Pada kurun waktu 2005-2008, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) bersama Polres Kabupaten Langkat, giat melakukan upaya persuasif dan represif untuk menguasai kembali kawasan taman nasional yang telah dirambah. Salah satunya di Resort Cinta Raja, Seksi Besitang, BPTN III Stabat, yang telah dirambah oleh perkebunan kelapa sawit milik PT. Tunas Baru ex PT Mutiara Sei Lepan (kini dimiliki PT Megah Puspa Plantation/MPP). Hasil verifikasi Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan, diketahui luas perambahannya adalah 53,5 hektar.
Melalui serangkain proses hukum dan negosiasi, lahan itu akhirnya dikembalikan ke BBTNGL tahun 2006. Perusahaan yang telah merambah sejak 1990 itu, boro-boro mau menumbangkan pohon sawitnya, mereka justru memanen sawit yang ada di dalam kawasan. Kondisi itu terus terjadi hingga pertengahan 2008.
Kenyataan itu mendorong UNESCO dan BBTNGL menggagas upaya pemulihan kawasan dengan pendekatan ilmiah, yang runut dan terukur. Bukan sekedar menanam dan membiarkannya, tetapi memelihara dan memonitornya, sekaligus mengamankan kawasan di sekitarnya. Dr. Kuswata Kartawinata, ahli ekologi yang menjadi penasihat senior di Unesco, menyarankan metoda Suksesi Hutan yang Dipercepat (Accelerated succession) yang mengedepankan kualitas dan berbasis ilmiah.
Program ini dirancang melalui tiga tahap. Pertama, pemahaman dan pengkondisian melalui kajian sosial budaya di sekitar area restorasi, kajian vegetasi, dan sosialisasi. Tahap kedua berupa membangun pondok kerja, menyusun peta kerja, pelatihan teknis, penyiapan lahan, penumbangan pohon sawit, dan pembuatan bibit. Tahap ketiga berupa penanaman, pemeliharaan, pemantauan, dan dokumentasi data.Semua tahap itu dilakukan dengan mengedepankan proses dan pemahaman bersama mengenai pentingnya setiap tahapan untuk mencapai tujuan pemulihan kawasan.
Tahap Pertama
Kajian sosial budaya dilakukan oleh Sunjaya, antropolog dari YAPEKA, dengan tujuan memahami kondisi sosial budaya dan mencari cara tepat untuk mendapatkan dukungan masyarakat di sekitar kawasan restorasi, yaitu Desa Sei Serdang dan Namo Sialang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Proses pengumpulan data dan analisanya menggunakan perspektif antropologis, dengan cara wawancara dan kuisioner terstruktur yang dilaksanakan antara Mei-Juli 2008
Persepsi masyarakat terhadap restorasi kawasan di TNGL, sangat dipengaruhi oleh pemahaman mereka pada gerhan/reboisasi yang pernah mereka ketahui/rasakan. Mereka mendapatkan upah dari proyek pemerintah (gerhan) berupa membuat bibit, menggali lubang tanam, dan menanam pohon di TNGL. Restorasi merupakan istilah baru yang belum dipahami.
Lokasi yang akan direstorasi telah diketahui sebagian besar masyarakat Sei Serdang dan Namo Sialang sebagai bekas area PT Mutiara Sei Lepan (MSL) yang kini dikuasai PT MPP. Tindakan BBTNGL terhadap perusahaan perkebunan sempat dianggap sebagai tindakan positif. Namun adanya pemanenan sawit oleh PT MPP telah menurunkan kembali penilaian masyarakat terhadap ketegasan BBTNGL. Kajian ini merekomendasikan untuk menjalankan restorasi dengan memperhatikan aspek yang akan menumbuhkan kepercayaan dan persepsi positif di masyarakat, misalnya menumbangkan kelapa sawit, memperjelas batas, dan bertindak tegas terhadap perambah.
Pada Juli-Agustus 2008, Dr. Ismayadi Samsoedin dari Puslitbang Kehutanan membuat rancangan restorasi dengan terlebih dahulu mempelajari kondisi suksesi dan vegetasi hutan di sekitar area restorasi. Dalam satu hektar hutan, ditemukan 22 jenis dominan dari 130 jenis pohon yang ditemukan. Rancangan ini juga memuat teknik-teknik restorasi, silabus pelatihan, teknik penanaman dan pemeliharaan, monitoring dan evaluasi serta kalkulasi perkiraan dana.
Setelah memahami hasil survey Knowledge, Attitude and Practices (KAP) terhadap 283 responden dari 13 desa sekitar TNGL, maka Unesco, Wildlife Conservation Society (WCS) dan BBTNGL melaksanakan sosialisasi melalui serangkaian pertemuan di tingkat desa, pelatihan kader konservasi, kunjungan ke sekolah-sekolah dan kemah konservasi. Sebanyak 1241 pelajar dari 22 sekolah (SD, SMP, SMA) yang ada di 10 desa target, telah dikunjungi oleh tim sosialisasi antara Oktober 2008-Januari 2009. Pelatihan kader konservasi bagi 33 perwakilan sekolah dan desa dilakukan awal Desember 2008 . Tidak kurang dari 320 orang menghadiri pertemuan dan diskusi kelompok di 6 desa target di sekitar area restorasi.
Sosialisasi bagi pelajar ditutup dengan kemah konservasi pada 15-18 Januari 2009 yang dihadiri 196 pelajar dari 21 sekolah. Pada kemah konservasi itu diberikan berbagai materi mengenai konservasi danrestorasi melalui permainan, multimedia, trekking, dan penanaman pohon di area restorasi. Pada awal Februari 2009, sebanyak 12 wartawan dari 10 media koran, radio, dan televisi diundang untuk meninjau dan mendapatkan penjelasan mengenai program restorasi.
Tahap dua
Sebuah pondok kerja ukuran 6m x 9,5m dibangun di area restorasi sebagai tempat tinggal Tim Restorasi. Pondok ini merupakan pusat kegiatan restorasi dan memantau keamanan kawasan. Di halaman pondok ini dibangun bedeng-bedeng pembibitan dan plot demonstrasi. Tim Restorasi beranggotakan 4 staff BBTNGL dan 5 warga sekitar diberi pelatihan teknis antara 18-21 April 2009 oleh peneliti Balitbang Kehutanan, Balai Penelitian Aek Nauli, dan Unesco. Pelatihan bertujuan menyamakan persepsi mengenai tujuan restorasi, dasar pemikirannya, dan teknik-teknik pelaksanaannya, termasuk cara pembibitan, jenis yang ditanam, cara tanam, lubang tanam, pemupukan, cara membuat kompos, dan pemeliharaan pohon.
Dengan menggunakan citra satelit SPOT IMAGE 2,5m akuisisi Maret 2007 (citra terbaik yang ada pada saat itu) dan hasil ground check, Unesco melakukan analisa kondisi tutupan hutan dan kawasan yang rusak. Hasil analisa dikombinasikan dengan peta batas TNGL tahun 2002, maka dibuatlah peta kerja restorasi. Tim mengalami kesulitan pada area yang berbatasan dengan PT MPP. Untuk memastikannya, tim GIS Unesco, BBTNGL dan BPKH Wilayah I Medan, melakukan 3 kali rekonstruksi batas sepanjang 3 km pada April-Juni 2009.
Sayangnya, hasil rekonstruksi tidak menjadi penetapan yang berkekuatan hukum dan disepakati para pihak. Untuk menghindari konflik di lapangan, BBTNGL memutuskan untuk menangani area yang batasnya sudah jelas, seluas 27,6 hektar. Sedangkan sisanya masih dalam penguasaan PT MPP.
Berdasarkan plot yang telah ditetapkan dalam peta kerja, tim Restorasi menyiapkan lahan tanam. Luas tiap plot adalah 1 hektar, yang dibagi menjadi 4 sub-plot. Pada setiap sub-plot dibuat ajir sepanjang 50 meter dengan jarak antar ajir 3m. Setiap ajir akan ditanami 15 pohon dengan jarak tanam 3-4m, sehingga total pohon per hektar adalah 900 pohon. Bersamaan dengan itu, tim Restorasi mengumpulkan bibit berupa buah, biji, dan anakan yangkemudian di tanam di bedeng pembibitan di sekitar pondok kerja. Bibit yang menjadi prioritas adalah jenis-jenis yang daun dan buahnya diketahui sebagai pakan satwa liar. Hingga kini telah berhasil membibitkan 25.280 bibit dari 61 jenis pohon.
Untuk menghentikan aktivitas pemanenan oleh PT MPP, maka pohon sawit yang produktif menjadi target utama penumbangan. Pada plot tanam yang tumbuhannya memerlukan naungan, sawit tidak langsung ditumbang tetapi diberi minyak tanah pada pucuknya sehingga mati secara perlahan-lahan. Hingga kini telah dimusnahkan sekitar 1500 batang sawit. Sisanya merupakan pohon sawit kecil atau dibiarkan sebagai naungan.
Tahap Tiga
Pada tahap awal penanaman, bibit dibeli dari Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, berupa jenis-jenis lokal yang ada di dalam TNGL. Jumlah bibit yang dibeli sebanyak 13.500 bibit, namun terdapat 500 bibit yang tergolong eksotik sehingga tidak ditanam di area restorasi.
Penanaman pertama dilakukan di plot 2 tanggal 17 Januari 2009, sebanyak 250 pohon dari jenis Kemenyan (Styrax benzoin), Medang Landit (Persea odoratissima), dan Mayang (Palaqium obovatum). Penanaman dilakukan oleh pelajar dan guru pendamping peserta Kemah Konservasi. Penanaman berikutnya tanggal 22 Mei 2009 di plot 29 oleh peserta pelatihan Community Patrol Unit, dan selanjutnya dilakukan oleh tim Restorasi. Selain itu, kami juga membuat plot demonstrasi (demplot) di depan pondok kerja, yang ditanami jenis-jenis pohon yang sudah ditanam di area restorasi. Hingga kini telah tertanam 35 jenis pohon, termasuk yang ditanam oleh Setditjen PHKA, Kapuslibang Konservasi Alam, Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Kementrian Pariwisata dan Kebudayaan, dan perwakilan Menteri Lingkungan Hidup Spanyol.
Sebanyak 18.675 pohon telah ditanam pada area seluas 20,75 hektar. Seluas 1,25 hektar dibiarkan alami sebagai plot kontrol. Sebagian kecil lagi tidak dapat ditanami karena lahannya berbatu.Perawatan dilakukan secara rutin 2-3 bulan sekali, dengan mencabuti rumput/gulma di sekeliling pohon dan diberi tambahan pupuk jika perlu. Penggantian tanaman dilakukan jika ditemukan tanaman yang sudah mati, rusak, atau hilang. Sekitar 300 bibit Trembesi (Phitecelebium saman) dari BPK Aek Nauli, terpaksa harus dicabut dan diganti walau telah tumbuh dengan baik, karena Trembesi bukan tumbuhan yang ada di TNGL.
Tanggal tanam, kondisi tanaman, tinggi dan diameternya selalu dicatat setelah penanaman, termasuk untuk tanaman pengganti. Data awal itu dipantau secara rutin tiap 3 bulan dan disimpan dalam database restorasi. Hingga kini, tingkat keberhasilan tumbuh mencapai 80%. Faktor yang mengganggu pertumbuhan adalah intensitas matahari di areal terbuka, kekeringan, dan kondisi tanah yang miskin unsur hara. Faktor gangguan lainnya adalah kehadiran gajah dan babi hutan yang merusak/ memakan bibit tanaman dan membongkar media tanam.
===//===
Program Restorasi terbukti telah berhasil mengurangi niat pihak-pihak yang sebelumnya menebang kayu di TNGL, memanen sawit, dan merambah hutan untuk kebun. Kehadiran Tim Restorasi yang setiap hari bergerak di area restorasi dan sekitarnya, memudahkan pemantauan dan deteksi dini terhadap aktivitas illegal di dalam kawasan TNGL. Beberapa upaya masyarakat yang menanam karet di dalam kawasan dapat segera digagalkan/dihancurkan.
Restorasi yang bertujuan memulihkan ekosistem dengan metoda percepatan suksesi mulai memberikan hasil. Kehadiran satwa liar sudah mulai sering terdeteki. Harimau, gajah, orangutan, beruang, babi hutan, kambing hutan, rusa, dan kijang diketahui kehadirannya di dalam dan sekitar area restorasi berdasarkan suara, jejak, sarang, dan kotorannya. Orangutan dan monyet ekor panjang beberapa kali terlihat di tepi hutan restorasi. Demikian halnya dengan burung rangkong yang merupakan penyebar biji pohon hutan, sudah terdeteksi hinggap di tepi hutan restorasi.
Berkurangnya aktivitas manusia di hutan sekitar restorasi telah mengurangi gangguan terhadap satwa liar, sehingga perlahan-lahan mereka berani menjelajah hingga ke tepi hutan area restorasi. Walaupun kehadirannya ada yang mengganggu pertumbuhan tanaman, tetapi satwa tersebut diharapkan juga membawa biji dari dalam hutan melalui kotoronnya. Interaksi positif tersebut diharapkan dapat mempercepat suksesi dan pemulihan hutan.
Restorasi di TNGL, walaupun tidak luas, telah memberikan pelajaran yang berharga dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan sebuah program. Tahap demi tahap dilalui bersama-sama, mengambil pelajaran dari setiap kesalahan, dan mengedepankan proses yang berorientasi pada solusi. Restorasi telah dipahami oleh Tim Restorasi sebagai program yang lebih dari sekedar menanam, tetapi juga memelihara dan mengamankan kawasan TNGL di sekitar area restorasi. Semoga upaya kecil ini dapat terus berlanjut dan menular ke kawasan lain di TNGL. Tingkat keberhasilan tumbuh yang tinggi, merupakan hasil dedikasi dan atensi dari seluruh anggota Tim Restorasi yang bekerja dengan hati. Kepada merekalah kami berterima kasih dan mendedikasikan tulisan ini. @suerdirantau
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H