Politik berasal dari kata bahasa Yunani, polis yang artinya negara. Politik adalah suatu aktivitas yang dibuat, dipelihara, dan digunakan untuk menegakkan peraturan yang berada di sebuah masyarakat. Politik dalam diartikan sebagai proses pembuatan suatu keputusan dalam suatu negara untuk memelihara masyarakat yang ada di dalamnya. Jika disandingkan dengan ideologi yang berarti gagasan atau ide, maka ideologi menjadi sponsor utama pola pikir dalam politik untuk menyusun sebuah keputusan yang tentu saja menguntungkan dan membela masyarakat. Jika disandingkan dengan demokrasi, maka dalam penyusunan keputusan diharuskan melibatkan rakyat yang memiliki kedaulatan tertinggi di dalam negara. Dengan sistem demokrasi yang seperti adanya, maka praktik melibatkan rakyat dalam segala keputusan sering digunakan wakil rakyat untuk memanipulasinya dengan mengatasnamakan rakyat. Sistem demokrasi juga menghendaki kepada menampung aspirasi rakyat lewat wakilnya di DPR, tapi hal ini justru menghasilkan pembagian kekuasaan saja dan meninggalkan rakyatnya.
Dengan menghasilkan pembagian kekuasaan dan memanipulasi aspirasi rakyat seperti ini, maka wakil rakyat itu bukan hanya defisit moral tapi juga menampakkan defisit akal, arogansi. Di masa lampau, para wakil rakyat ini turun ke jalanan guna mengais suara dan aspirasi dari rakyat menggunakan politik pencitraan yang sukses besar. Di kala ia terpilih, rakyat yang memberinya suara malah ditinggalkan dan ditangguhkan, dan sekarang ia malah mencari suara di bagian eksekutif negara untuk mendapatkan bagian kekuasaan. Padahal dulu dia pun adalah rakyat sama seperti rakyat-rakyat lainnya. Artinya, di dalam demokrasi kita ini ada dikotomi tentang rakyat dan wakil rakyat, sama seperti zaman feodalisme; tuan dan anak buahnya. Para wakil rakyat ini menyuarakan kesejahteraan dan keamanan rakyat, misalnya, dan ketika ia terpilih, suara kesejahteraan dan keamanan tadi telah terlupakan. Rakyat harus segera menagihnya. Dari sana dapat dipastikan adanya praktik feodalisme warisan dari penjajah.
Sistem feodalisme dapat dicegah dengan mengikuti jalan pikir demokrasi yang sesungguhnya dan memperkuat ideologi di kalangan wakil rakyat sehingga tidak hanya janji-janji yang dikeluarkan tetapi realisasi janjinya pun ada. Memperkuat ideologi ini menjadi masalah urgent bagi para wakil rakyat sehingga dalam demokrasi ini muncul pertengkaran ideologi buka pertengkaran emosi semata. Memperkuat ideologi pun dapat menciptakan suasana politik oposisi yang ideal. Bayangkan tidak ada politik oposisi di tubuh demokrasi, yang ada malahan politik koalisi atas dasar kepentingan dan bersifat pragmatis, bukan atas dasar kesamaan ideologi yang dapat membangun negara tercinta untuk lebih maju lagi. Dari sini, munculah politik dealership bukan leadership. Politik dealership menghendaki adanya efisiensi dan transaksi. Jika sebuah kekuasaan dapat ditransaksikan dengan sejumlah uang atau lainnya, maka aspirasi rakyat tergadaikan oleh nafsu dan obesesi wakil rakyatnya. Politik oposisi ini berguna untuk melawan sejumlah keputusan atau kebijakan yang agaknya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan rakyat. Artinya, politik oposisi berguna untuk penyeimbang pendapat dan tentunya memperjuangkan hak-hak minoritas.Â
Dalam demokrasi, yang seharusnya dibela adalah kaum minoritas, entah agama atau etnis. Dengan ini demokrasi bukan mempercayai isi keyakinan yang dipegang oleh kaum minoritas, tetapi demokrasi lebih membebaskannya dari akses sumber daya agar dapat setara dengan mayoritas. Demokrasi dan hak asasi manusia menjadi benteng terakhir bagi kaum minoritas. Jangan sampai demokrasi ini disusupi oleh politik komunalisme yang menghendaki tidak adanya identitas di luar komunitas mayoritas. Nilai individu dipengarungi oleh nilai komunitas. Individu tidak memiliki nilai di luar komunitas. Hal ini dapat melukai tubuh demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, nilai, dan moral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H