Mohon tunggu...
Suer@nywhere
Suer@nywhere Mohon Tunggu... Konsultan - Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Rangkong Sulawesi, Big and Beautiful

8 September 2014   21:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:17 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Rangkong Sulawesi (Sumber: sulawesi-ecotours.com)"][/caption] Andaikan ada kontes kecantikan rangkong tingkat dunia, saya haqul yaqin Rangkong Sulawesi akan merebut life time award (juara sepanjang jaman) untuk kategori the most beautiful dan the most colorful hornbill. Dari 54 jenis rangkong di seluruh dunia, tidak ada yang rangkong yang Tuhan ciptakan dengan warna-warni seindah Rangkong Sulawesi. Ketika saya mulai meneliti Rangkong Sulawesi (Aceros cassidix) pada awal tahun 1993 untuk skripsi, saya hanya pernah melihat beberapa kali jenis burung rangkong di kebun binatang Ragunan dan taman burung di Taman Mini Indonesia Indah. Itu pun gak ingat, apa saya melihat jenis Rangkong Sulawesi di dalam kandang. Dengan pengatahuan cekak, mulailah saya berburu informasi ke kantor International Council for Bird Preservation di Bogor (ICBP, cikal bakal Birdlife International, yang kelak di Indonesia bertransformasi nama menjadi Burung Indonesia).

14101484181346413440
14101484181346413440
Lalu menemui Pak Ismu Suwelo, peneliti senior dari Diklat Kehutanan di Bogor untuk mendapatkan bahan bacaan dan literatur. Bermodal semangat dan dasar-dasar pengamatan burung, berangkatlah saya ke Cagar Alam Tangkoko-Dua Sudara (TDS). Cagar alam seluas 88km2 itu terletak di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Selama enam bulan, saya ”diadopsi” oleh Tim O’Brien & Margaret (Maggie) Kinnaird, yang kelak menjadi pionir kehadiran Wildlife Conservation Society di Indonesia (WCS, dulu namanya NYZS/Wildlife Conservation International). Setibanya di Desa Batuputih, desa terdekat dengan stasiun penelitian di TDS, rasanya mau jumpa pacar yang kita tahu namanya, lihat fotonya, tapi belum pernah berjumpa langsung. Dagi dig dug dor deh. Bayangkan, gimana rasanya kalau saya gak bisa jatuh cinta dengan makhluk yang akan saya pelototi beberapa bulan kedepan. Ketika saatnya tiba, saya pun terhenyak. Sebelum saya berhasil melihatnya, si Rangkong sudah berkaok-kaok keras disertai kibasan sayapnya yang bergemuruh bak pesawat tempur. Ge-er banget sih nih burung. Belakangan kutahu, bahwa itu adalah sikap waspada dengan memberikan alarm call atas kehadiran manusia. Mungkin sang Rangkong sudah berpengalaman diganggu manusia yang menyukai kepalanya untuk hiasan dan dagingnya untuk sayur sop paha rangkong. :-) Setelah perkenalan yang tak terlupakan itu, saya ”memburu” keberadaan rangkong di area riset seluas 420 hektar, untuk "pe-de-ka-te" mencari tahu jenis pakan dan makanan favoritnya. Mula-mula saya harus mencari pohon yang sedang berbuah dengan cara ”jalan-jalan” sejauh 4 km. Saya identifikasi dan tandai semua pohon yang berbuah pada radius 50 m di kiri-kanan jalur, menghitung perkiraan jumlah buah dan banyaknya rangkong yang nongkrong di pohon itu. Empat kilometernya gak seberapa, tapi jalur naik-turunnya itu lho, yang monyet pun enggan melintasinya. Iya lah, lagian ngapain monyet jalan kaki, mendingan lompat dari dahan ke dahan kan? Apa boleh buat, saya mesti ”jalan-jalan” sebanyak 12 kali/bulan pada jalur yang berbeda. Dari hasil jalan-jalan ini, saya dapat mengetahui bahwa buah beringin berwarna merah adalah favoritnya. Iseng banget ya? Enggak lah, dari hasil investigasi itu (cieehhh...kayak polisi), saya bisa dapat pohon target untuk penyelidikan lebih lanjut mengenai perilaku rangkong. Di sekitar pohon berbuah yang menjadi target itu saya dan asisten lapangan, bergantian mengamati dan mencatat tingkah polah burung ge-er ini. Seringkali, dengan berbekal satu termos kopi dan 20 butir biapong (semacam bak’pao isi gula merah dan kelapa parut) saya bertahan di lokasi dari jam 7 pagi sampai 5 sore. Wah, melebihi standar waktu kerja nih? Pohon yang berbuah merupakan sumber pakan bagi satwa-satwa pemakan buah. Tidak hanya rangkong, berbagai satwa penggemar buah juga ikut nimbrung, seperti burung dara dan monyet. Kehadiran monyet Yaki (Macaca nigra) di pohon target ini njengkelin banget karena cara makannya boros, banyak buah yang terbuang. Makanya, kalo saya melihat teman yang makannya berantakan dan banyak sisanya, saya jadi inget monyet ini. Monyet berjambul ala Jim Carey ini juga suka mengusir rangkong. Entah sekedar iseng, becanda, atau memang gak mau berbagi makanan. Rangkong yang masih lapar, biasanya akan datang lagi. Masalahnya nih, saya harus mencatat jam datang dan perginya rangkong dari pohon target. Bikin repot kan? Mau tau gimana rasa jengkelnya? Bayangin aja kalau kalian lagi berinteraksi dengan pacar, terus ada yang gangguin pacar kita, keqi nggak? emosi nggak? Hehehe...kadang ada syahwat untuk membalas dendam kepada monyet-monyet yang mengganggu "pacar" saya makan di pohon buah, tapi kok ya nggak tega. Lagian, kalau kita mengganggu monyet yang sedang makan, berarti kita sama dong dengan monyet yang mengganggu rangkong makan. Jadi, dipakailah ilmu sabar dan ikhlas di tengah hutan.... Yah, keringat, lelah, dan repot yang saya alami akhirnya menghasilkan skripsi plus 4 artikel di jurnal ilmiah dan beberapa artikel populer. Bonusnya adalah kesempatan belajar lebih jauh dengan ahli rangkong, Dr. Pilai Poonswaad di Taman Nasional Khao Yai, Thailand. Selama dua bulan saya mendalami ekologi empat jenis rangkong di Khao Yai, teknik sensus, jenis pakan, karakter sarang, fenologi (siklus buah), dan analisa data. Saya juga belajar menangkap rangkong, memasang radio transmitter, dan melacak sinyalnya dengan radio penerima. Acan Pilai...jasamu abadi... Menjadi Hornbill Tracker Di dunia terdapat 54 jenis, 31 di antaranya hidup di Asia. Indonesia , sedangkan Indonesia kebagian 13 jenis. Indonesia memiliki 13 jenis hornbill, yang diterjemahkan menjadi rangkong, enggang, julang, atau kangkareng, Mereka tersebar dari Aceh hingga Papua, tetapi dua jenis hanya ditemukan di Sulawesi (Rangkong sulawesi, Aceros cassidix dan Kangkareng sulawesi, Penelopides exarhatus) dan satu jenis di Pulau Sumba (Julang sumba, Rhyticeros everetti). Saya cukup beruntung karena sempat bergaul dan bertemu langsung dengan ketiga jenis endemik tersebut. Endemik artinya kita tidak dapat melihat satwa itu hidup di belahan dunia lain kecuali di pulau yang menjadi habitatnya. Sekembali dari Khao Yai, nasib mempertemukan saya dan Rangkong sulawesi lagi. Kali ini, saya menggaulinya lebih intim, karena harus menangkapnya, memasang radio pemancar, dan melacak daerah jelajahnya. Sebagaimana umumnya, rangkong betina bersarang di dalam batang pohon yang berlubang. Jantan akan datang ke sarang untuk memberinya makan. Itulah saat yang tepat untuk menangkap si jantan dengan jaring (mist net). Kedengarannya gampang, tapi ternyata tak semudah kata-kata. Kayak reserse mau menangkap penjahat yang menjadi target operasi. Tim Buser Rangkong harus menentukan target beberapa hari sebelumnya, membuat gubuk pengintaian, mengamati perilaku pasangan rangkong dan gerak geriknya, dari arah mana datangnya jantan, persinggahan sebelum meluncur ke lubang sarang, ke arah mana perginya, lalu menentukan di mana kita akan membentangkan jaring. Berdasarkan informasi itu, kita siapkan segala sesuatunya untuk menjebak target buru sergap. Asli, berasa kayak operasi penyergapan... Pada hari H, ketika langit masih terlihat samar-samar, tim Buser Rangkong memulai aksi membuka dan menaikkan jaring di depan lubang sarang. Makin cepat makin baik. Lalu semua sembunyi menanti jantan memberi sarapan pertama kepada betina. Kadang, tanpa kita ketahui, ternyata si jantan sudah nongkrong dan melihat kelakuaan kita memasang jaring. Kurang ajarnya, si jantan baru terbang dan teriak-teriak setelah kita selesai pasang jaring. Alamak... kalau sudah begitu, maka operasi dipastikan gagal dan harus ditunda sampai batas waktu tak ditentukan.Asemmm, percaya deh, gak enak banget rasanya dikerjain rangkong. Menangkap rangkong ini ada seninya dan perlu minum pil sabar yang banyak sehingga kita dapat tertawa, terluka, dan kesal.  Kita tertawa saat jantan langsung menubruk jaring pada kesempatan pertama. Adakalanya si jantan yang waspada berhasil menghindari jaring, tapi setelah selesai memberi makan, dia lupa ada jaring di belakangnya dan brukkk... ia masuk perangkap. Kita terluka, ketika paruhnya berhasil mamacuk pipi atau menjepit tangan kita. Kita kesal, ketika keberadaan jaring diketahui oleh si jantan. Ada jantan yang hebat dan jeli sehingga selalu berhasil memberi makan pasangannya, meskipun kita sudah beberapa kali mengubah arah jaring. Ada pula jantan yang kabur dan tak kembali, memaksa kita gulung jaring karena kuatir betinanya kelaparan. Rangkong yang terperangkap, harus segera dilepaskan dari belenggu jaring dan ditutup kepalanya untuk mengurangi stress (tuh burung gak tauk kalau kita lebih stress). Radio seukuran batu baterai A3 yang telah dijahit dengan pita pun dipasang dipunggungnya, seperti memasang ransel. Pita yang digunakan dirancang khusus sehingga akan lapuk dalam tempo satu setengah tahun, sehingga rangkong tidak akan menggendongnya sepanjang hayat. Setelah semuanya beres, rangkong kita lepas. Eitt...jangan asal lepas! Rangkong tidak bisa langsung terbang jika kita letakkan di atas tanah. Ia akan meloncat-loncat dulu ke dahan pohon secara bertahap. Setelah dirasa cukup tinggi, barulah ia mengepakkan sayapnya. Untuk memudahkannya take off, rangkong kita letakkan pada dahan setelah melepas ikatan pada paruh dan sarung penutup kepala. Jerih payah kami selama dua bulan, berhasil ”memaksa” 9 rangkong menggendong radio pemancar seberat 23 gram (kurang dari 1% berat tubuhnya), yang memancar bunyi "biip...biipp" pada frekuensi antara 164-165MHz. Tiap pemancar menggunakan frekuensi yang berbeda sehingga kita dapat mengenali individu berdasarkan frekuensinya. Pekerjaan selanjutnya adalah mendeteksi mereka tiga kali seminggu, dari pagi hingga sore. Dengan GPS Magellans NAV 5000 PRO (seukuran dan seberat batubata. Waktu itu, ini GPS canggih lho), kita tentukan koordinat lokasi-lokasi pemantauan sinyal. Dengan mengetahui arah sinyal yang terpantau dari dua lokasi, kita tentukan posisi target (triangulasi). Dari situlah kita menghitung luas daerah jelajahnya sesuai lokasi hasil perhitungan triangulasi. Ternyata untuk mencari makanannya yang 80% berupa buah, rangkong mampu menjelajah hutan rata-rata 10km/hari dan luas daerah jelajahnya mencapai 55 km2. Artinya, rangkong mampu mencari makan sekaligus menyebarkan biji dari buah yang dimakannya di hampir 2/3 kawasan Cagar Alam TDS. Alam telah mengatur sedemikian rupa, agar hutan mengalami suksesi dan menjaga keseimbangannya melalui makhluk yang bernama rangkong. Terima kasih wahai burung rangkong yang big & beautiful. Engkaulah petani hutan yang tak kenal lelah. Salamku untuk seluruh rangkong di bumi pertiwi. @suerdirantau

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun