Mohon tunggu...
Ranggamos
Ranggamos Mohon Tunggu... Lainnya - ****

believe me, sometimes reality is stranger—and much more frightening—than fiction

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanduk di Kepalaku, Bu

7 Agustus 2012   20:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:07 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak pernah menyadari bahwa pada akhirnya aku akan menjelma sesuatu yang aku takuti. Aku berusaha keras untuk memperbaiki diri sendiri namun yang aku temukan adalah sebuah ketersesatan, ketidak-tahuan dan apa omong kosong ini?

.

Aku adalah seorang mahasiswa yang tidak seperti kebanyakan, sebentar lagi aku akan menyelesaikan kuliahku dengan gelar cumlaude, dari jurusan sastra inggris. Perusahaan akan mengejar-ngejar diriku, dan memang demikian. Aku adalah pria tampan yang memiliki dunia ini, mobil yang telah di-custom hingga membuat orang-orang menatap iri padaku, smartphone yang selalu terbaru dan paling mahal, notebook dengan macintosh didalamnya. Semua wanita berharap padaku, siapa yang tidak? Semuanya aku miliki tetapi mengapa karena sesuatu yang kasat menghantuiku? Haruskah menghancurkan masa depanku, haruskah membuatku terpenjara dalam rumah besar yang membosankan itu!

.

Aku harusnya adalah manusia yang paling berbahagia di dunia ini, ya itu semestinya! Pun aku memberikan sebagian kebahagian itu pada anak-anak yang kurang beruntung. Kuberikan uang pada anak-anak jalanan, memberikan bantuan pada sebuah yayasan yang memiliki motto ‘to empowerment street child’. Aku ingin memberikan keberuntungan yang aku rasakan kepada anak-anak itu. Namun mengapa akhirnya yang aku dapatkan adalah derita ini?

.

Memang aku tidak hancur-lebur dan menjadi orang gila yang selalu merintih di pojok kamar. Aku hanya menangisi tanduk yang menyembul dari balik rambut di kepalaku. Tanduk… ya, sepasang tanduk yang kasat namun aku merasakannya, semakin kini tanduk itu semakin memanjang dan menjulang. Pada bagian tengahnya kedua tanduk itu melengkung vertikal, aku tidak dapat melihatnya namun aku merasakannya. Tidak juga dapat menyentuhnya, aku merasakannya. Hal ini tidak membunuhku… tetapi sepasang tanduk ini menggangguku. Setiap hari dikampus aku selalu was-was jikalau ada seseorang yang melihatnya, alih-alih diam orang itu malah akan berteriak-teriak dan mengumumkan pada setiap masyarakat kampus mengenai tanduk sialan ini. Tidak hanya mahasiswa, tetapi dosen, dekan dan seluruh pejabat akan mengetahuinya. Lalu aku masuk majalah kampus, lalu media massa, sehingga aku akan terkenal di Jagat Raya, aku adalah Andri si manusia bertanduk. Tidak… itu tidak boleh terjadi! Aku adalah mahasiswa berprestasi, aku adalah seseorang yang sempurna. Tanduk ini hanyalah omong-kosong, tanduk ini kasat dan tidak ada seseorangpun yang melihatnya, tanduk ini tidak akan menghancurkan hidupku. Tetapi… aku merasakannya, ada sesuatu yang terbentuk dari tengkorak kepalaku, ada sesuatu yang menyembul dan menjulang, ada sepasang tanduk yang sedikit memberat. Aku sungguh merasakannya.

.

Aku memacu mobilku setelah lampu lalu-lintas berubah hijau, smartphone-ku terus berdering namun aku bergeming. ‘Joyce, jangan ganggu aku saat ini!’ Aku membatin. Musik berputar dengan suara yang keras, vocal Morrisey membantu pusingku, aku ikut menyanyi, berharap pikiran-pikiran keparat ini sejenak terlupakan, berharap kedua tanduk ini menghilang. Aku memperhatikan tugu Pancoran yang menjulang dan seketika itu juga aku memikirkan sepasang tanduk di kepalaku. Pedal gas ku-injak dengan keras, tangan kiriku memainkan tuas perseneleng dengan cekatan, jalan tidak terlalu ramai. ‘It’s good to know that now isn’t a rush hour!” Aku bersyukur.  Disebelah kiri jalan aku melihat tempat dimana semua dimulai, sebuah restaurant pizza dimana aku bertemu anak perempuan itu berkalimat. Aku teringat kembali… bagaimana aku bisa melupakannya? Bersama dengan laju mobil memoriku berkelebat, aku melewati resto itu tanpa berpaling. Lalu meninggalkannya dibelakang.

.

Aku ingat ketika aku dulu bukanlah siapa-siapa… ketika aku hanyalah anak kampung yang besar di wilayah padat penduduk pinggiran rel kereta api di Jakarta Selatan. Anak kecil dekil yang tidak memiliki seorang ayah, siapa ayahku? Setiap aku bertanya kepada ibu ia selalu membungkam mulutnya, diam seribu bahasa. ‘Ayahmu hanyalah seorang bajingan pengecut dan tidak mau bertanggung jawab!’ Ya aku menyetujui statement-nya. Ayahku adalah seorang bajingan… membuang benihnya pada rahim ibu lalu lari begitu saja.

.

Ibu adalah wanita yang sangat cantik, setelah kupikir, umurnya masih dua puluh tiga saat aku sudah lima tahun. Aku mengetahui pekerjaanya - yang tidak bisa aku sebutkan disini - ketika aku kelas lima SD, apa yang bisa aku lakukan? Aku marah pada hidup, aku murka pada dunia. Bagaimana ia dapat menghidupiku bila tidak berprofesi demikian? Tetap ia memberikanku kasih sayang… tetap ia adalah seorang ibu yang aku cintai.

.

Saat aku lulus SD, ketika semua harga melambung tinggi, ketika kehidupan kami kian terdesak oleh ketidakmampuan untuk bertahan, ketika orang-orang intelektual dan kaum cendekiawan merayakan reformasi. Ibu bertemu dengan pak Mulyo, seorang exekutif yang kaya raya. Ia berniat menikahi ibu, walau sebagai istri kedua atau ketiga. Ibu berkata padaku, ‘ibu akan menerimanya nak… demi masa depanmu… agar kita tidak lagi menjadi anjing yang dilindas roda nasib.’ Dan begitulah semua berubah. Tetapi sesuatu membuatku tersentak, saat aku diajak Ibu menemui pak Mulyo di sebuah restaurant mewah di Jakarta Pusat, dalam gedung menara Imperium yang tinggi dengan pemandangan kota saat malam. Aku melihat sepasang tanduk di kepala pak Mulyo, sebuah tanduk berwarna coklat pekat menjulang dan melengkung pada bagian tengahnya, melengkung menghadap seolah menantang bagi yang melihatnya. Hal ini membuatku terkejut, dan juga bingung. Bagaimana seseorang manusia dapat ditumbuhi sepasang tanduk pada kepalanya?

.

Ketika menempati rumah besar kami di daerah Cawang Baru, aku selalu ingin mengutarakan penglihatanku pada ibu namun aku takut, aku takut ibu akan memarahiku. Lagipula pak Mulyo sudah sangat baik kepada kami, memberikan segalanya kepada kami. Hingga kami dapat hidup bahagia dengan apa yang kami dapati. Tetapi pada suatu hari, ketika pak Mulyo telah pulang kerumah dan kepada istri lamanya. Saat ibu sedang menonton acara favoritnya, aku duduk dihadapannya dan aku begitu saja mengutarakan apa yang aku lihat, aku khawatir ibu akan memarahiku, namun sebaliknya, ia malah tersenyum mendengar ucapanku.

.

Lalu ia berkata, ‘anakku, itu wajar jika seorang manusia tumbuh tanduk pada kepalanya.’ Aku tersentak mendengar kalimatnya. ‘Dahulu waktu kecil ibu juga melihat tanduk pada kakekmu, dan ibu dipukul oleh kakekmu ketika mengutarakan pertanyaan ibu.’ Ia membelai rambutku, dan senyumnya makin lebar. Lalu ia melanjutkan, ‘kau anak yang baik… maka jagalah kepalamu agar tidak ditumbuhi tanduk!’

.

Begitulah pesannya, aku akan mejaga kepalaku agar tidak ditumbuhi tanduk, tekadku waktu itu. Tetapi apa yang aku dapatkan sekarang? Aku merintih dalam kemudi, hingga mobil sempat oleng.

.

Ibu telah melupakan masa lalunya yang pahit, kini adalah waktunya untuk menjalani hidup dengan senyum dan kebahagiaan, dan ia mengutarakan keinginannya untuk umroh. Maka pak Mulyo mengizinkan, walau ia tidak dapat berangkat dengan ibu. Dan sekarang ibu menunaikan ibadahnya, umrohnya yang pertama. Sudah seminggu lebih, dan beliau pulang besok.

.

Pak Mulyo-pun makin baik, itu terlihat dari tanduknya yang kian susut dan mengecil, aku sempat melihatnya ketika aku kelas tiga SMA sebelum aku kehilangan visiku. Aku tidak dapat melihat tanduk kembali, justru malah tanduk yang kasat pada kepalaku.

.

Apa yang terjadi padaku? Aku berusaha keras untuk menjaga kepalaku agar tidak ditumbuhi tanduk, sesuai pesan ibu. Lalu mengapa tanduk ini tumbuh dan menggangguku? Bagaimana kata ibu besok? Bagaimana aku bisa mencium punggung tangannya dengan tanduk ini di kepalaku? Apakah ibu masih dapat melihat tanduk? Atau ia telah kehilangan visinya? Tidak aku yakin ibu sudah tidak dapat melihat tanduk lagi! Bila ia masih dapat melihat tanduk seharusnya ia-pun melihat tanduk di kepala pak Mulyo, tanduk yang pertama kali kulihat tinggi dan menjulang, tentu saja menakutkan, namun terakhir kali kulihat tanduk di kepalanya menyusut, kecil seperti tanduk di kepala anak kambing. Seharusnya ibu berkomentar dan mengatakan padaku, secara aku yang mempunyai penglihatan sepertinya. Itu berarti ibu telah kehilangan penglihatannya, aku yakin!

.

Tetapi aku masih merasakan gelisah dalam batinku, tetap saja aku merasakan tanduk ini, aku membayangkan tandukku yang runcing dan menantang. Aku membayangkan tandukku yang coklat pekat, atau malah memang benar-benar berwarna hitam legam.

.

Aku mengambil jalan kekiri memasuki jalan Oto Iskandardinata pada persimpangan di bawah jalan tol. Aku kian mempercepat mobilku, aku ingin segera pulang. Angka digital pada dashboard menunjukan jam tiga petang. Masih jam tiga tetapi aku sudah pulang? Memang tidak seperti biasanya, aku seharusnya sedang bersama Joyce setelah usai kuliah. Namun tidak kali ini, aku tidak menuruti ajakan Joyce untuk menonton teater di Cikini. Aku menyukai pertunjukan teater dan teater membuatku sedih, aku tidak ingin sedih hari ini. Karena aku sedang marah, aku marah pada tanduk ini.

.

Bersama Joyce-lah ketika anak kecil itu menanyakan sepasang tanduk di kepalaku. Saat itu kami sedang makan malam bersama, seloyang pizza sedang terhidang, semalam. Tiba-tiba seorang anak perempuan menghampiri kami, berdiri pada sisi meja, berkalimat yang membuatku tersedak pepperoni.

.

“Kak… mengapa kakak bertanduk?” Wajahnya penuh keingin-tahuan, mulutnya terbuka seakan ingin mengulang pertanyaanya. Lalu ibunya datang dan menggiring ia kembali ke mejanya.

.

“Maaf ya…” Sang ibu tersenyum padaku, dikejauhan ia memarahi anaknya, “jangan bicara yang tidak-tidak… kamu dari kemarin selalu menanyakan tanduk kesemua orang yang kamu temui… jangan begitu ya!”

.

Sedang Joyce hanya terkekeh sendiri, “anak itu lucu ya, Ndri?”

.

“Itu tidak lucu, Jo!” Aku membentak.

.

“Hey… cuma anak kecil kok! Khayalan mereka memang aneh-aneh.” Joyce menenangkan diriku.

.

“Tidak… anak kecil tidak pernah berbohong!” Lalu aku melewati malam itu dengan kebisuan.

.

Joyce berulang kali menghiburku, dan itu membuatnya kesal. Ia mengakui sulit untuk menghadapi emosiku, namun ia tidak menyerah. Ia memutuskan untuk menginap, ia menelepon orangtuanya dengan alasan mengerjakan ini, menyelesaikan itu. Ayahnya mengizinkan… dan kami melewati malam bersama, aku selalu takluk dihadapannya, hanya lelaki bodoh yang tidak! Ia dapat membiusku dengan segala gerakannya, ia membuatku dapat melupakan segala kegundahan dan kegalauan. Ia-lah yang selalu berada disampingku dalam menghadapi kerisauan, bahkan masalah tanduk ini. Kami tidur bersama, untuk yang kesekian kali.

.

Tetap ia tidak mengerti apa yang aku hadapi, ia tidak mengerti mengenai tanduk ini. Haruskah aku mengatakan padanya? Bahwa tanduk pada kepala seorang laki-laki memang ada, bahwa kenyataannya kini muncul tanduk pada kepalaku memang benar! Haruskah aku menceritakan pada Joyce? Dapatkah ia akan mengerti? Atau ia akan menertawakanku? Atau ia akan menyeretku kepada psikiater? Shit… aku butuh seseorang yang dapat mengerti aku! Ibu? Tidak ibu pasti akan memarahiku habis-habisan! Tidak, ibu tidak boleh tahu!

.

Oh ya… Melinda. Melinda adalah orang yang baik dan pengertian, ia pasti akan memahamiku dan memberikanku semangat untuk tidak dibebankan oleh tanduk ini. Benar… tapi apakah ia akan mau memaafkanku? Aku meninggalkannya malam itu, aku-pun membuang nomor hpku yang lama agar ia tidak menghubungiku lagi. Jangankan memaafkan, ia pasti mendamprat wajahku. Bisa jadi ia mengadu pada keluarganya setelah aku meninggalkannya, wah… bisa dihakim massa aku nanti. Tidak jangan Melinda, tetapi siapa?

.

Karen? Bah, ia hanya perempuan yang kerjaannya hura-hura. Bisa-bisa aku diajak three-some lagi nanti atau malah orgy…  tidak! Aku harus menghindari Karen. Aku mengambil smartphone-ku dari kursi samping, lalu melihat phonebook dan mencari nama-nama yang mungkin bisa mengerti diriku. Sial! Mengapa aku tidak memiliki sahabat lelaki yang dapat kuandalkan disaat seperti ini? Teman-temanku di kampus hanyalah anak buah yang tidak berguna! Lagi-pula, belum tentu mereka menganggapku sebagai seorang sahabat.

.

Tania… ya bagaimana bila Tania? Tidak… adalah tindakan bodoh bila menghubunginya, setelah one-night-stand dengannya aku terus diburu oleh pacarnya si preman kampus.

.

Sandy? Tidak… aku tidak ingin membuang uangku hanya untuk berbincang dengannya. Lagipula harus booking dulu bila ingin berurusan dengan perempuan itu! Errgh… aku pusing, sumpah tanduk ini benar-benar menggangguku. Apa yang harus aku lakukan? Jo… aku membutuhkan dirimu, sungguh!

.

Tidak terasa mobilku telah memasuki kompleks rumah, kompleks mati yang sepi dan dingin. Dingin sekali! Karena orang-orang yang tinggal disini hanya memikirkan diri sendiri, jauh berbeda dengan kampungku dulu. Setelah beberapa blok aku menemukan rumahku, rumah dengan bentuk modern namun penuh instalasi tradisional, lanskap disebelahnya menampilkan bunga yang beragam, sangat teduh karena beberapa pohon yang rindang dibeberapa sisinya. Rumah… tempat persembunyianku… tetap saja membosankan!

.

Aku menghentikan mobil sebelum menghadap gerbang, dari sela jeruji besi gerbang aku melihat mobil pak Mulyo. Oh tidak! Itu berarti ibu sudah pulang.

.

“Tuan anda tidak masuk?” Wawan, satpam siang, menghampiriku.

.

Aku keluar dari kemudi, membanting pintu dan bertanya pada Wawan, “Wan ibu udah pulang ya?”

.

“Sudah tuan! Anda tidak masuk?”

.

Aku terdiam, berpikir dan bingung… apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan pada ibu? Aku melanggar janjiku padanya, untuk menjaga kepalaku agar tidak ditumbuhi tanduk. Kenyataan menampar wajahku! Bagaimana tanduk ini tumbuh? Atas dasar apa ia terbentuk di kepalaku? Apa asal?

.

Malihatku Wawan seperti jadi ikut bingung… “Tuan anda tidak apa-apa?”

.

“Jangan ikut campur… sudah masuk sana! Tutup pintu itu dan jangan beritahu ibu aku sudah pulang!”

.

Mendengar pertanyaan bodoh itu membuatku kesal, sudah tahu lawan bicaranya sedang bingung tetapi malah diberikan pertanyaan goblok, ‘anda tidak apa-apa?’ Kenapa tidak langsung tanya, ‘anda kenapa?’ Aku pasti memilih pertanyaan kedua, karena aku bukan orang idiot. Tetapi aku juga bodoh karena tanduk ini, seharusnya aku adalah lelaki cerdas, tetapi bagaimana pula tanduk keparat ini menjulang di kepalaku. Semua kian memusingkan, kian membebaniku… errgh, rasanya aku ingin sekali roboh dan tertidur lelap. Kelak ketika aku terbangun kembali tanduk ini menghilang dari kepalaku.

.

Aku bersandar di kap Mini Cooper-ku, menyilangkan tangan di dada. Pandanganku terpaku pada anak-anak kecil yang tengah bersepeda, perlahan mereka mendekat, dan ketika mereka menatapku, mata mereka serempak melotot; melotot seolah ingin copot. Tercekat melihat sesuatu diatas kepalaku, lalu mempercepat kayuhnya, mereka berhamburan lalu dari kejauhan aku mendengar mereka berteriak, “whoaaaaaa… ada setan….” Lalu jarak menenggelamkan suara mereka.

.

Aku meringis, menahan kekecewaan-ku. Aku mengepalkan tangan, keduanya bergetar. Belum selesai hembusan napasku, tiba-tiba beberapa anak kecil berseragam sepak bola berlarian menjauh melintasiku, bolanya menggelinding tertinggal. Aku mendengar suara mereka, “kyaaaaaaa… monster bertanduk… lariiiii…” Suaranya menghilang tidak lama bersama derap kaki mereka.

.

Dan begitulah, entah anak-anak komplek atau anak-anak kampung disekitar perumahan, lari terbirit-birit. Dan mereka berteriak-teriak sesuai imajinasi mereka tentang diriku yang bertanduk. Lelaki dengan tanduk di kepalanya… lelaki… lelaki?

.

Joyce datang menghampiriku entah darimana, bersamaan dengan itu seorang anak lelaki melintas, mungkin masih kelas 3 SD. Ia memandangiku tetapi ia tidak bereaksi seperti anak-anak lainnya. Lalu ia menjerit lantang, “kakak yang disana, jangan dekat-dekat sama cowo itu… nanti diseruduk!” What the fuck? Bukannya lari tunggang-langgang setan kecil itu malah menghinaku dan terkekeh?

.

Joyce menggeleng, “aku mengkhawatirkanmu… kau tidak seperti biasanya sejak semalam! Ndri jangan memusingkan perkataan anak perempuan yang semalam!” Ia terus mendekatiku, tidak mengacuhkan peringatan setan kecil barusan.

.

“Kau dengar omongan anak tadi? Hahaha… persetan dengan tanduk ini!”

.

“Ndri dengar… mengapa harus terpengaruh oleh ocehan-ocehan orang lain? Kau tetaplah dirimu! Lagipula mereka hanya anak kecilkan?” Kedua telapaknya mendekap pipiku, aku menghindar.

.

“Jo… mereka jujur… mereka adalah anak-anak yang menangkap apa yang mereka lihat dan mempresentasikan apa adanya… mereka tidak pernah berbohong untuk masalah seperti ini!”

.

“Lalu untuk apa kau terpengaruh? Kau sendiri tidak melihatnya-kan?” Joyce memekik. “Aku melihatmu sesuai apa yang aku lihat dan rasakan, apa peduli anak-anak itu dan orang lain? Aku akan tetap disisimu walau orang lain mengatakan kau Frakenstein sekalipun! Aku mohon jangan menghindar dariku!” Ia meneteskan butiran air mata.

.

Aku menengadah, benar… namun kenyataannya aku tidak dapat menyangkal, tanduk ini mengahancurkanku. Aku lelaki yang tidak layak, aku lelaki yang membiarkan kepalanya ditumbuhi tanduk. Padahal telah berjanji pada ibunya sendiri.

.

Tiba-tiba gerbang terbuka, ibu nampak dan ia berkalimat, “begini cara kalian menyambut ibu? Bertengkar dipinggir jalan?” Joyce menggeleng lalu sekonyong-konyong ia berlari memeluk ibu, ia terisak. “Kenapa? Joyce…?” Ibu menatapku, ia mendelik. “Andri bisa ceritakan pada ibu?” Joyce melepas pelukannya, ia ikut menatapku dengan matanya yang basah.

.

Dijalan beberapa anak kompleks melintas, mereka berbincang pelan, “tuh liat enggak tanduknya? Serem ya?”

.

“Iya ih… bikin merinding!” Yang lain menimpali. Mereka makin jauh tetapi perbincangannya sayup terdengar.

.

Ibu memandangku lalu perlahan mendekat, tanpa basa-basi ia langsung memelukku. Sangat erat… terlalu erat. Kalimatnya mengejutkanku, bukan lantaran menyakitkan dan menusuk hatiku. Bukan karena ia mengucapkan kata-kata penuh amarah yang mendesis dan menghujam gendang telingaku. Tetapi karena itu kalimat yang memang, sumpah, membuatku berhenti bergerak. Sulit bernafas. “Kamu harus menikah Ndri!” Ia menatapku dengan dalam. “Ya… kamu harus menikah…”

.

“….t-t-tan-tanduk…d—dikepalaku…” Aku terbata.

.

“Ya… kamu siapkan? Harus dong… kamu harus menikah!”

Jakarta, 2006

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun