Beberapa waktu lalu saya sempat bertemu dengan Pak Nahadin, seorang petani di Kabupaten Seluma, Bengkulu yang tanahnya dicaplok oleh salah satu perusahaan perkebunan milik negara. Telah lama saya tak jumpa beliau pasca mendekam di ruang tahanan Lapas Malabero Bengkulu beberapa tahun silam.
Penampilannya masih seperti dulu, murah senyum, kalau bicara maunya serius terus, kadang saya nakal “meledek” beliau saat sedang seriusnya ngobrol, kalau sudah begini biasanya kami berdua tertawa cekikikan.
Kadang kalau saya bertamu ke rumahnya di Desa Pering Baru, pasti ngobrolnya lama, kopi, teh, rokok, cemilan ubi, macam-macam tumpah ruah.
Saya enggan membuka cerita lama sebelum kami dan 18 petani lain dipukul, tendang lalu dijebloskan ke penjara di perkebunan kelapa sawit, bukan persoalan trauma, namun malu upaya tak membuahkan hasil hingga kini.
Namun, yang menyatukan kami dengan petani itu ternyata cerita tragis itu, kami tak memiliki cerita indah, cerita kami hanya secuil tanah petani yang diambil salah satu perusahaan milik negara secara “paksa” pada sekitaran tahun 1980-an.
Aku berusaha menahan untuk tak memancing cerita itu tapi bibir petani itu meluncur mengucap, 30 tahun saya tetap memperjuangkan tanah saya yang diambil perusahaan itu, walau kini usaha terus kendur.
“Adakalanya saya mengikhlaskan, namun melihat kondisi keluarga yang saat ini semakin terjepit, semangat mencari keadilan itu muncul lagi,” kata Nahadin.
Cerita pertemuan saya dengan Pak Nahadin, sekelumit kecil saja persoalan yang menimpu ribuan petani kecil di Nunsantara. Saya percaya masih banyak cerita nyaris serupa, mencari rasa adil karena tanah yang mereka punya dicaplok begitu saja.
Data yang terekam Konsorsium Pembaruan Agraria, dalam 2014 sedikitnya terjadi 472 konflik dengan luas mencapai 2,8 juta hektare. Konflik ini melibatkan sekitar 105.887 keluarga. Dari jumlah itu, konflik agraria menyangkut infrastruktur terkait MP3EI sekitar 1.215 (45,55%). Disusul perkebunan 185 kasus (39,19%), sektor kehutanan 27 kasus (5,72%), pertanian 20 (4,24%), pertambangan 12 (2,97%), perairan dan kelautan empat kasus (0,85%, dan lain-lain konflik (1,48%). Jika dibandingkan dengan 2013, terjadi peningkatan sebanyak 103 kasus (27,95). Catatan KPA, periode 2004-2014, terjadi 1.520 konflik, dengan luasan 6.541.951 hektar, melibatkan 977.103 keluarga.(mongabay).
Aktivis agraria Eva Bande mengusulkan Presiden Joko Widodo membentuk satuan tugas (Satgas) penyelesaian konflik agraria. Hal ini seiring makin maraknya kasus konflik agraria yang berujung pada kriminalisasi rakyat serta aktivis.
Mendengar usulan Eva itu dalam sebuah media online nasional yang saya baca, presiden manggut-manggut saja dan bilang ya, saya nangkep dan ngerti.
Sejauh ini, belum ada langkah konkrit walau tak perlu cepat dari pemerintahan baru yang dinahkodai Presiden Joko Widodo. Publik sempat berharap kementerian agraria dan tata ruang dapat menjadikan konflik agraria sebagai soal prioritas.
Kementerian lebih mengutamakan perizinan kawasan industri untuk penanaman modal asing untuk mempermudah investor. Sementara, di tingkat bawah konflik terus terjadi perebuatan tanah antara petani, nelayan dan perusahaan.
Ruh UUPA
Ruh membebaskan diri dari sistem feodal dan penjajah serta melayani kepentingan asing telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. persoalan agraria adalah juga menyangkut harkat, eksistensi dan martabat bangsa.
“Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi.” Dengan demikian, hubungan manusia/masyarakat Indonesia dengan tanah bersifat abadi dan keterkaitan keduanya itulah yang menentukan keindonesiaan kita. (Pasal 1ayat 3 UUPA).
Sayangnya ruh tersebut tak menjadi rujukan bersama, sementara belakangan terus bermunculan UU yang bertolakbelakang dengan semangat UUPA dan UUD 45. Kenapa menteri agraria tak membuat semacam lembaga ad hoc selesaikan persoalan sengketa yang terus berlanjut? bukankah Komnas HAM pernah buat langkah ini? kenapa justru izin untuk investor asing yang dipercepat diurus?
Maaf, saya yang tak sabar karena presiden baru saja kerja atau apa? Harap kita pada Presiden baru masih berlaku…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H