Mohon tunggu...
Bahy Chemy Ayatuddin Assri
Bahy Chemy Ayatuddin Assri Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik Di Salah Satu Kampus

Menulis merupakan refleksi diri dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sentralisasi dan Desentralisasi di Indonesia

22 Maret 2024   11:45 Diperbarui: 22 Maret 2024   11:45 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://mediaindonesia.com/humaniora/556246/pengertian-dan-perbedaan-sentralisasi-dan-desentralisasi

Sentralisasi merupakan kewenangan dan pengelolaan pemerintahan hanya berpusat di dalam satu pihak, yaitu pemerintahan pusat. Sedangkan desentralisasi kebalikan dari sentralisasi, yaitu kewenangan pemerintahan terbagi ke beberapa pihak, biasanya lembaga atau pemerintahan daerah. Dalam hal desentralisasi, pemerintah daerah membantu tugas pemerintahan pusat agar lebih efisien dan cakupannya luas dan menyeluruh. Sistem ini seperti sistem negara federal yang terdiri dari negara-negara otonom yang membantu negara pusat dalam pekerjaannya. Oleh karenanya, Indonesia sebenarnya menerapkan sistem negara kesatuan tapi di dalam pelaksanaannya banyak memuat nilai-nilai sistem negara federal. Pada akhirnya, orang-orang nasionalis dulu yang mengusulkan bentuk negara federal saat diskusi tentang bentuk negara Indonesia, secara tidak langsung telah terlaksana karena desentralisasi ini.

Sentralisasi digunakan pada zaman Sukarno dan Suharto, orde lama dan orde baru. Pada masa reformasi, sentralisasi digantikan dengan sistem desentralisasi, tepatnya pada kepemimpinan B.J Habibie. Desentralisasi tidak ujug-ujug muncul. Pemicu awal adalah karena tidak dapat mempertahankan daerah Timor Timur dalam dekapan bumi pertiwi ini. Timor Timur ingin merdeka karena daerahnya itu hanya dimanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan Jawa tanpa mempedulikan dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat lokal. Masyarakat lokal dipandang sebagai kotoran yang harus dibuang. Akhirnya mereka memilih merdeka  karena jika lama-lama dalam dekapan Indonesia, sumber alam akan selalu dieksploitasi oleh pemerintahan pusat. Andaikan desentralisasi ini muncul sebelum Timor Timur merdeka, mungkin ceritanya akan berbeda. 

Kemerdekaan Timor Timur juga menyulut gerakan separatisme di Aceh dan Papua. Aceh melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendeklarasikan Aceh merdeka karena mereka mempunyai sumber alam yang melimpah dan seharusnya mempunyai daerah yang otonom dan merdeka. Kasus ini agak sedikit berbeda. Di samping eksploitasi sumber daya alam, Timor Timur tidak termasuk dalam Indonesia merdeka. Berbeda kasus dengan Aceh, daerah ini masuk ke dalam Indonesia merdeka. Jadi, gerakan separatisme di Aceh lebih cenderung gerakan separatisme egois belaka. Toh, setelah tsunami melanda, GAM ingin berdamai dengan pemerintahan pusat dan tahun 2005 penandatanganan perjanjian damai. Sebagai hasilnya, Aceh mendapatkan dana abadi karena masuk ke dalam otonomi daerah khusus. Namun, sampai sekarang, tidak ada upaya pemerintah untuk mengembalikan Timor Timur ke dekapan ibu pertiwi ini.

Di samping berimplikasi pada gerakan separatis, desentralisasi ini berjasa pada menjamurnya korupsi dan patronisme. Setiap daerah memiliki otonominya sendiri dan mandiri dalam mengelola keuangan, maka praktik korupsi tidak bisa terhindarkan. Menurut survei, tindak korupsi lebih tinggi di daerah, khususnya desa, ketimbang di pusat. Tidak ada pengawasan yang berarti kepada pemimpin desa. Apalagi UU Kepala Desa yang berisikan kepala desa memegang jabatan 9 tahun telah disahkan. Tindak korupsi bakal naik dan naik terus. 

Menurut Francis Fukuyama, manusia lebih senang di puncak hierarki karena disana ada rasa kepuasan dan dipandang mulia oleh orang lain. Di puncak hierarki, orang dapat mengatur segala yang ada di bawahnya dengan leluasa. Hal ini terpancar pada kepala desa yang demo di DPR agar UU Kepala Desa cepat disahkan. 

Di samping ada praktik korupsi, ada juga praktik patron-klien dalam menjalankan kebijakan dan proyek atau dalam pengelolaan dana desa, misalnya. Jangan heran jika pembangun desa terhampat, jalan-jalan desa tidak kunjung diperbaiki, atau akses-akses fasilitas umum yang tidak ada, bisa dipastikan adanya praktik ini di dalam pemerintahan desa. Padahal kucuran dana dari pusat ke daerah itu sangatlah besar karena memang pusat ingin bekerjasama dengan daerah untuk membangun Indonesia yang lebih maju lagi. 

Korupsi dan praktik patron-klien sudah melekat di setiap pemangku jabatan. Sebuah kejahatan akan ikut terorganisir sesuai dengan kehidupan sehari-hari yang terorganisir pula, adanya negara misalnya. Kejahatan akan terus berkanti topengnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun