Selama tiga dasawarsa lebih menghuni bumi, saya tak pernah ke dokter gigi karena tak pernah sakit gigi. Hingga suatu senja, sang gigi mulai cari perhatian. Seperti gesekan biola yang mendengking naik lima oktaf. Ngilunya itu memilukan. Mata terpicing menahan nyeri hingga mulut mendesis.
Cenat-cenut itu timbul, hilang, timbul, hilang, timbul lagi seperti gelombang yang tak bosan menerpa pantai. Rekan kerja saya menyarankan minum air garam. Puihhh...nggak manjur. Makin perih, makin ngilu, dan bonus rasa asin pahit.
Gawat nih. Besok saya harus ke Jakarta. Gigi ini tak boleh menggagalkan rencana. Dengan pasrah saya datangi klinik gigi dekat pasar Jayapura, di ujung Jalan Diponegoro. Kliniknya sepi. Hanya seorang perempuan di ruang tunggu, dengan suara lembut dan tatapan sendu. Apa semua pegawai klinik gigi bertampang sendu kayak gitu? Biar kelihatan simpati, gitu?
Lelaki setengah baya, rambut dan kumisnya nyaris putih merata, berkemeja dengan jas putih khas dokter menyambut saya. Diiringi senyum tipis, saya diminta duduk di kursi pasien. Sebuah kursi santai setengah telentang, berwarna hitam dengan sandaran tangan berlapis kulit imitasi. Lampu sorot kecil dengan kaca kusam dan seperangkat alat berbahan stainless steel terletak di sisi kanan dan kiri kursi santai ini.
Tanpa banyak bicara, saya tiduran dengan mulut menganga, terbuka selebar-lebarnya. Berbekal dua alat di tangan, dokter tua ini mulai mengorek, menggoyang, dan mengetuk-ngetuk gigi saya.
Saya kontan menjerit, ”Dzzok…zangan zigezok zong, zakik izu…!”
Nggak ngepek. Si dokter malah menjawab santai, ”Giginya berlubang nih, sudah retak, dicabut aja ya.” Eeebuzzettt....
“Dok, saya baru kali ini sakit gigi, masa’ langsung main cabut aja. Nggak mau ah....” jawab saya setelah tidak ada alat di rongga mulut.
“Ya sekarang ditambal dulu, kalau sudah tidak sakit baru dicabut.”
“Kalau udah nggak sakit berarti sembuh dong,” bantah saya.
Dokternya hanya sekilas menatap saya dengan raut muka datar, lalu memberi kode agar saya membuka mulut. Cara jitu membungkam pasien cerewet. Mangap....
Sekitar lima belas menit, ngilu itu perlahan lenyap, aroma cengkeh merebak di rongga mulut. Enak banget nih dokter gigi. Dapat penghasilan dari mulut orang. Lha kalau kita kan dapat penghasilan dari mulut sendiri, ngomong di sana, presentasi di sini. Ah sudahlah, episode pertama prahara gigi selesai.
-----
Penerbangan Jayapura-Jakarta berjalan tanpa derita hingga tiba di rumah. Satu jam di rumah, sekali lagi, hanya satu jam sodara-sodara. Si gigi bertingkah lagi. Nyeri itu merambat dari satu simpul ke simpul syaraf lainnya, menular cepat, merangsang derita baru di pipi kiri.
Saking paniknya, saya ingin telepon rumah sakit untuk kirim ambulans. Eits, apa pernah ada dalam sejarah, ambulan nguing-nguing menerobos kemacetan untuk membawa satu pasien sakit gigi? Ah, kelamaan nunggu ambulans. Ojek solusinya, menuju RS. Azra di Bogor tujuannya, 30 menit waktunya.
Nyeri ngilu itu terus berdenyut tanpa belas kasihan. Dengan kondisi begini, jangan sampai ada yang nyanyi, “Daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi iiiini, biar tak mengapa....” Saya pastikan ada batu melayang ke jidatnya.!
Antrian pasien dokter gigi membuat saya nyaris histeris. Mereka duduk tenang dan khusyuk. Sedangkan saya harus menggeretakkan gigi dan mendesis. Sang gigi seolah sedang melancarkan demo anarkis kepada pemiliknya yang tak peduli. Semoga gigi sialan ini tidak menghasut gigi lainnya untuk ikut demo.
Saya terbawa arus lamunan.
“Aku kan stakeholder pertama dan utama dalam proses pencernaan makanan untuk tubuhmu. Kenapa kau tak merawatku?” protes Gigi.
“Saya kan sudah sikat gigi tiap hari.”
“Nggak cukup, tauk....” Cetuttt.... Satu rumpun syaraf gigi dibetotnya. Arkhh....
“Tttapi…tapi…itu kan TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) kalian untuk memotong, menghancurkan, dan melumat makanan sebelum kutelan?” jawabku membela diri.
“Kalau itu tupoksi kami, so what? Apa kami dapat membersihkan karang gigi sendiri? Menambal lubang gigi sendiri?”
“Kalian bertanya atau menggugat sih?”
“Eeh, masih nanya? Coba bayangkan, jika gigi itu sama dengan hutan yang tidak kalian jaga, lalu kalian robohkan pohon-pohonnya, kalian bunuh hewannya. Siapa yang kelak menderita?”
Jlebb..! Pikiran saya melintir ke gugusan hutan pegunungan Cagar Alam Cyclops di Jayapura. Selama ini hutan Cyclops telah menjalankan TUPOKSI-nya sebagai sumber air dan udara bersih. Masyarakat Jayapura, Abepura, Sentani, dan puluhan desa di sekeliling Cyclops sangat tergantung pada kesehatan Hutan Cyclops. Apa jadinya jika Hutan Cyclops makin bolong dan berlubang? Silakan cek berita di internet, adakah berita kekurangan air, banjir, erosi, longsor, dan pendangkalan Danau Sentani?
Alamak. Lebih banyak jenis deritanya daripada sakit gigi. Lebih banyak pula orang yang terkena dampaknya. Tak ada makanan yang lezat ketika sakit gigi, dan tak ada makan enak di tenda pengungsian banjir. Lalu siapa yang harus peduli dan merawat 'gigi-gigi' di Hutan Cyclops?
Saatnya menghadap Drg. Tjut. Orangnya menyenangkan. Banyak senyum, banyak cerita. Ruang praktiknya jauh lebih bersih dan nyaman. Dengan bantuan asistennya, ritual pemeriksaan dilakukan. Dia katakan ada yang retak, tapi coba ditambal dulu. Adonan putih rasa cengkeh pun tertanam di lubang gigi. Saya harus kembali dua minggu lagi untuk tambal permanen. Syaraf-syaraf gigi tenteram.
Seperti filem-filem holiwud, dua episode tidak cukup bagi gigi membalas dendam. Usia tambalan permanen hanya sebulan. Terpaksa dibongkar lagi, lagi, dan lagi. Biaya setiap kunjungannya EMPAT kali lipat daripada di Jayapura. Hadeuh.... Seandainya saya mendengarkan saran dokter gigi setengah baya di Jayapura.
Ibarat kasus hukum, sudah vonis di pengadilan negeri, masih ada banding di pengadilan tinggi, kasasi di mahkamah agung, lalu Peninjauan Kembali, Peninjauan Kembali lagi, lalu capek, lalu bosan, lalu bokek.
Setelah lima kali bolak-balik, Yang Mulia Drg. Tjut mengeluarkan vonis. Gigi sialan itu terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai penyebab sakit gigi berkelanjutan. Oleh karenanya, Gigi itu harus dicabut keberadaannya dari rongga mulut, dan pemilik gigi menanggung seluruh biaya dokter gigi!!!
Gigi mengingatkan saya untuk memperhatikan saran dan pendapat Senior Berpengalaman di lapangan sebelum bertindak. Pangkat, jabatan, golongan, gelar akademis tak sebanding dengan pengalaman mereka melindungi hutan dengan hati dan simpati.
Mungkin permasalahan di hutan-hutan konservasi sama dengan gigi saya. Kurang terpelihara. Asyik dengan diri sendiri, mengobati gejala secukupnya, dan tidak segera mencabut akar masalahnya. Akibatnya kita butuh lebih banyak biaya, waktu, dan tenaga plus bonus derita berkelanjutan. Jika ada yang berprinsip banyak masalah itu banyak rezeki, cobalah merasakan sakit gigi..
Catatan Kakiku: Yang tua memang kurang gaya, tapi pengalaman sejati tak pernah bohong. Ini bukan masalah kemampuan, tetapi kemauan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H