Beruntung nian nasibku sebagai tuan tanah, mengelola tanah, air dan segala penghuninya yang liar. Kudibayar oleh pembayar pajak negeri, untuk menjaga keutuhan tanah, air dan penghuninya yang liar.
Kewenanganku pada tanah, air dan segala penghuninya itu kusimpan, kukuasai penuh tapi kewajiban kubagi-bagi dengan para penggarap dengan dana mereka sendiri. Kusertakan dan kudukung penggarap, agar kelak berbagi hasil karya denganku, Jika mereka tak berbagi, kucabut hak garapnya dan hak nimatnya, karena itu mutlak kewenanganku.
Kubuat rencana tahunan, lima tahunan, duapuluh tahunan untukku sendiri dan aku tak wajib berbagi kecuali pada bosku dan tukang inspeksi. Ah, jangan bicara akuntabilitas kawan, tak kupahami itu. Transparansi? Duh, jangan kau bicara yang transparan, nanti kau kena infeksi.
Penggarap fardhu membuat rencana garapan, anggaran, dan dukungan. Penggarap kudu melaporkan padaku karena itu titahku dan kewenanganku. Kusebut dan kudengungkan mereka sebagai mitra-mitraku yang bermanfaat dan diam-diam kumanfaatkan. Azas manfaat...
Ketika berhasil kukatakan itu keberhasilanku, ketika gagal kukatakan itu lantaran penggarap yang tidak becus. Berani membantah, jangan harap dapat simaksi*.
Akupun tak boleh dikritik di depan umum, karena itu melanggar hak asasiku dan otoritasku. Kalau mau kritik, cukuplah bisik-bisik… Kalau aku tak tindaklanjuti, bukan karena bisik bisik itu tak kudengar, tapi karena itu kewenanganku. Berani melawan, jangan harap dapat simaksi.
Ketika tanah, air, dan penghuninya yang liar itu rusak, merusak, meradang, menghilang, maka itu menjadi rejeki baru buatku. Dan menjadi hakku mendapat tambahan dari pembayar pajak negeriku. Aku berseru girang, banyak masalah..banyak rejeki. Di saat yang sama, kuminta dan kutagih dukungan nyata para penggarap, tuk atasi masalah bersama. Berani tak mendukung, lupakan simaksi.
Ketika ada gubuk-gubug merambah tanahku, kucatat dan kubiarkan dulu, karena tak masuk daftar 029 dan 069 tahun ini. Ketika harimau meradang, orangutan menahan pilu butir-butir peluru senapan, kubertanya tanya, ini masalah bukan ya? Kalau masalah, kan kukatakan bahwa ini masalah kita semua wahai anak bangsa bergelar the Highest Biodiver City. Penggarap tak mau bantu, lupakan simaksi.
Kuberpikir keras. Aih, ini kan kegagalan penggarap yang kurang lihai memberikan penyadartahuan pada rakyat!!! Aku tak bisa salah, tak bisa gagal, karena aku paling pintar, dan punya kuasa. Biarlah masalah itu berlalu, toh nanti semua akan lupa, atau dilupakan, karena kita mahluk pelupa. Biarlah itu jadi kerjaan penerusku.Â
Tiba-tiba habislah kumasuki rumah purna baktiku, masa tanpa kuasa. Bermetamorfosis menjadi menjadi penonton tanpa hak garap. Beberapa rekan dan senior cukup beruntung mengubah wujud menjadi penggarap atau teman penggarap. Ada pula yang wara-wiri, kasak-kusuk, mencari kerja, bahkan makelar pengusaha. Walau kewenangannya tak sebesar dulu, tapi masih ada junior yang gentar dengan aura wibawa para mantan tuan tanah. Mereka sama-sama tahu, pimpinan adalah segalanya.
Dulu aku serba "bisa", tapi kini "bisa" ku tak seganas ular kobra. Dulu kutahu ada Tuhan dan Peraturan, tapi kulebih takut pimpinan. Dulu aku didatangi, sekarang aku mendatangi. Dulu kusembah berhala kuasa, berhala harta, berhala kuota, berhala kuda, berhala dunia. Aku meronta tanpa daya, hingga serak parau suaraku berteriak lantang menantang keadaan. Jabatan dan kuasaku sirna, auraku meredup merana.