Bukan sekali saya mendengar pernyataan beberapa orang yang sinis dan nyinyir mengenai konservasi. Kenapa kita berpayah-payah melestarikan kawasan konservasi dan satwa liar? Konservasi berkesan lebih mementingkan satwa liar daripada manusia. Kita lebih mementingkan menjaga hutan yang merupakan paru-paru dunia, tetapi lupa dengan paru-paru manusianya. Jutaan rupiah dihabiskan untuk membuat fasilitas rehabilitasi orangutan dan pusat-pusat penampungan satwaliar hasil sitaan? Begitulah pandangan antroposentris yang lebih mengedepankan kepentingan manusia di atas segalanya.
Tampaknya masih ada keraguan bahwa konservasi atau pelestarian alam bermanfaat bagi kehidupan kita. Keserakahan manusia untuk manusia membuatnya enggan bersahabat dengan alam. Kita masih menganggap cerita-cerita kearifan tradisional dan keakraban nenek moyang kita dengan alam sebagai legenda dari mulut ke mulut? Atau lebih menyedihkan lagi jawaban “ah, itu kan dulu”.
Saya terkesan pada cerita BrigJen Suroyo Gino, Wakil Panglima Komando Darurat Sipil di Aceh, yang melihat ratusan burung-burung berwarna putih terbang berarakan dari arah laut menuju kota, sesaat sebelum tsunami menerjang Banda Aceh tanggal 26 Desember 2004. Brigjen Suroyo yang akan melepas kepulangan 700 prajurit ke Kupang dari Pelabuhan Malahayati, melihatnya sebagai pertanda dari alam agar menghindari laut. Ia dan prajuritnya pun selamat dari bahaya karena peringatan Tuhan lewat burung.
Alam juga memberi pertanda agar kita menyingkir dari laut ketika tiba-tiba air laut surut sesaat sebelum gelombang tsunami menerjang? Satwa liar juga berhamburan ketika gunung berapi mulai menggelegak membahayakan kehidupan. Siapa yang akan memberi peringatan dini pada kita, jika burung-burung dan satwa liar lainnya kita tangkap melebihi kemampuannya beranak pinak? atau ketika habitat satwa liar semakin menyusut untuk kemudian lenyap?
Berbagai penelitian telah memberikan bukti bahwa abrasi atau penggerusan pantai terus terjadi. Penyusupan air laut telah membuat air tawar menjadi payau dan tak layak minum. Kita mau menyalahkan pemanasan global? Kita mau menyalahkan perubahan iklim? Ahh…bukankah pemanasan global dan perubahan iklim itu juga akibat ulah kita sendiri?
[caption id="attachment_334597" align="aligncenter" width="300" caption="Mengembalikan anakan mangrove pada tempatnya di Pulau Pramuka Kep Seribu, Jakarta"][/caption]
Kepandaian manusia masih terbatas dan belum mampu menggantikan kemampuan alam berinteraksi secara alamiah. Bronjongan batu yang melintang menjorok ke arah laut untuk memecah gelombang, tidak dapat menggantikan fungsi pohon bakau menahan gelombang? Apalagi vegetasi bakau memberi nilai tambah berupa hadirnya udang dan kepiting yang bernilai ekonomi.
Bahkan teknologi manusia belum mampu menahan teknologi alam sehingga air laut menyusup jauh ke arah daratan. Rawa-rawa di pesisir beralih fungsi menjadi lokasi pemukiman, tambak, dan industri, sehingga tidak lagi menampung air tawar dan menahan desakan air laut yang menyusup di bawah tanah.
Singkat kata, teknologi canggih belum dapat menggantikan fungsi-fungsi dan jasa-jasa lingkungan yang diberikan oleh alam. Oleh karena itu, masih kita meragukan niat sebagian dari kita untuk menjaga keberlangsungan fungsi-fungsi alam dan jasa lingkungannya. Semua dilakukan tidak hanya untuk alam, tidak sekedar untuk satwa liar, tapi untuk kepentingan hidup manusia. Keserakahan manusia pun perlu diredam, agar eksploitasi pada alam tidak menimbulkan reaksi dari alam yang berdampak bencana bagi kita semua. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus bersahabat dengan alam, menjaganya, dan merawatnya. Kalau tidak mau, ya bersiap-siaplah menuai bencana-bencana.
Ketika masalah-masalah yang timbul belum mengusik kedamaian hidup kita, belum berdampak pada aktivitas kita, belum menyentuh halaman dan kamar tidur kita, maka kebanyakan dari kita cenderung tidak perduli. Tetapi bagi saudara-saudara kita yang berdampingan dengan hutan dan daerah rawan bencana, maka mau tidak mau, harus bersahabat dengan alam agar terhindar dari bencana buatan manusia atau mengurangi dampak bencana bagi kehidupan kita semua. At the end, we will find out that we're the one who depends on nature, not the other way around.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H