasiun yang berdiri di sekitar tahun 1910 ini sebelum kemerdekaan bernama Stasiun Meester Cornelis. Bernama Meester Cornelis karena diangkat dari panggilan murid-murid seorang guru yang mengajar, mendirikan sekolah, dan berkhotbah di kawasan tersebut, yakni Cornelis Senen. Nama itu kemudian diubah menjadi Jatinegara pada masa pendudukan Jepang karena Jepang tidak mau ada istilah Belanda. Nama Jatinegara berarti "Negara Sejati", sebutan dari Pangeran Jayakarta yang terlebih dahulu mendirikan perkampungan Jatinegara Kaum. Kampung ini didirikan setelah Belanda menghancurkan Keraton Sunda Kelapa dan berada di antara Rawamangun dan Pasar Klender.
Tepat pukul 01.00 WIB, aku berjalan pelan menyusuri jalanan di depan St. Jatinegara, namun sampai di ujung jalan menuju tikungan ke arah terminal kampung Melayu setengah jalan rapat oleh mobil yang ngetem. Akhirnya aku pun memutari jalanan untuk arah balik melalui kampung Pulo hingga pertigaan kampung Pulo kami kembali ke arah St. Jatinegara. Kondisi di sepanjang jalan menuju St. Jatinegara pun sama padatnya. Barang kali ibu ada beberapa barang bawaan yang cukup berat, gak kebayang kalau harus bawa ke mobil dengan posisi parkir yang terlalu jauh. Namun setelah aku melewati pintu utama St. Jatiegara sekitar 20 m Alhamdulillah ada satu tempat kosong, langsung saja bernafas lega.
Di depan mobil kami seseorang membantu untuk parkir. “kanan…kanan…teruuus…hop”, katanya. Aku pun keluar melihat lihat situasi. Karena tidak terbiasa menjemput di tempat tersebut, sebagai bentuk kewaspadaan saja, mengingat banyaknya pencurian. Berlahan aku menyapa seorang paruh baya yang membantu memparkiri mobil ku tadi. “Padat ya mas? Iya pak…jawabnya. Karena dia duduk di sepeda motor, asumsiku mungkin dia juga lagi nunggu orang untuk di jemput, atau ojek yang sedang mangkal. Lagi nunggu penumpang mas? Tanya ku. Oh, iya pak. Nah agak lega aku bahwa dia hanya seorang ojek yang sedang mangkal.
Setelah mengetahui status laki-laki tersebut, lalu aku mengajak ngobrol sementara istri dan anakku masih ada di dalam mobil meneruskan tidurnya yang dari rumah terpaksa aku harus bangunkan di tengah pulas tidur mereka. Sudah lama ngojek Mas? Tanya ku kembali melanjutkan obrolan. Yaa, lumayan pak jawabnya. Lumayannya berapa tahun? Timpal ku. Sudah sekitar tiga tahunan pak. Nggak ikut gabung ke Go-Jek aja? Tanya ku ingin tau. Jawabnya dengan air muka sedikit berubah seius, ah, g lah pak, ga tau kita siapa yang punya. Loh kenapa memangnya? Sergah ku. Ya, katanya itu dibelakang Go-Jek Hery Tanoe. Nanti KTP kita diminta gak tau untuk apa. Siapa tau disalah gunakan untuk pilkada.
Jangan sampai nanti disalah gunain untuk ngedukung orang kafir. Yaa, yang sudah-sudah lah yah itu kesalahan kita, akhirnya kita di pimpin orang kafir. Tiba-tiba suaranya meninggi, menunjukkan kekesalan. Lanjutnya, yah, apapun yang terjadi pak, yang penting kedepan jangan pilih orang kafir ya pak! Yang sudah ya sudah! Tegasnya kepada ku. Aku mencoba konfirmasi, sebantar begini mas, kemarin baca berita g? kalau pemilik Go-Jek di ajak Pak Presiden ke USA untuk mempertemukan pengusaha Indonesia ke pengusaha raksasa dunia di USA. Setau saya HT kan tidak mendukung p Jokowil dalam Pilpres yang lalu. Nampaknya abang ojeg mulai bingung. Aku pun langsung bawa istri dan anakku keluar dari mobil dan berpamitan sama dia, sedang dia masih terdiam tidak tau harus menjawab apa.
Sambil meninggalkannya saya sampaikan, sudahlah Mas yang penting fokus cari nafkah untuk anak istri di rumah. Yang penting kita masih bisa cari nafkah. Muncul banyak pertanyaan dalam kepalaku menemani langkah kaki, jaman gini masih ada yang cara mikirnya gitu? Apa dia g mikir ya, dia nyari rizki dari yang naik ojekkan juga bukan orang muslim semua? Yang dipimpin juga bukan orang Islam semua? Memang hanya orang Islam saja yang boleh mimpin? Dia pakai peci tapi, ngajinya dimana ya? Kalau dia ngaji dipesantren mungkin suka cabut? Atau mugkin mutamaridh (orang yang pura-pura sakit)? Atau Muslim di negeri ini sedang maridh? Semoga anda yang membaca cerita ini tidak ikut-ikutan maridh.
Saya jadi teringat sebuah Sabda Sang Buddha dalam Dhammapada yang saya dengar disebuah stasiun Radio dalam perjalanan ke St. Jatinegara:
“Kemenangan menimbulkan kebencian. Kekalahan hidup dalam kesedihan. Kebahagiaan adalah ketika kita mampu mengalahkan kemenangan dan kekalahan. Seseorang yang membuang pikiran untuk menaklukkan orang lain, akan merasakan kedamaian. Seseorang yang menaklukkan ribuan orang dalam perang bukanlah penakluk sejati. Tetapi, seseorang yang hanya menaklukkan seorang saja, yaitu dirinya sendiri, dialah pemenang tertinggi.”
Bukankah Al Quran yang si abang ojek itu juga imani telah tertulis, "sesungguhnya Aku Allah telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu sama lain." Yaa, artinya saling mengenal kebaikan dan mengembangkannya serta mengenal keburukan masing-masing dan menghindarinya.