Sebelum pembahasan bagaimana kerjasama antar individu, ada persepsi yang mesti disamakan dahulu. Menurut para sosiolog, manusia sebagai makhluk sosial dan dapat berkomunikasi dengan individu lainnya. Sedangkan para ekonom, manusia ialah makhluk yang terisolasi dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Berdasarkan pandangan di atas, perspektif sosiolog mengamini bahwa manusia bisa saling bekerjasama dengan manusia lainnya karena adanya komunikasi. Namun, perspektif ekonom juga sebenarnya mengamini kerjasama dengan individu lain, dalam arti manusia lain dapat bekerjasama untuk dimanfaatkan individu lain untuk mencapai tujuan pribadinya.Â
Lalu timbul pertanyaan, bagaimana kerjasama itu muncul? Menurut Francis Fukuyama, kerjasama timbul atas dua dasar, yaitu dasar kekerabatan (familisme) dan persamaan proyek atau tujuan.Â
Pertama, atas dasar kekerabatan. Hubungan kerjasama ini sangat terikat satu sama lain, satu kerabat dengan kerabat lainnya. Contoh, bisnis orang-orang China yang meliputi banyak sektor dan manufaktur, hanya berkutat di sekitaran kerabatnya saja. Dalam hal ini, orang di luar garis kekerabatannya akan selalu dimanfaatkan guna mencapai tujuannya. Hubungan kerjasama ini tidak harus adanya timbal balik jika berhubungan dengan kerabatnya langsung, tetapi jika dihubungkan dengan orang lain di luar kerabatnya, maka kerjasama ini akan mengekang dan menuntut banyak kepada individu tersebut. Oleh karenanya, kerjasama ini tidak luput dari masalah korupsi publik yang dilakukan demi keuntungan keluarganya sendiri. Kerjasama ini juga mengindikasikan adanya ketidakpercayaan individu kepada individu lain dan juga orang lain hanya sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Kerjasama ini mengacu kepada perspektif para ekonom terkait manusia.
Kedua, kerjasama atas dasar persamaan proyek atau tujuan. Berbeda dengan sebelumnya, kerjasama ini terdiri dari orang-orang yang tidak ada ikatan untuk mencapai tujuan bersama. Perlu dicatat bahwa kerjasama ini tidak ujug-ujug terbentuk, disana terdapat batasan norma atau moral untuk membangun sebuah kepercayaan atau reputasi. Norma atau moral ini tidak tertulis formal tetapi muncul secara spontan. Artinya, kerjasama ini memerlukan pertemuan atau komunikasi yang intens untuk membangun keterpercayaan antara satu dengan lainnya. Jika tidak ada itu semua, maka tujuan bersama tidak akan terwujud. Jika sudah ada saling percaya, maka akan mudah untuk menjalin kerjasama guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama ini jauh dari kata korupsi dan nepotisme karena telah ada norma atau moral yang tidak tertulis untuk mengatur setiap tindakan. Bagi yang melanggar, maka sanksinya akan diasingkan dari kerjasama ini. Kerjasama ini mengacu kepada perspektif para sosiolog terkait manusia.
Dari kerjasama ini, muncul sebuah norma atau moral. Norma ini berkaitan batasan-batasan perilaku terhadap orang lain. Hal ini sesuai dengan ilmu sosiologi yang bersangkutan dengan batasan-batasan. Berbeda dengan ilmu ekonomi yang bersangkutan dengan banyak pilihan. Artinya norma-norma ini bukan sebuah batasan tapi sebuah pilihan bebas untuk memilih. Norma-norma muncul akibat interaksi antar individu. Di zaman dahulu, norma-norma muncul secara spontan dan tidak dibukukan menjadi norma formal, seperti hukum. Ketika ada orang yang melanggar norma itu, maka akan dikenakan sanksi komunitas saja atau hanya kekeluargaan. Di zaman modern, kebanyakan norma itu dibukukan menjadi formal. Akhirnya, jika ada yang melanggar, maka akan berurusan langsung dengan hukum dan negara. Inilah ciri dari masyarakat modern. Dengan begitu, norma dengan sendirinya menempati hierarki paling tinggi. Namun, norma-norma dalam hierarki dapat disatukan dengan, meminjam kata dari Fukuyama metanorma. Metanorma ini menyatukan norma-norma yang berselih agar dapat berkompromi antara satu dengan lainnya. Sehingga manusia dalam komunitas, misalnya, dapat berpatok pada kesepakatan metanorma dalam bertindak.
Di samping itu, kerjasama juga menghasilkan hierarki. Hierarki mengamini bahwa yang di atas berhak mengawasi dan mengatur yang bawah, sehingga manusia sekarang berlomba-lomba untuk mencapai hierarki tertinggi. Hal ini disebabkan karena siapa saja yang berada di puncak hierarki bukan hanya mendapatkan kekayaan materi, tetapi terpandang mulia dan diperhatikan oleh orang banyak. Jangankan di negara maju dan berkembang, orang yang berada di tingkat atas hierarki di negara miskin pun mendapatkan hal serupa. Émile Durkheim mengusung konsep "state of nature", manusia didesain untuk berperang satu sama lain untuk mencapai puncak kepemimpinan guna mendapatkan perhatian dan juga dapat mengatur bawahannya, seperti perang Ukraina-Israel dan Israel-Palestina. Tidak aneh, manusia sekarang berlomba-lomba mencapai puncak hierarki. Gagasan liberalisme yang mengusung konsep anarki (tanpa ada hierarki dan tingkatan kelas) agaknya tidak realistis dengan kehidupan sehari-hari. Gagasan ini bersifat utopis dan tidak mungkin terjadi pada kehidupan kenyataan. Sesuatu yang ideal tergantung pandangan masing-masing individu itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H