aku mengagumimu, pada hitam gulita ketidaktahuanku
pekat sensual rayuan kodrat
sesaat ketika swastamita memagut bibirku yang bernanah
lesap, tak lagi kurindukan arunika
dan berdiam diri, enggan merangkak pada pangkal segala-galanya
melekatkan karsik ke buluh
liang itu yang kini telah menjadi sendang bening
di kaki bukit hujan panas permainan hari
dimana kita pernah terbaring bersama dan menunjuk gemintang
manjadi kuburku untuk meringkuk ratapan
sebab kenangan itu sempurna, tidak mencari
dan tidak menuntut apa-apa
mungkin aku adalah kerakap yang tumbuh diatas batu
atau mabuk transendental
kekacauan ini pelimpahan darimu, mengalir jauh dari asal
menciptakan disonansi mendarah telinga
semakin kering dan fana
dan kusadari pedati kupanggul membiru pundak
terlalu keras kepala untuk rehat di pesanggrahan berlalu
kecil tapak tangan, nyiru ditadahkan
dunia bukanlah belahan jiwamu, psykhe!
duduk saja disini, turap yang baru saja dibangun
untuk menghalau asin hidup kita yang mengalir ke muara
agar tidak meresap kedepan pintu
mengunci selamanya kebodohan dan hasrat
02/11/2022, Pasar Minggu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!