Mohon tunggu...
Ranggamos
Ranggamos Mohon Tunggu... Lainnya - ****

believe me, sometimes reality is stranger—and much more frightening—than fiction

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karya Amy

28 Juli 2012   21:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:30 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13435116051609102366

[caption id="attachment_190321" align="aligncenter" width="300" caption="word junk"][/caption] Amy terus mengetik di ruang keluarga, cahayanya redup karena hari masih pagi, 7.15 pagi, tetapi Amy begitu asyik dan tidak memperdulikan hawa yang seharusnya digunakan untuk lari pagi. Suara keyboard terdengar berturut karena kecepatan tangannya, Amy seperti kerasukan, ia tersenyum, ia bahagia karena ia sedang berkarya, ia bermain-main dengan imajinasinya, kadang ia membawa imajinasi kesebuah tempat dimana mereka dapat melihat hamparan sawah, bukit-bukit yang hijau, sebuah curug yang begitu deras dan bening, langit biru yang lama tak pernah ia jumpai di kota Jakarta. Atau membawa imajinasi keatas ranjang hingga mereka dapat berpelukan dan bergumul dengan waktu yang tak terbatas, lalu menumbuhkan sayap dari punggung mereka dan terbang kearah pelangi, mengambang ditengahnya dengan ciuman yang hangat di bibir mereka.

Amy asyik dengan ceritanya sendiri, seolah ia menjelma menjadi tokoh ciptaannya, menjadi seorang pangeran yang tengah menunggang kuda putih dan bersiap menjemput sang putri. Amy mengarang sebuah cerita roman, cerita cinta yang membuat ia menggeliat, membuat ia bersemangat, ini adalah keasyikan tersendiri baginya, ia akan terus berkarya… karena dengan itulah ia merasakan wujudnya, menemukan eksistensinya sebagai sebuah individu. Ia ingin terus menulis agar dapat seperti tulisan ibunya yang ia temukan di lemari empat bulan lalu, sebuah buku yang berisi puisi cinta yang mengiringi perjalanan hidup ibunya. Karena itu ia-pun mulai menulis, agar setidaknya dapat menemukan wujud ibu dalam diri, ibu yang entah dimana…

Namun tiba-tiba layar monitor padam, Amy terkejut, lampu led CPU-pun tak menyala, begitu juga lampu merah pada terminal, segalanya padam. Arif, ayahnya muncul dari belakang, dengan kaus kutang dan celana pendek, ia baru bangun tidur, ternyata Arif-lah yang menurunkan meteran listrik.

“Amy, kamu buang-buang listrik aja, itu komputer 200 watt tahu enggak! Mendingan ngapain kek daripada ngetik sesuatu yang gak berguna kayak gitu. Hari minggu lebih baik kamu ngepel rumah sana!” Arif sedikit membentak anaknya, ia berkalimat dengan nada yang ketus.

Amy hanya bisa tertunduk, lalu segera beranjak menuju dapur dan mengambil sapu dibelakang pintu. Dengan malas ia mulai menyapu, ia menatap lantai dan melihat sesuatu yang berserakan, semangatnya yang hancur berantakan…

***

Sekolah masih lengang, hanya beberapa murid yang sudah datang. Amy sangat menyukai pemandangan disaat seperti ini, ia berdiri bersandar pada pagar balkon didepan kelas. Menatap segelintir siswa dan siswi yang mulai berdatangan dan segera menuju kelas masing-masing untuk menaruh tas mereka lalu kembali keluar kelas dan menemui teman mereka untuk berbincang. Amy sangat suka mengamati orang-orang disekitar, mempresentasikan sendiri apa yang ditangkap dari objek dihadapan. Baginya ia akan dapat mengambil karakter untuk tokoh-tokoh dalam cerita, alih-alih  dari pada terjun dalam pergaulan, ia lebih suka mengamati tingkah laku orang-orang disekitar. Karena itu ia tidak memiliki banyak teman, bahkan tak seorang teman-pun yang ia miliki. Amy dianggap tidak gaul oleh para murid, aneh, dan seseorang yang terlalu pendiam, tidak aktif dalam kegiatan sekolah, dan tidak satupun yang ingin mendekati, karena ia sama sekali tidak menarik. Tetapi tak ada ruang di kepala Amy untuk memikirkan hal tersebut, mungkin ia terlalu naïf, namun tak masalah baginya.

Bel berteriak memerintahkan para murid agar segera memasuki kelas, pelajaran siap dimulai. Sekolah tak lagi lengang, suasana ini ramai dan bising, tak lagi menarik bagi Amy, terlalu destruktif bagi buah pikiran yang baru ia dapatkan. Ia segera memasuki kelas, berjalan lambat menuju mejanya, ia duduk seorang diri diurutan ketiga dari depan, kelas 2A hanya berisikan 39 murid dan tentu saja Amy yang tak mendapatkan teman sebangku.

Mungkin Amy tidak menyadari ada sepasang mata yang selalu mengamati segala gerak-geriknya, sepasang mata yang lentik dan nanar, itu adalah satu-satunya sepasang mata yang selalu memandang dirinya, didalamnya terpantul wujud indah yang begitu mengharap. Sepasang mata milik seorang gadis yang cantik, Ratih, seandainya Amy mengetahuinya, bisa jadi sebuah senyum akan selalu menghias dan menambah kecantikan gadis itu.

Setelah pelajaran terakhir usai, Amy segera menyiapkan lembar-lembar cerpen yang ia bawa dari rumah. Sebuah cerpen tentang cinta yang ia buat 2 bulan lalu, walau ia sendiri mungkin belum merasakan cinta, namun ia bercerita seolah ia begitu mengerti tentang cinta. Cerita itu berjudul ‘Bila kisah roman memberi nyawa pada kebencian.’ Ia segera berlari menuju ruang kantor Mading, kegiatan ekstrakulikuler yang disediakan SMA PERTIWI. Ia ingin menemui Tommy, ketua redaksi Mading sekolah yang juga menjabat kedudukan dalam OSIS. Amy menginginkan cerpen karangannya dapat dimuat dalam Mading, ia ingin mempublikasikan karyanya, karena ia tidak hanya berkarya untuk diri sendiri, ia berkarya pada dunia. Ia mengetuk pintu, berharap Tommy keluar untuk menyapa.

Bel pulang sudah lama menjerit, sekolah kembali menjadi lengang, cukup lama Amy menunggu di depan pintu. Tidak lama seseorang yang diharapkan muncul dari balik pintu.

“Hai, ada apa?” Amy sumringah, wajahnya tampak berseri. Melihat siapa yang datang Tommy menoleh sejenak kebelakang, segerombol kru redaksi tengah berkumpul dan mereka tertawa melihat Amy. Tawa yang terasa menghina, tawa yang menyeringai, namun Amy terbiasa dengan seringai-seringai seperti itu. “Cepet ya, kita mo rapat neh!”

“Hai, Tom! Aku bikin cerpen dan ingin mengajukan agar dapat dimuat!”

“Hmm… coba aku lihat!” Amy menyerahkan karangannya, Tommy mengamati dan duduk pada bangku disamping pintu, ia terlihat serius dan penuh konsentrasi. Ia membalik halaman demi halaman, setelah membaca dan mencernanya Tommy mengeluarkan pendapatnya, “bagus… tapi sayang ceritanya terlalu lurus dan sederhana, penginderaan dan persepsinya kurang! Maaf ya…”

Amy tertunduk… “Tetapi bisakah dimuat walau untuk edisi yang lain?”

“Sorry… lagian kami sudah memiliki penulis dari kelas satu untuk divisi fiksi! …sudah ya.” Tommy kembali masuk, meninggalkan Amy sendiri.

Dengan perasaan kecewa Amy segera berjalan di koridor dengan cepat, di kepalanya berkelebat bayangan ketika ia selalu dimarahi oleh ayahnya ketika memakai komputer untuk berkarya, ia remuk, mengapa tak seorangpun yang mendukungnya untuk berkarya? Puisi-puisi ibu selalu menghantui Amy, Ibu yang pergi meninggalkan dirinya saat masih kecil, Ayahnya berkata bahwa ibunya telah berselingkuh dengan teman kantornya, sehingga mereka bercerai. Amy tidak pernah mengubris pernyataan ayahnya, yang ada dalam benak hanyalah kebutuhan untuk dapat merasakan belaian dari seseorang yang melahirkannya.

Amy bingung, ia ingin sekali berkarya untuk mendapatkan kenikmatan, agar merasakan benar-benar hidup, namun bayangan ayah yang seolah tidak mengizinkan dirinya berkarya terlalu menakutkan untuk dihadapi. Karena itu ia bergegas menuju kamar mandi siswa, ia membanting pintu lalu menguncinya, perlahan membuka celana… Amy masturbasi, ia berpikir bila ia tak mendapatkan kepuasan setelah melihat karyanya diselesaikan maka ia akan masturbasi agar mendapatkan kepuasan, ia marah, tetapi tidak mengetahui harus marah pada siapa. Bersama kemarahannya yang naik ke ubun-ubun maka ia semakin mendekati ejakulasi… Amy melemas… tak lagi ada harapan untuk mendapatkan kepuasan kembali…

“Ayah izinkan aku berkarya…” Amy merintih…

***

“Aku selalu melihatmu sendirian…” Ratih berkata pelan, ia melirik Amy yang tengah tertunduk disampingnya. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah Amy, betapapun ia mengagumi lelaki yang berada disampingnya kini, pikirannya berkecamuk. Amy memang pendiam tetapi Ratih dapat melihat api semangat yang selalu berkobar, namun kini segalanya membeku dan menjadi begitu dingin, ia merasakan perubahan dalam pribadi pujaan hatinya. Apakah ia harus mengatakan bahwa ia peduli? Ratih sungguh peduli.

Ratih kembali membasuh luka memar di bawah mata kiri Amy dengan tisunya, luka memar lebam dan merah-hitam. Ia bertanya-tanya, siapa yang memukul seseorang yang lembut seperti Amy? Amy terlalu lembut untuk diperlakukan dengan kekerasan! Diam-diam ia memuji kembali, wajah yang menampakan ketenangan itu menjadi murung dan memucat, matanya yang tajam dan hidup kini kosong, bibirnya yang kemerahan membiru. Siapa yang tega menyakiti makhluk terindah ini? Ratih bergumam.

Anak-anak kecil berlarian di gang depan rumah, para ibu rumah tangga tengah berbincang disebrang dan sesekali melirik Ratih dan Amy yang berduaan di teras rumah, para pedagang menjajakan barang dan makanan menyusuri pintu-pintu rumah dan kontrakan, gang sempit itu seolah menjelma karnaval yang begitu gaduh dan penuh, namun Amy membisu. Ratih mengharap sepatah kata keluar dari mulut Amy. Sebuah penjelasan atas kealpaannya di sekolah hari ini, tentang memar yang ia dapatkan, tentang segalanya mengenai Amy, apapun akan ia dengarkan dan ia cerna, apapun akan Ratih lakukan demi mengembalikan semangat yang tersembunyi dari balik kesunyiannya seperti dulu, karena bagi Ratih itu adalah hal yang mengagumkan.

“Pulanglah… sebentar lagi ayahku akan pulang. Aku tidak ingin kau menemuinya!” Ratih terkesima, kalimat pertama yang ia dengarkan. Suaranya begitu halus dengan nada yang konstan. Namun pengusiran ini tidak berkenan di hatinya, karena ia belum mendapatkan jawaban atas segala pertanyaan yang menyembul dari balik ketidaktahuan dirinya.

“Tapi aku masih ingin disini…” Belum kelar kalimatnya, seorang laki-laki yang tengah merangkul seorang wanita muda memasuki teras, Ratih sedikit beringsut. “Pak..” Ratih menghormat, ia dapat menduga laki-laki itu.

Arif memandang Ratih dan sedikit heran, anaknya yang tidak bisa bergaul bisa mempunyai teman wanita secantik itu. Ia tersenyum dan mangangguk membalas sapa Ratih lalu segera membuka pintu dan menghilang bersama teman kencannya. Itulah kebiasaan Arif, setiap akhir pekan ia selalu membawa teman tidur untuk menemaninya, lalu dua hari penuh hanya tiduran dalam kamar, keluar bila menyuruh Amy untuk membeli makanan. Para tetangga tak ada yang berani menegurnya, bahkan pak RT. Siapa yang berani menghadapi preman yang disegani di kampung itu.

Ratih mendapatkan sedikit mengenai sesuatu tentang pujaannya, dimana ibunya? Sebuah pertanyaan yang tak mungkin ia ajukan.

“Karyaku belum selesai…” Tiba-tiba Amy mulai membuka dirinya.

“Hah…”

“Mungkin karyaku tidak pernah selesai…”

“Kenapa…”

“Seekor naga yang besar dan buas menghalangiku… maaf putri.”

“Eh…”

“Aku belum bisa menjemputmu, hingga kau yang datang kemari…” Amy segera bangkit dan masuk dengan menutup pintu. Meninggalkan Ratih yang terperangah sendiri… Ratih menundukan kepalanya… ia tak dapat berkata.

***

Arif bangkit dari tidurnya, ia keluar kamar meninggalkan teman tidurnya yang melirih memanggil namanya. Jam 2 malam dan ia mendengar suara ketikan, ‘Amy, rupanya kau tidak mengacuhkan larangan dariku’, ia bergumam. Arif merasa muak, ia muak bila melihat anaknya berkarya, mengenangkan dirinya pada seorang wanita yang begitu mempesona, seorang wanita dengan puisi cinta yang membuat hatinya luruh. Namun sebuah penkhianatan yang membunuh cintanya, sebuah kebusukan yang menghancurkan dirinya, mengubur dirinya sendiri karena cinta. Ia bergegas menuju ruang keluarga.

Ia mencekik leher Amy, Amy terperanjat dan kaku tak dapat bergerak, ia bahkan tidak meronta untuk melakukan perlawanan. Arif mendorong tubuh kurus itu hingga tersungkur. Lalu membentak Amy agar segera memasuki kamarnya.

“Sudah aku katakan! Jangan buang-buang listrik untuk sesuatu yang tidak berguna! Dasar tolol!” Amy lari menuju kamar, dan menguncinya dari dalam.

“Ada apa sih?” Wanita muda itu terbangun karena mendengar kegaduhan, ia menghampiri Arif dan memeluknya dari belakang.

“Bukan urusanmu!” Arif menggerakan mouse, perlahan membaca sebuah judul yang membuat dadanya bergejolak. ‘Bila kisah roman memberi nyawa pada kebencian.’ Seketika api amarah berkobar pada diri Arif, dengan sigap ia mencabut listrik dari terminal, komputer padam, document itu belum di save. Amy harus mengulangnya kembali, padahal ia sudah merubah cerpennya agar dapat dimuat di Mading sekolah.

“Sudahlah… ayo kita kekamar lagi…”

“Lena… jangan ganggu aku saat ini, ok?” Arif mendorong Lena.

“Ya sudah… aku tidur duluan…” Lena pergi dengan kalimat yang ketus.

Arif berkecamuk, kepalanya panas dan penuh amarah… ia ingin sendirian disaat seperti ini, untuk menghilangkan sesak yang terus menggerogotinya, untuk membunuh bayangan seorang wanita yang menusuk punggungnya dengan seribu pisau…

***

Amy lulus dengan nilai yang pas-pasan, wali kelasnya hanya bisa menggeleng melihat kemunduran yang dialami Amy. Ia mengetahui bahwa itu tidak seharusnya, namun Amy tidak pernah dapat diajak bekerjasama. Ia selalu bungkam.

Tetapi apa peduli Amy, saat ini ia asyik berkarya. Ia berpuisi, berpuisi dengan kata-kata dan kalimat yang meracau. Ia tak lagi membuat cerita atau prosa, ia tak lagi masturbasi bila tidak berhasil berkarya, ia tidak lagi menyelam dalam cinta, karena ia telah menemukan dirinya sendiri dalam suara. Suara-suara yang mendengung di ruang kepalanya dan juga menggema dalam relung hatinya, rangkaiannya memang kadang tidak baku dan terasa rancu bila didengarkan, melompat-lompat dalam gramatika. Amy berpuisi kepada dedaunan yang berserakan, yang berjatuhan, yang beterbangan, lalu ia berpuisi pada angin, pada tanah, pada pepohonan, pada air, pada langit, pada awan, pada matahari, pada bulan. Amy tidak berhenti berpuisi sampai ia telah berpuisi pada apapun yang ada di sekitarnya bahkan apa yang ada pada dunia. Baginya puisi adalah sebuah cerita, curahan hatinya yang dapat membuat diri mewujud, menemukan dirinya dalam ada. Ia akan merasa hampa bila tidak berpuisi, tidak bercerita.

Para tetangga, warga kampung dan seluruh kelurahan sudah mengetahui ada seorang pemuda yang gila, yang selalu berkata-kata sembari berjalan tanpa tujuan, bagi mereka kalimat yang keluar dari mulutnya aneh dan tak dapat dimengerti. Tentu saja tidak ada yang dapat mengerti karya Amy, karena ketulusannya dan keikhlasannya berpuisi dan bercerita adalah mahakarya yang diperuntukan kepada Sang Pencipta. Ketika puas berpuisi pada alam, ia mengakhiri dengan berpuisi pada Tuhan, ia bercerita, ia mengadu, ia bersimpuh…

Tak ada yang dapat lepas dari cercaan orang, begitu juga dengan Amy, ia dihina, diejek, digunjing dan dikucilkan. Hal ini membuat Arif malu dan mengurung Amy dalam kamar, namun Amy selalu memberontak dan berhasil kabur. Ia dapat berada dimana saja, kadang ia berada diterminal, dipinggiran jalan TOL dan ia selalu dapat bertahan tanpa makan bila ia berada disuatu tempat, ia seperti berpuasa. Arif mengangkat tangannya, ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikan anaknya, namun tidak ada kesempatan kedua, Amy telah melayang bersama karyanya menuju langit ketujuh. Mereka berpelukan dan bergumul, bercinta tanpa memperdulikan dunia.

Tetapi satu yang pasti, ia tidak pernah berpuisi pada manusia, karena Amy bukan lagi seorang manusia… masyarakat membuatnya begitu. Apa arti manusia bagi Amy? Baginya manusia hanyalah sebuah kata, yang dilihat Amy adalah jiwa dan hati karena keduanya murni, tidak seperti logika dan pemikiran yang kadang penuh racun dan distorsi, makin meninggalkan ruh Tuhan yang ditiupkan dalam diri, hingga manusia tidak pernah wujud… tidak pernah ada.

***

Ratih meminta agar Tommy menghentikan laju mobilnya, ia melihat sesosok yang sangat dikenalnya diseberang jalan. Ia bergegas membuka pintu dan menyeberang tanpa memperdulikan mobil yang melintas. Tommy dengan perasaan kesal mengejar, mencoba menahannya. Ratih berlari mencoba meraih Amy, seperti yang dulu, namun tangannya hanya meraih udara yang hampa. Ratih berulang kali memanggil namanya, namun ditelinga Amy tersumpal kapas putih yang membuatnya tidak mendengarkan kebisingan dan kegaduhan. Ratih berteriak untuk yang terakhir kali, memanggil nama Amy dengan suara yang lantang dan keras. Amy terus melanjutkan langkahnya yang lurus dan terus bersuara, berkata, bercerita kepada Tuhan.

Ratih bertumpu pada pahanya, lalu mendangakan kepala, memandang Amy yang semakin jauh melangkah, menatap punggungnya… lalu menghilang ditelan keramaian. Tampa disadari, air matanya meleleh, air mata yang mengkilau seperti kepingan kristal yang memantulkan cahaya matahari. Air mata bukan karena rasa kasihan atau iba kepada pujaan hati, melainkan air mata yang akan terus mengalir tampa bermuara, walau tidak kelihatan pada tampaknya. Tommy menghampirinya dengan napas yang terengah-engah, ia memegang pundak Ratih.

“Itu teman satu kelasmu ya? Kasihan sekali ya masih muda tetapi udah gila!” Tommy berkomentar memberikan perhatian. Dengan cepat Ratih menepis tangan Tommy dari pundaknya.

“Amy tidak butuh rasa kasihan… dan Amy tidak gila… tahu apa kamu tentang Amy? Ini semua salah kita.” Tommy mengernyitkan dahinya, lelaki tampan itu heran, mengapa Ratih begitu peduli pada Amy?

“Well, what could I say? Sudahlah ayo kita pergi, udah kesorean nih. Nanti party-nya keburu kelar!” Ratih menoleh menatap mata Tommy, Tommy tersenyum dengan manis.

“Pergi aja sendiri!” Ratih mendorong tubuh Tommy, “ini salah kita karena tak pernah menghargai karya orang lain! Kita terlalu bangga pada karya diri sendiri, menjadi angkuh dan uju. Tak adakah tempat untuk mencerna sebuah karya orang lain daripada merobek-robek sebuah semangat yang tercipta dari ketulusan untuk berkarya?” Lalu Ratih segera meninggalkan Tommy seorang diri.

Tommy menghela napas, ia memandang Ratih yang kian menjauh, lalu bergumam sendiri, ‘tak ada tempat untuk seorang pengarang yang gagal!’

2006

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun