Mohon tunggu...
Suer@nywhere
Suer@nywhere Mohon Tunggu... Konsultan - Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mamberamo, kawasan misterius di balik awan Papua

31 Oktober 2014   22:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:01 1199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu pagi di awal September tahun 2000. Mentari pagi baru saja menyeruak dari ujung langit tapi belum mampu membunuh dinginnya udara di sekitar Bandara Sentani.Sebuah pesawat kecil DC 5 (baca diisi lima, karena hanya mampu membawa 5 penumpang) bermesin Rolls Royce yang digerakkan oleh satu baling-baling di moncongnya, mulai bergerak dari ujung landas pacu. Ia bergerak makin cepat, makin bising, dan nguuung, besi bersayap itu melayang meninggalkan bumi.

Sesaat kemudian, Danau Sentani yang dikelilingi oleh bukit-bukit tandus memenuhi pandangan di kiri kanan pesawat. Di sebelah utara, tampak pegunungan Dafonsoro yang memanjang, hijau gelap menjadi bagian dari Cagar Alam Cyclops. Dalam sekejap, pulau-pulau kecil yang berada di ditengah Danau Sentani sudah jauh ditinggalkan. Pemandangan di bawah mulai bervariasi, ada padang alang-alang, ada pentol korek yang berarti pohon tumbang, garis putih yang menandakan jalan, goresan coklat berkelok-kelok pertanda sungai, kotak-kotak mengkilat berbaris teratur menandakan daerah transmigrasi di Besum.

Pesawat dengan konsisten menuju Barat Daya, arah Dabra, Ibukota kecamatan Mamberamo Hulu. Alat GPS dalam pesawat menunjukkan posisi bujur lintang yang terus berubah-ubah.Nun jauh di bawah sana terlihat hutan dan bukit bagai permadani hijau yang luas terhampar. Sekali-kali terlihat motif garis berwarna kopi susu meliuk-liuk tak beraturan menghiasi permadani belantara Papua. Dari jauh, Pegunungan Foja-Mamberamo tampak seperti raksasa hijau yang sedang tidur berselimutkan awan putih. Oh, aku berada di atas kawasan Belantara Tropis Utama. Ya, Papua memang dikenal sebagai kawasan Belantara Tropis Utama, selain Amazon di Brasil dan Congo di Afrika.

Satu setengah jam berlalu, kuhabiskan dengan melihat kiri-kanan dan memotret sepuas hati. Pesawat capung yang terkadang terbang seperti mobil berjalan di atas kerikil, hampir tak kurasakan. Perlahan tapi pasti, si capung mulai terbang rendah, semakin rendah mendekati lapangan rumput yang panjangnya sekitar 250 m. Dengan sedikit guncangan tibalah kami di Dabra, salah satu pintu gerbang di Mamberamo, untuk memulai pelatihan penelitan biologi.

Dabra adalah salah satu dari 11 kampung yang ada di distrik (kecamatan) Mamberamo Hulu, sekaligus ibu kota Distrik Mamberamo Hulu. Kampung-kampung yang ada di Mamberamo Hulu, umumnya berada di sekitar sungai Mamberamo. Bahasa yang digunakan di Dabra adalah Airo dan Dasigo. Umumnya masyarakat asli Mamberamo Hulu sangat bergantung pada kebaikan hati sungai Mamberamo, salah satu sungai terbesar di Papua, membentang dari pegunungan tengah hingga ke pantai utara Papua. Sedangkan suku Wamena yang tinggal di sana lebih memilih berkebun di balik bukit. Mereka bertemu pada hari pasar, Selasa-Kamis-Sabtu, untuk bertukar komoditi. Orang Dabra yang nelayan sungai itu membawa ikan, orang Wamena membawa hasil kebun. Klop-lah.

Banyak jenis, sedikit waktu

So many species, so little time. Bukan judul lagu, tapi moto dari program pelatihan RAP (Rapid Assessment Program) Biologi yang sedang kami lakukan di Mamberamo. RAP yang satu ini bukanlah jenis lagu yang didendangkan seperti orang ngomel, melainkan metoda penelitian keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan dalam waktu singkat yang dikembangkan oleh Conservation International.

[caption id="attachment_332367" align="alignleft" width="108" caption="camp lokal, hasil internasional"][/caption]

Tidak kurang dari 15 personil telah siap mengarungi sungai Mamberamo dengan perahu motor, menuju camp sungai Furu. Letaknya sekitar 3 km di sebelah tenggara Dabra. Sungai Furu yang jernih bermuara ke Mamberamo yang berwarna coklat keruh. Airnya dingin dan jernih. Ikan tawes merah seukuran pergelangan tangan dapat terlihat jelas di sungai Furu. Di kiri sungai merupakan perbukitan yang ditumbuhi hutan lebat, sedangkan di sebelah kanan sungai merupakan lahan datar yang masih dipenuhi oleh bermacam tumbuhan liar.

Para ahli yang terlibat dalam pelatihan ini berasal dari Australia, AS, Belanda, dan Indonesia. Ada dari Conservation International (LSM yang bergerak di bidang konservasi), Smithsonian Institution, LIPI, Unversitas James Cook, Universitas Papua New Guinea, dan Universitas Wageningen. Sedangkan pesertanya berasal dari Universitas Papua (waktu itu masih bernama Faperta Uncen), BKSDA, dan LSM lokal.Mereka berbaur menjadi satu tim. Selesai membangun tenda, mereka mulai berbenah menyiapkan strategi perang melawan nyamuk, pacet, dan lalat babi, tri masketir penghisap darah yang tak kenal lelah.

Tim RAP ini telah membagi diri menjadi 6 grup sesuai keahlian. Ada grup tumbuhan, mamalia, burung, reptil & amfibi, ikan, dan serangga (kupu-kupu dan serangga air). Selama tujuh hari non-stop, mereka bergelut dengan anekaperabotan penelitian. Ada jaring kabut, binokuler, perangkap, alat rekam suara, jaring serangga, jaring ikan, ji-pi-es, kompas, meteran, dan peralatan lain yang kalau dituliskan tidak cukup satu lembar kertas.

Jika dihitung-hitung, aktivitas di camp tidak pernah berhenti selama 20 jam sehari. Bayangkan, grup burung memulai aktivitas jam 5-10 pagi, dilanjutkan pada jam 3-6 petang. Grup tumbuhan bekerja sejak jam 9 pagi hingga 4 sore. Grup mamalia bekerja pagi hari jam 9 untuk mengecek umpan dan membuat koleksi hewan, lalu sejak jam 8 hingga 11 malam mengecek perangkap. Grup serangga bekerja pagi hari menangkap kupu-kupu siang sejak jam 8 hingga 12 siang, lalu malam hari sejak jam 8 hingga 11 malam untuk menangkap kupu-kupu malam/ngengat (moth). Kelompok reptil-amfibi, bekerja sejak jam 7 malam hingga pukul 1 pagi. Jadi, camp dalam keadaan sunyi hanya 4 jam sehari!

Walau sebenarnya belum puas, tapi kami harus pindah camp ke sungai Tiri yang terletak 4,5 km arah Barat Daya dari Dabra. Sungai Tiri ini bermuara ke sungai Dorman, yang kemudian berakhir di Sungai Mamberamo. Keadaan di Tiri juga tidak kalah menarik dengan Furu. Camp di bangun pada dataran seperti pulau karena air sungai Tiri terbelah dua pada dataran itu. Untung sungainya dangkal sehingga tidak perlu perahu untuk ke seberang sungai.


Bapak kayu busuk

Berbagai polah peneliti yang berbaur dengan masyarakat Dabra yang memandu mereka menjadi pemandangan unik. Suatu malam, seorang pemandu datang ke camp dengan seekor burung dara (Ducula) yang terluka. Wah, kontan saja grup burung bingung bagaimana caranya menangkap. Ternyata si pemandu membacok burung yang tidur pada dahan rendah di pinggir sungai. Kenapa dibacok? Karena mereka ingin berpartisipasi menunjukkan adanya jenis burung itu di hutan mereka. Oo alahhh…..

Suatu malam Klaus, pemandu reptil, sedang berjalan bersama kelompok reptil-amfibi. Tiba-tiba dia berteriak, “Ada buaya…!”. Keruan saja rombongan terkejut dan pasang kuda-kuda. Serentak 5 pasang mata melihat ke kiri- kanan, depan belakang, namun tak ada satupun yang melihat. Klaus tetap berkeras bahwa dia melihat sepasang mata yang menyala merah seperti ujung rokok yang membara. Merasa tidak dipercaya, keesokan paginya Klaus masuk ke hutan, dan kembali dengan senyum penuh kemenangan. Ia menggendong seekor buaya air tawar (Crocodylus novaguineae) berdiameter dada 12 inchi, yang moncongnya sudah diikat dengan karet. Keruan saja semua orang berkerumun sambil berdecak-decak. Wuihh…, sejak itu, setiap orang berhati-hati jika melintasi sungai Tiri.

Lain lagi dengan tim kupu-kupu yang berlari ke camp sambil teriak-teriak memanggil Steve, ahli reptil dari Australia. “Steve.. Steve, ada ular bertanduk di hutan!”. Mendadak sontak, Steve yang terkantuk-kantuk selepas kerja malam, terbangun dan lari mengikuti mereka. Betul saja, ular sepanjang 40 cm berwarna krem coklat, dengan tanduk mungil di kepalanya, ditemukan sedang bersantai di pinggir batu. Steve segera memperingatkan, “stay away!”. Acanthopis antarcticus, salah satu ular paling mematikan di Papua itu akhirnya takluk di tangan Steve. “Jika kena patuk ular ini, berarti nyawa kita hanya tersisa dalam hitungan menit”, kata Steve menjelaskan.

[caption id="attachment_332366" align="alignleft" width="164" caption="Inilah si bapak kayu busuk"]

1414742164942294703
1414742164942294703
[/caption]

Dalam rombongan, terdapat peneliti dari Smithsonian Institution bernama Dan Polhemus, ahli serangga air. Orangnya nyentrik. Senang sekali ngoceh ke sana kemari. Kalau kita beri dia satu pertanyaan, dia bisa menjawabnya selama tujuh menit tanpa putus. Semua pemandu juga memanggilnya bapak kayu busuk karena dalam kerjanya selalu mengacak-acak kayu busuk yang ada di tengah dan tepi sungai, dengan harapan mendapatkan serangga yang sembunyi.

Dua minggu di hutan Mamberamo adalah terlalu singkat untuk menyingkap misteri keragaman hayati yang ada di dalamnya. Selama itu, mereka tak kenal lelah menyusuri sungai, menerawang kegelapan, mengais dedaunan, menaiki bukit, berbasah-basah dan berlumpur-ria. Mereka belum boleh lelah, karena harus segera membuat rangkuman hasil sementara. Itulah sebabnya dinamakan RAP, Rapid Assessment Program. Semuanya harus serba cepat. Dua minggu setelah kembali dari Mamberamo, barulah terdengar kabar bahwa 8 orang dari rombongan terserang malaria!

Rasa lelah dan kurang gizi selama di hutan terhapus, lunas sudah dengan rasa bangga karena telah menambah informasi keragaman hayati bagi Papua dan Dunia. Tidak kurang dari 24 jenis baru yang belum pernah diketahui umat manusia, berhasil ditemukan katak. Tidak kurang dari 116 jenis kupu-kupu berhasil ditemukan di hutan Mamberamo, 42 jenis serangga air (17 jenis di antaranya jenis baru), 22 jenis ikan air tawar, termasuk jenis-jenis introduksi, 21 jenis katak, 37 jenis reptile, 140 jenis burung, dan lebih dari 250 jenis tumbuhan.

Lembah, rawa, danau, dan kegelapan hutan Mamberamo masih menyisakan banyak misteri. Masyarkatpun tetap sibuk dengan kesehariannya mencari ikan dan buaya, berkebun dan berdagang. Sungai Mamberamo tetap mengalir konsisten ke arah utara. Semua masih hidup dengan harmonis. Namun sampai kapan semua itu dapat kita saksikan? Sanggupkah kita menyisakan harapan bagi masa depan yang tetap harmonis. Mamberamo, beri kami kesempatan untuk datang lagi, dan merangkulmu tanpa ada tangis air mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun