Mohon tunggu...
Bahy Chemy Ayatuddin Assri
Bahy Chemy Ayatuddin Assri Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik Di Salah Satu Kampus

Menulis merupakan refleksi diri dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hubungan Antara Intoleransi dan Fanatisme Agama

24 Maret 2024   14:18 Diperbarui: 24 Maret 2024   14:33 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kedaipena.com/

Intoleransi adalah sebuah keniscayaan karena ia merupakan lawan kata dari toleransi. Toleransi sendiri bermakna saling menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan oleh individu lain selama masih dalam ambang batas, sedangkan intoleransi kebalikan dari toleransi. Toleransi sendiri bebas nilai, tidak dapat langsung dikatergorikan baik atau buruk, harus melihat bagaimana prosesnya dulu. Contoh: toleransi dalam pembiaran individu lain melakukan kejahatan, toleransi ini masuk ke dalam toleransi yang buruk. Contoh lain: toleransi dalam pembiaran individu melaksanakan pemahaman agamanya, karena pemahaman agama setiap individu berbeda selagi tidak menyimpang, toleransi ini masuk ke dalam toleransi yang baik. Intoleransi sendiri hampir dipastikan sebagai kategori buruk karena tidak ada perilaku toleransi di dalamnya.

Sikap toleransi di Indonesia tinggi, sama tingginya dengan sikap intoleransinya. Jika menyentuh unsur-unsur agama, langsung disebut penistaan agama, langsung dilaporkan ke pihak polisi, langsung dihujat sana-sini oleh masyarakat. Sikap intoleransi ini dapat dipastikan adanya provokator yang mengatur semua ini. Seperti halnya konflik agama di Maluku yang telah menelan banyak korban, di samping adanya kecemburuan sosial atas kebijakan yang diskriminatif, tapi konflik ini lebih mengarah pada konflik agama. Dengan hanya karena perihal agama yang merupakan keyakinan dari dalam hati, mereka dengan sadar diri membantai saudara-saudaranya sendiri, padahal ajaran mereka tidak mengajarkan hal ini, ajaran mereka pastilah ajaran yang manusiawi bukan hewani. Indonesia ini berisikan masyarakat multi-kultural dan multi-agama dan untuk mengindari hasutan provokator yang memecah belah masyarakat, pemahaman agama harus senantiasa meningkat dan meningkat terus. Dengan adanya intoleransi ini membuat masyarakat Indonesia terpecah belah dan berkubu-kubu, tidak menjadi satu masyarakat. Jika sikap intoleransi telah mengakar dalam suatu masyarakat, maka disana muncullah sikap fanatik yang lebih merusak.

Fanatik sendiri bermakna keyakinan untuk meyakini suatu ajaran dengan kuat. Artinya sikap ini tidak menerima keyakinan lain, keyakinan dirinya lah yang benar, keyakinan lain salah dan harus dibuang jauh-jauh. Fanatik juga memiliki argumentasi yang lemah dan tidak sesuai dengan logika. Sikap fanatik dapat menjangkit semua bidang, termasuk bidang agama. Menurut studi di Barat, hipotesa awal mengatakan jika ada benturan god spot di dalam otak, maka akan menghasilkan sikap fanatik . God spot ini ada di dalam otak yang berguna untuk mengelola spiritualitas individu. Seseorang percaya dengan Tuhan akan dikelola di dalam god spot ini. Namun, setelah penelitian, kesimpulannya adalah bagian otak ini mengalami benturan akan menghasilkan ateisme bukan sikap fanatik. Lantas bagaimana menjelaskan sikap fanatik agama yang banyak menjangkiti masyarakat Indonesia ini?. Ada studi lagi yang mengatakan bahwa sikap fanatik dapat muncul dari wacana-wacana individu atau kelompok untuk mencapai tujuannya. Pada pilgub tahun 2012, lawannya yaitu Jokowi dan Ahok, Fauzi Bowo menggunakan sikap anti-orang betawi dan anti-non Islam sebagai strategi kampanye untuk mendapatkan suara. Pada akhirnya, fanatisme dimanfaatkan oleh para politisi. Hasilnya, Fauzi Bowo mendapatkan suara yg banyak dari orang-orang desa, sedangkan lawannya, Jokowi, mendapatkan suara di kota. Dari hasil ini, strategi sikap fanatik ini cukup berhasil tapi tetap masih kalah. Pada saat itu, masyarakat Jakarta sudah muak akan agama dicampur-adukkan dengan kepentingan politik Agama hanya sebagai topeng dan jika sudah usang, maka akan tergantikan dengan sendirinya.

Sikap fanatik dan intoleransi ini juga merupakan implikasi dari kurangnya literasi atau referensi melalui cara pandang yang memandang satu perkara. Untuk menghindari sikap ini, maka diharuskan untuk memandang satu perkara dengan minimal dua pandangan. Cara pandang ini menghendaki adanya perimbangan informasi yang akan membuat individu bersikap moderat dan tidak menekankan kepada satu pandangan saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun