Mohon tunggu...
Ranggamos
Ranggamos Mohon Tunggu... Lainnya - ****

believe me, sometimes reality is stranger—and much more frightening—than fiction

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dan Kita yang Hanya Meraba Bayangnya, Meraba Hujan

26 Juli 2012   14:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:35 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

1

mereka menyambut butir-butir hujan

berlarian menerjang segala terpa dan dera

berendam pada jalanan yang menjelma empang

namun sesekali bersembunyi pada teras

karena mereka mendengar gemuruh, selalu mengejar kilat

dan pada gurat bibir mereka yang menggigil engkau jelaskan padaku,

mereka anak-anak angin.

ya, mereka anak-anak angin… dan kita tidak lagi begitu, tapi kita terlalu lama berendam hingga paya terlihat seperti kawah darah

prasangka kita… tak pernah dewasa

tidak menunjukan tingkah laku yang memastikan suatu kesadaran akan diri kita sendiri

atau identitas pribadi kita bersamaan dengan suatu tujuan hidup yang tegas.

akankah mereka terluka (seperti kita, makhluk pathetic)?

atau mereka akan bangun kubah?

kita jadi benci hujan kini

2

ia terbaring menatap langit tidak terpeta (dengan kondisi itu siapa bisa mendefinisikan dewata?)

ada lukis kapur menggaris pada tubuhnya, itu garis takdir. mungkin

rasanya ia tidak ingin mempercayai, bagaimana air dari langit berdesing menembus kulit?

barangkali berubah menjadi peluru yang terhempas oleh sebuah pelatuk

tangan tidak ternyana

mulutnya sudah tertikam maut, pada kelam

pada tepi yang nyaris tanpa rembulan

sebelum itu, ia teringat

bulir-bulir hujan merayap di kulitnya

anggaplah belatung ganas menggerogoti daging

: sungguh ia tiada lagi pernah melempar senyum pada lembah harapan

3

dan hujan tiada ingin berhenti

mungkin, hanya mungkin, ia tengah berusaha menjemput kita

melalui api, melalui angin ribut

dan melalui kehendak

atau pada samudra angkasa raya

jangkauan tak terhingga

selimut sutra merah pada semesta

yang pada akhirnya membuka layar senja

dan saat air mata sudah tidak lagi terbendung

dada-dada sesak meledak seperti gunung

kepulan hitam saling menggamit menciptakan mendung

hujan jua menerpa bumi

hujan menggenang sudah

4

mulut gagap ingin bersua

namun akhir-akhir ini kita hanya bisa berdo’a

lalu mengambil ember dan menciduk air

berulang hingga reda

sampai kita lihat ada sisa bekas dera

kita ingin berteduh, bukan?

sayangnya, tak satupun kubah kita bangun

atau kanal-kanal untuk membuang air

bahkan waduk untuk menampungnya

5

rupanya kita terlalu membenci hujan

selalu menyiksa diri sendiri

barangkali derajat tingkah laku menjadi substitutif dan simbolis dengan cara yang tidak dikehendaki, menghadapi segalanya dengan irasional.

berengseknya kita yang sakit jiwa ini, memandang kosong lapangan becek

dimana kita tidak dapat bermain disana

2007

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun