Mohon tunggu...
Bahy Chemy Ayatuddin Assri
Bahy Chemy Ayatuddin Assri Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik Di Salah Satu Kampus

Menulis merupakan refleksi diri dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan dan Sejarah

4 April 2024   11:53 Diperbarui: 4 April 2024   12:04 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kabardamai.id/

Ada sebuah bayangan yang menggambarkan Sukarno sibuk menyiapkan naskah pidato di ruang bacanya dengan tumpukan-tumpukan buku dan tentunya ditemani kopi panas. Sedangkan, istri beliau, Inggit menjahitkan kancing jas di dalam kamar tidurnya agar terlihat gagah di depan ruang sidang esok harinya. Akhirnya, Sukarno menyelesaikan naskah pidato yang diberi judul "Indonesia Menggugat". Karya maha dahsyat ini mengobarkan api nasionalisme. Isi pidato dari Indonesia Menggugat berisikan kondisi politik internasional dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah kolonialisme. Setelah itu, Sukarno mendapatkan banyak penghormatan, puji-pujian, dan mendapatkan banyak harapan dari masyarakat. Sementara itu, setelah bertahun-tahun kemudian, Inggit justru seorang diri lagi di kamarnya karena menolak untuk dimadu dan memilih berpisah.

Sejarah adalah pentas politik laki-laki. Di dalam sejarah ini, terdapat kekuasaan dan rasa kepahlawanan, yaitu ruang sidang yang sakral, pidato yang sangat menggebu-gebu, dan histeria serta sorak-sorai massa. Sementara perempuan hanya berada di kejauhan peristiwa dan menunggu pementasan selesai. Skenario sejarah tidak ditulis untuk dapur yang kotor dan kamar yang kusam. Biografi dan kamera ialah alat politik laki-laki yang berguna untuk mendokumentasikan kekuasaannya. Padahal jika tidak ada perempuan yang memasak, yang menjahitkan kancing jas, atau yang mengurusi hidupnya, mungkin juga tidak akan terjadi peristiwa yang maha dahsyat itu. Ini adalah sebuah pembagian tugas yang sempura. Jika dikatakan sejarah adalah pentas politik laki-laki, maka dapat dikatakan perempuan adalah bagian busana dan penata rias aktor.

Politik perempuan dewasa ini masih berjuang untuk melewati lapisan-lapisan hambatan diskriminasi yang sudah terawetkan dalam sistem patriarki. Lapisan hambatan ini merentang sepanjang peradaban, mulai mitos virginitas sampai peraturan-peraturan yang berbau misoginis. Diskriminasi ini sering dilakukan oleh agama, filsafat, dan hukum untuk melanggengkan praktik patriarki. Ditambah, sejarah ikut andil dalam mengagungkan politik diskriminasi ini sebagai "his-story". Hegemoni bertujuan agar perempuan hanya ditempatkan pada ruang domestik. Akhirnya, muncullah ketidakadilan di semua bidang. Ruang-ruang publik dibatasi dari perempuan. Dewasa ini, memang kuantitas perempuan di ruang publik semakin banyak tapi hanya jumlahnya saja, kualitas tertinggi masih didominasi oleh laki-laki.

The Law of the Father tumbuh melembaga dalam politik bahasa, diteorikan oleh psikologi, dan ditanamkan dalam wacana sosial. Di dalam hukum ini, perempuan tidak tumbuh sebagai aktor utama negara, tetapi hanya tokoh figuran yang mendukung peran aktor utama. Seluruh ketidakadilan terakumulasi di dalam tubuh perempuan. Tidak ada ketidakadilan yang menandingi ketidakadilan terhadap perempuan, yaitu ia penerima terendah produksi ekonomi, ia nonsubjek dalam hukum, ia sasaran penghukuman moral dalam politik agama, dan ia pun sebagai umpan politik media.

Berhubungan dengan perempuan sebagai nonsubjek dalam hukum, ada cerita yang menarik dari para dewa mitologi. Dahulu kala, Poseidon memperkosa Medusa. Tetapi Poseidon malah dibebaskan oleh penguasa Athena. Tuduhan ini lalu berbalik: Medusa yang mendorong birahi dari Poseidon. Lalu Medusa mendapatkan hukuman yaitu kutukan menjadi monster dengan wajah bengis, rambutnya berubah menjadi ular, dan bola matanya berubah menjadi bola api.

Dari peristiwa ini, perkosaan adalah konspirasi politik patriarki. Di dalam perkosaan, perempuan dijadikan objek yang tak mungkin bisa melawan. Ia adalah milik mutlak laki-laki. Berbeda dengan kejahatan lain, seperti perampokan dengan korban perempuan. Si pencuri itu pasti berpikir kalo perempuan ini akan melawan. Sedangkan kejahatan perkosaan ini motif dasarnya adalah penguasaan tubuh perempuan sebagai hak alami laki-laki. Ini jelas adalah penghinaan terhadap perempuan. Tubuh perempuan dialokasikan sebagai pelaksanaan kekuasaan. Pelembagaan politik kekerasan ini dibenarkan oleh tafsir-tafsir kebudayaan misoginis. Lalu feminisme meyakini bahwa rape is not about sex, it's about power.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun