1
mereka menyambut butir-butir hujan
berlarian menerjang segala terpa dan dera
berendam pada jalanan yang menjelma empang
namun sesekali bersembunyi pada teras
karena mereka mendengar gemuruh, selalu mengejar kilat
dan pada gurat bibir mereka yang menggigil engkau jelaskan padaku,
“mereka anak-anak angin.”
ya, mereka anak-anak angin… dan kita tidak lagi begitu, tapi kita terlalu lama berendam hingga paya terlihat seperti kawah darah
prasangka kita… tak pernah dewasa
“tidak menunjukan tingkah laku yang memastikan suatu kesadaran akan diri kita sendiri
atau identitas pribadi kita bersamaan dengan suatu tujuan hidup yang tegas.”
akankah mereka terluka (seperti kita, makhluk pathetic)?
atau mereka akan bangun kubah?
kita jadi benci hujan kini
2
ia terbaring menatap langit tidak terpeta (dengan kondisi itu siapa bisa mendefinisikan dewata?)
ada lukis kapur menggaris pada tubuhnya, itu garis takdir. mungkin
rasanya ia tidak ingin mempercayai, bagaimana air dari langit berdesing menembus kulit?
barangkali berubah menjadi peluru yang terhempas oleh sebuah pelatuk
tangan tidak ternyana
mulutnya sudah tertikam maut, pada kelam
pada tepi yang nyaris tanpa rembulan
sebelum itu, ia teringat
bulir-bulir hujan merayap di kulitnya
anggaplah belatung ganas menggerogoti daging
: sungguh ia tiada lagi pernah melempar senyum pada lembah harapan
3
dan hujan tiada ingin berhenti
mungkin, hanya mungkin, ia tengah berusaha menjemput kita
melalui api, melalui angin ribut
dan melalui kehendak
atau pada samudra angkasa raya
jangkauan tak terhingga
selimut sutra merah pada semesta
yang pada akhirnya membuka layar senja
dan saat air mata sudah tidak lagi terbendung
dada-dada sesak meledak seperti gunung
kepulan hitam saling menggamit menciptakan mendung
hujan jua menerpa bumi
hujan menggenang sudah
4
mulut gagap ingin bersua
namun akhir-akhir ini kita hanya bisa berdo’a
lalu mengambil ember dan menciduk air
berulang hingga reda
sampai kita lihat ada sisa bekas dera
kita ingin berteduh, bukan?
sayangnya, tak satupun kubah kita bangun
atau kanal-kanal untuk membuang air
bahkan waduk untuk menampungnya
5
rupanya kita terlalu membenci hujan
selalu menyiksa diri sendiri
“barangkali derajat tingkah laku menjadi substitutif dan simbolis dengan cara yang tidak dikehendaki, menghadapi segalanya dengan irasional.”
berengseknya kita yang sakit jiwa ini, memandang kosong lapangan becek
dimana kita tidak dapat bermain disana
2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H