Mohon tunggu...
Suyadi -
Suyadi - Mohon Tunggu... profesional -

I am the one who wanders to the world of nothing. I am the one who likes to change the world of nothing, by writing, via some kinds of mass media, try to let the world know: even there is nothing can be changed.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kata-kata Sampah

1 Agustus 2017   20:48 Diperbarui: 2 Agustus 2017   09:15 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kata-kata yang engkau ucapkan itu hanya akan menjadi sampah belaka ketika orang yang mendengarnya tidak mengambil makna dari setiap yang engkau keluarkan dari mulutmu," kata Sujiwo Tejo dalam sebuah kenduri cinta bersama Cak Nun. Penulis mendengar pernyataan itu menjadi terkesima dan sedikit shok sebab saya baru tersadar bahwa kata-kata yang terucap atau dikeluarkan dari mulut kita itu bisa menjadi sampah. Padahal sampah menurut KBBI itu memiliki arti 'barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi dan sebagainya; kotoran seperti daun, kertas'. Jika melihat jenisnya 'sampah' itu adalah kata benda sementara 'kata-kata' bendanya abstrak, tak berwujud.

            Tapi ya sudahlah. Saya tak mau dipusingkan dengan makna sebenarnya dari kata-kata itu sendiri. Tapi yang menjadi persoalan penting bagi saya adalah setiap profesi yang di dunia ini yang selalu menggunakan kata-kata di dalamnya sudah semestinya bertanggungjawab dengan sebenar-benarnya. Begitu pun bagi orang-orang yang mencari ilmu, bekerja atau apa pun namanya, ketika mendapatkan informasi berupa kata-kata semestinya dipatuhi. Jangan sekedar mendengar kata-kata yang diucapkan orang lain tanpa melaksanakannya. Begitu pun bagi orang yang menginformasikan ilmu, pengetahuan, dan lain sebagainya semestinya menyampaikan dengan jelas agar ia tidak berubah menjadi sampah.

Guru

            Karena saya adalah seorang guru yang menggunakan kata-kata dalam menyampaikan informasi baik berupa ilmu pengetahuan maupun sekedar informasi biasa-biasa saja. Untuk itu bagi pembaca yang berprofesi sebagai guru sudah semestinya menyampaikan ilmunya dengan kata-kata yang jelas. Memberikan pelajaran di dalam kelas sejelas-jelasnya setidaknya menurut kita bahwa materi sudah maksimal kita sampaikan. Setidaknya kita sudah menyampaikan sesuai dengan pakem keilmuan yang kita miliki. 

Mengenai ada siswa yang tidak mengerti, sedikit mengerti, pura-pura mengerti, dan sangat mengerti itu urusan siswa sendiri dalam mengelola informasi yang masuk ke dalam telinga mereka dan dicerna di dalam pikirannya. Karena siswa pun memiliki keterbatasan ataupun kelebihan yang berbeda-beda. Jadi ketika ada siswa yang tidak mengerti sama sekali saya kira bukan seratus persen menjadi tanggungjawab guru. Begitu banyak faktor yang bisa diambil untuk dijadikan alasan bagi siswa baik yang sangat mengerti, tidak mengerti sama sekali, maupun yang pura-pura mengerti.

            Ketika keberbedaan informasi yang masuk ke telinga siswa itu terjadi maka sebenarnya disitulah terjadinya kata-kata sampah. Bukan karena sang guru salah dalam menyampaikan ilmu pengetahuan di dalam kelas, akan tetapi siswa yang menerima informasi itu hanya sekedar mendengar kata-kata dari mulut sang guru tanpa mau menindaklanjuti makna yang terkandung dalam kata-kata itu sendiri.

Penceramah

            Penceramah juga merupakan profesi yang disampaikan dengan menggunakan kata-kata. Dengan kata-katalah pesan disampaikan untuk memberikan pencerahan akhlak kepada para pendengar ataupun jama'ahnya. Da'i, penceramah, khatib, pastur, pendeta, biksu, dan lain sebagainya menyampaikan pencerahan rohani kepada para ummatnya melalui media kata-kata. Begitu banyak da'i, pastur, pendeta, dan biksu yang menyampaikan pencerahan kepada ummatnya melalui mimbar-mimbar keagamaan demi memperbaiki akhlak, meningkatkan keimanan, serta ibadah-ibadah lainnya. 

Akan tetapi sudah ribuan kali ummat mendengarkan ceramah-ceramah di tempat-tempat ibadah tersebut, namun tetap saja akhlak tak berubah. Ini karena para ummat mengalami gagal paham akan apa yang disampaikan, ummat gagal memaknai setiap kata yang disampaikan pada setiap ceramah. Ummat hanya hadir sekedar memenuhi rasa ketidakenakkan kepada orang tuanya, rasa tidakenaknya terhadap pasangannya, rasa malunya kepada sesama manusia lainnya, maka jadilah mereka sebagai pendengar yang tidak mampu mengambil makna, tidak mampu mengejawantahkan makna kata-kata dalam ceramah yang disampaikan. Maka kata-kata itu pun menjadi sampah!

Politikus

            Politikus juga merupakan profesi yang banyak sekali menggunakan kata-kata. Kata-kata yang digunakan oleh politikus biasanya penuh dengan bunga, wewangian, penuh dengan janji-janji yang ujung-ujungnya menjadi sampah juga. Begitu banyak kata yang diucapkan kepada masyarakat, disampaikan kepada rakyat dengan nada yang merdu, yang memikat agar dalam pemilihan nanti memilih dirinya. Dan rakyat pun menanggapinya dengan hal serupa (terutama) para tokohnya yang menyatakan bersedia mendukungnya, akan tetapi dibalik kata itu terselib makna universal. Kondisi perpolitikan kita memang dipenuhi dengan retorika kata-kata yang berserakah di mana-mana, sama seperti sampah yang berserakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun