Mohon tunggu...
Suyadi -
Suyadi - Mohon Tunggu... profesional -

I am the one who wanders to the world of nothing. I am the one who likes to change the world of nothing, by writing, via some kinds of mass media, try to let the world know: even there is nothing can be changed.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jelata Politik

17 Januari 2016   06:32 Diperbarui: 17 Januari 2016   09:14 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Rasa kangen untuk menulis lagi di Kompasiana ini terus mengusik pikiran saya. Sejak tahun 2009 saya telah memulai menulis di media yang pasti “selalu ada yang baru” di dalamnya telah menempa kepribadian penulis untuk terus berkiprah melalui tulisan. Sebagai penulis opini, satu hal yang penting adalah harus selalu ada yang baru di pikiran seorang penulis dengan berharapan dengan pemiikiran yang baru tersebut bisa mencerahkan pemikiran para pembacanya. Bisa mencerahkan pemikian para pengambil kebijakan, para politikus, para guru, para mahasiswa, dan lain sebagainya sesuai dengan topik tulisan saat itu.

Dalam tulisan kali ini saya mengambil judul Jelata Politik. Terus terang judul ini terinspirasi dari jargon-jargon politik yang sering muncul di layar televisi yang dilontarkan oleh para komentator politik tingkat nasional. Rasa menggelitik ketika ada jargon jelata politik terlontar dari para komentator politik tersebut yang direpresentasikan oleh Pak Jokowi. Presiden kita ini dikelompokan ke dalam kelompok politikus dari kalangan “jelata”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “jelata” memiliki arti “bukan bangsawan, atau “bukan hartawan” alias “orang biasa”.

Orang biasa berpolitik, berkompetisi, menang, lalu menjadi anggota legislative, menjadi penguasa, dan berkuasa di daerah pemilihan masing-masing. Orang biasa berpolitik lalu menjadi presiden di negeri yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa ini merupakan impian bagi sebagian masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya adalah orang-orang jelata atau orang biasa.

Orang Indonesia itu senang berpolemik alias senang berpolitik. Sehingga hal-hal yang sepele sekalipun seringkali menjadi polemik yang besar karena dicampuradukkan dengan unsur politik, unsur ingin dikatakan dialah orang yang lebih pandai, lebih cerdik, dan lebih segalanya daripada yang lainnya. Unsur ingin dikatakan “lebih” daripada yang lainnya inilah yang menjadi salah satu penunujuk bahwa seseorang itu berasal dari kalangan jelata politik. Seorang jelata politik, dengan berbagai kekurangannya ingin menampilkan sesuatu yang lebih baik daripada seorang bangsawan politik. Dan itu merupakan sesuatu hal yang lumrah dilakukan sebab tidak ada jejak keturunan dia yang pernah berkuasa sebelumnya, sehingga dia berusaha semaksimal mungkin untuk menanamkan keyakinan berkuasanya di hati rakyat. Setidaknya dia berusaha untuk lebih baik daripada politikus yang mengandalkan garis keturunan belaka (dinasti politik).

 

Karir Politik

            Jika seorang jelata politik berkarir di bidang politik dan menemukan kesuksesan dengan menjadi anggota legislative maupun memegang kekuasaan di eksekutif, itu merupakan kesuksesan yang holistik (menyeluruh), gabungan dari berbagai unsur penunjang keberhasilan politik. Jokowi dikatakan sukses menapaki jenjang politiknya dengan menjadi walikota Solo ketika dia telah berhasil menjadi pengusaha mebel yang berkelas internasional. Dia telah menjadi eksportir mebel ke manca Negara dengan omset yang juga luar biasa. Bermodalkan omset inilah, dia meyakinkan diri untuk berkompetisi memperebutkan kursi eksekutif di Kota Solo. Sangat diyakini bahwa salah satu partai besar di negeri ini mengusung beliau karena beliau sendiri sudah mempunyai “modal politik” yang besar untuk maju menjadi walikota.

            Asumsinya, jika seorang jelata politik yang tidak atau belum memiliki “modal politik” yang besar sangat kecil kemungkinannya ia akan diusung oleh partai politik untuk berkompetisi di arena perebutan kursi eksekutif. Karena begitu banyak variabel-variabel kosong yang harus diisi oleh sang calon tersebut. Salah satu variabel kosong tersebut adalah sumbangan kursi dewan kepada pengurus partai di tingkat pusat maupun daerah. Variabel kosong lainnya adalah memenuhi keinginan masyarakat yang katanya hanya sekedar menginginkan pengaspalan jalan di lingkungan mereka, memperbaiki atau membangun tempat-tempat ibadah, membuat jembatan serta irigasi pertanian, dan seabrek keinginan-keinginan lainnya yang mustahil dipenuhi oleh seorang calon yang benar-benar jelata.

Variabel-variabel kosong inilah yang menjadi penghambat munculnya pemimpin-pemimpin berkualitas di negeri ini. Sayangnya lagi, kita tidak mengetahui sampai kapan kondisi perpolitikan seperti ini berlangsung di negeri ini.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun