Surakarta, 23 September 2022
WANI URIP
Pada tahun 1990 di sebuah desa terpencil di perbatasan Provinsi Jawa tengah dan Provinsi Jawa Timur lahirlah seorang laki-laki dari pasangan Ibu Wakinah dan Bapak Sutarji. Pasangan petani dari sebuah Dusun Bayanan, Desa Waringi, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Ngawi hidup dalam keadaan yang serba kekurangan dan pas-pasan. Anak tersebut diberi nama Wani Urip Samudro, anak pertama dari pasangan petani tersebut.
Setelah selama 5 tahun menunggu, akhirnya pasangan petani yang hidup pas-pasan tersebut akhirnya dikaruniai seorang anak laki-laki yang sangat di idam-idamkan selama ini. Pasangan tersebut merasa sangat bahagia dan bersyukur atas karunia yang di amanahkan Allah SWT kepada mereka. Meskipun mereka juga menyadari beban dalam keluarganya akan semakin besar dan berat. Tapi hal tersebut tidak mengurangi kebahagiaan yang dirasakan oleh pasangan petani tersebut. Mengingat kondisi tersebut sudah sangat ditunggu selama bertahun-tahun penuh dengan penantian dan kekawatiran.
Ibu Wakinah adalah seorang buruh yang tidak tetap, yang berkerja di sawah dari petani-petani di sekitar mereka tinggal. Asalkan kondisi Bu Wakinah dalam kondisi sehat pasti kerjaan tersebut akan dikerjakan. Bu Wakinah orang yang sangat pandai bersyukur dan tidak pernah mengeluh meskipun Ibu Wakinah tahu jika kerjaanya hanya pas-pasan untuk kehidupan sehari-hari. Mulai dari adzan subuh berkumandang, Ibu Wakinah sudah mempesiapkan dirinya untuk berkerja dalam setiap harinya. Karena terkandang sawah yang dikerjakan oleh Bu Wakinah jaraknya jauh dari desanya tinggal. Walaupun kadang Bu Wakinah harus menerjang dinginya kabut pagi, sunyinya keheningan mentari bahkan gerimis ataupun hujan lebat pada hari itu. Hal yang yang selalu terlintas dalam benak hati dan pikiran Ibu Wakinah adalah manusia hanya menjalani Takdir Allah dan kewajiban sebagai manusia adalah bersyukur atas takdir tersebut. Demikianlah lika-liku kehidupan sehari-hari yang harus dilewati oleh Ibu Wakinah setiap harinya.
Sedangkan Pak Sutarji adalah buruh di ladang tebu milik petani Tebu di sekitar mereka tinggal. Pekerjaan yang tidak beda jauh dari apa yang dikerjakan oleh Ibu Wakinah, yaitu seorang buruh ladang lepas yang penghasilanya hanya sekitar empat puluh ribu rupiah dalam setiap harinya. Kondisi yang tidak pernah disesali oleh Pak Sutarji, walaupun terkadang beban tersebut terasa berat ketika rasa syukur dalam hatinya tidak terus dipupuk dengan keteguhan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Prinsip hidup yang selalu Pak Sutarji tanamkan kepada Ibu Wakinah dalam menjalani realita kehidupan yang mereka jalani setiap harinya. Sehingga mereka selalu tulus ikhlas dalam bekerja dan tidak menjadikan beban bagi kehidupan mereka.
Setelah 18 tahun berlalu Wani sudah selesai pendidikan Madrasah Aliyah di salah satu pondok pesantren An Nur Kabupaten Ngawi. Wani tumbuh dan berkembang menjadi anak laki-laki yang selalu berusahan dan tidak merepotkan kedua orang tuanya. Apapun yang diberikan oleh kedua orang tuanya selalu Wani syukuri tanpa ada rasa kekecewaan yang terpancar dalam wajahnya selama ini. Hal itu tidak terlepas dari cara Ibu Wakinah dan Bapak Sutarji dalam mendidik Wani penuh dengan kedisiplinan, keberanian dan ketaatan kepada Allah SWT. Sehingga Wani dapat mewarisi karakter dari kedua orang tuanya yang selalau gigih berusaha dengan selalu bersyukur kepada nikmat yang diberikan olehNYA.
Dalam dunia pendidikan Wani tidak kalah dengan teman-teman sebanya di desanya. Meskipun kondisi perekonomian mereka ibarat langit dan bumi kondisinya. Justru hal tersebut yang selama ini menjadi motivasi bagi Wani dalam menempuh pendidikan. Sebagai wujuda tanggung jawab dan kewajiban yang harus Wani laksanakan dengan baik atas kerja keras yang telah dilakukan oleh kedua orang tuanya untunya selama ini. Wani juga seorang anak yang sangat ramah kepada semua orang, dan tidak memiliki rasa minder sedikitpun. Walau kadang teman-temanya mengejeknya sebagai anak yang dekil dan tidak mengerti gaya atau fashion. Karena Wani selalu sadar dengan kondisi dan realita kehidupannya yang sangat jauh dari teman-temanya makanya dia selalu menganggap omongan dari temanya seperti angin topan yang tak berarti ketika menghatam sebuah petir.
Pada suatu hari ketika Wani sedang membatu Bapaknya yang berkerja di ladang Tebu tidak jauh dari rumahnya. Tetangganya yang bernama Sujarno memanggilnya untuk segera pulang karena ada orang dari sekolah Madrasah Aliyah yang mencarinya. Sepontan dia dan Bapaknya bergegas pulang dan ijin kepada pemilik ladang Tebu untuk pulang mendahului. Sesampainya di halaman depan rumahnya yang terbuat dari bambu sederhana, Wani sudah mengenali siapa tamu yang berkunjung kerumahnya tersebut. Yaitu adalah Guru Olahraga yang sangat dia kagumi dan dekat denganya selama di Sekolahnya, Bapak Joko Wibowo.Wani secara sepontan langsung memanggil Pak Joko yang pada saat itu masih melihat-melihat kondisi di sekitar rumahnya. " Alhamdulillah, Wonten Pak Joko, sampun dangu Pak "(Alhamdulillah, ada Pak Joko, Sudah lama Pak). Sahut Wani secara seponta kepada Pak Gurunya tersebut. Pak Jokopun menimpali dengan menjawab " Lagi ae Wani, wah cen sregep awakmu kowe "( Barusan saja, wah kamu emang anak rajin).
Kemudian mereka semua masuk ke dalam rumah dan secara langsung Pak Joko mengungkapkan niat dan tujuannya. Yaitu meminta Wani untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliah, karena Wani memiliki potensi dan kecerdasan yang bisa memperbaiki kehidupan bagi keluarganya. Pak Sutarji kemudian menjawab dengan nada rendah jika mereka adalah keluarga yang tidak mampu dan hanya cukup untuk makan. Setelah sesaat mereka berbincang-bincang Pak Joko pamit untuk pulang dan berharap Wani dapat mempertimbangkan dengan keluarganya. Pada malam harinya Wani dan kedua orang tuanya ngobrol dan mengutarakan keinginannya satu sama lainya. Pak Sutarji tetap bersikukuh keberatan jika harus membiayai Wani sampai jenjang Perguruan Tinggi, sedangkan Ibu Wakinah mendukung dan percaya ata kemampuan yang dimiliki oleh Wani. Sedangkan Wani mengutarakan jika dia sebenarnya ingin sekali melanjutkan pendidikanya untuk keluarga dan masa depanya.
Tibalah pada hari dimana permasalahan tersebut tetap belum terselesaikan, sedangkan pendafatran kuliah pada gelombang ketiga untuk perguruan tinggi sudah akan berakhir. Pada pagi hari setalah sholat subuh, Ibu Wakinah memanggil Wani untk hari itu pergi ke Malang untuk mendaftar perkuliahan. Nanti, lambat laun pasti Bapakmu akan mau membuka pemikiranya untuk hal tersebut. Setelah mendapat wejangan tersebut, Wani kemudian bergegas mempersiapkan berkas-berkas pendaftaran dan tidak lupa mendekati Bapaknya yang pura-pura tidur setalh sholat subuh. Wani Berkata kepada ayahnya bahwa dia tetap patuh dan hormat kepada bapaknya namun saat ini dia ingin Pak Sutarji memberikan do'a restunya. Dia berjanji akan tekun dan berusaha untuk tidak merepotkan Bapak dan Ibu selama menempuh perkuliahan nanti. Namun, setelah sekian menit menunggu Pak Sutarji tidak berkata apapun kepada Wani. Dengan wajah yang kecewa dan penuh harapan akhirnya pada pagi itu Wani tetap berangkat ke Malang dengan iringan do'a dan tangis dari Ibu Wakinah.