Mohon tunggu...
Asril Novian Alifi
Asril Novian Alifi Mohon Tunggu... Penulis - Writer | Learning Designer | Education Consultant

Writer | Learning Designer | Education Consultant https://linktr.ee/asrilnoa

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Jika Sudah Ada Internet, Mengapa Masih Harus Membaca Buku?

25 Januari 2019   14:10 Diperbarui: 30 Januari 2019   17:42 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : https://pixabay.com

Ketika masih duduk di bangku sekolah menengah dulu, saya kerap menyisihkan sebagian uang saku sekolah untuk ditabung dan kemudian saya belikan barang-barang yang saya sukai. Barang-barang tersebut sebenarnya hanya barang-barang sederhana, tak jauh dari buku-buku, komik, majalah-majalah remaja, dan juga kaset.

Ya, bagi kami remaja-remaja yang tingkat ekonominya masih mbuh-mbuhan, untuk sekadar membeli barang-barang sederhana seperti itu kami harus "tirakat" dulu selama beberapa minggu, bahkan sampai hitungan bulan. Namun, ketika pada akhirnya tirakat itu membuahkan hasil, nikmat yang kami rasakan terasa berkali-kali lipat. Ah, saya jadi teringat kalimat dari Imam Syafi'i yang kurang lebih berbunyi seperti ini:

"Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang."

Setelah duit hasil "tirakat" terkumpul, biasanya saya akan langsung meluncur bersama teman-teman sesama pecinta benda-benda tersebut ke Tunjungan Plaza, sebuah mal yang konon terkenal sebagai mal tertua dan terbesar se-Surabaya. Tunjungan Plaza, atau orang Surabaya sering menyebutnya dengan TP, adalah mal favorit saya dan teman-teman untuk menyegarkan mata.

Sebenarnya, jarak Tunjungan Plaza cukup jauh dari sekolah kami. Untuk menuju ke sana, kami harus naik bus ke terminal Joyoboyo, lalu kemudian oper naik angkot. Namun, karena pada saat itu mal di Surabaya tak sebanyak sekarang, Tunjungan Plaza adalah tempat yang paling recomended untuk jalan-jalan. Suasana dan kenyamanan mal itu masih jauh lebih baik jika dibandingkan mal-mal lain di Surabaya yang jumlahnya masih belum seberapa banyak seperti sekarang.

Tempat yang pasti kami masuki di Tunjungan Plaza hanya berkisar pada 3 tempat, yaitu toko buku Gramedia, toko kaset Disc Tarra, dan wahana permainan semacam Time Zone atau Fun Pollis. Sementara tempat-tempat yang lain jelas tak akan pernah kami masuki lantaran budget yang kami juga tak akan sanggup untuk membeli barang-barang di sana. Oh ya, dari tempat-tempat tersebut, hanya Gramedia dan Time Zone yang masih ada sampai sekarang. Sementara Fun Pollis dan toko kaset Disc Tarra sepertinya sudah gulung tikar.

Gramedia dan Disc Tarra adalah dua tempat yang bisa membuat kami berlama-lama berada di dalamnya. Bukan hanya karena tempat itu sangat menyenangkan bagi kami, tapi juga di kedua tempat itu pula kami harus berusaha keras memilah dan memilih item apa saja yang harus kami beli. Dan ternyata, itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Selalu saja, setiap masuk kedua tempat tersebut kami pasti tergoda untuk membeli item lain yang tak masuk dalam rencana belanja kami sebelumnya. Mau dibeli semua tak akan sanggup, tapi mau diabaikan juga terlalu sayang. Terpaksa kami harus menyortir keinginan kami masing-masing. Di Gramedia, kami akan mencermati baik-baik buku atau majalah apa saja yang akan kami beli.

Di dalam Disc Tarra kami akan mencoba tiap kaset yang kita inginkan di sebuah stand yang bisa digunakan untuk mengecek suara kaset. Bagi "orang-orang lawas" yang sempat menikmati kehadiran Disc Tarra, pasti tahu ada sebuah sudut di toko kaset tersebut yang menyediakan head phone dan pemutar kaset yang bisa digunakan oleh pengunjung untuk mengecek kualitas suara kaset yang akan dibelinya.

Sepulang dari "ritual" dari Tunjungan Plaza tersebut, tak ada aktivitas lain yang lebih menyenangkan bagi saya selain menikmati barang-barang hasil buruan tersebut. Rasanya hampir mirip dengan berbuka puasa setelah sekian lama bertirakat sedemikan rupa untuk mewujudkan keinginan kita. Saya masukkan kaset ke dalam tape recorder di dalam kamar. Tak lama, kamar saya akan menjadi tempat yang sangat berisik.

Saya menikmati alunan lagu-lagu tersebut sembari membuka-buka barang-barang buruan yang lain; buku, komik, dan majalah-majalah. Ah, memang sungguh terasa sekali perbedaan menikmati musik di masa remaja dulu dengan cara saya yang sering saya lakukan sekarang. Tak beda dengan kebanyakan orang jaman sekarang yang menikmati lagu lewat gawai-gawainya, cara menikmati lagu yang ingin saya dengarkan cukup dengan menutulnya di daftar putar, lalu mengalunlah lagu itu dengan begitu mudahnya.

Saat masih di jaman kaset, kita tentu tak bisa seleluasa itu. Untuk memilih lagu mana yang ingin kita dengarkan, kita harus menekan tombol fast forward atau rewind pada tape kita. Saat kedua tombol tersebut ditekan, maka pita kaset akan berputar dengan begitu cepat. Tak ada petunjuk apapun yang menandakan putaran tersebut sudah sampai di play list ke berapa. Di sinilah kemudian ilmu kira-kiraologi memainkan perannya.

Lantaran hanya berdasarkan kira-kiraologi, maka saat kita menghentikan proses rewind atau fast forward itu belum tentu pas di posisi lagu yang kita inginkan. Seringnya memang tak pernah tepat. Bisa jadi masih kurang sedikit lagi atau malah kebablasan dari posisi lagu yang kita inginkan. Kalau sudah sperti ini, proses forward dan rewind pun akan diulang kembali, bahkan bisa sampai beberapa kali, sampai pita kaset tepat di posisi yang kita inginkan.

Dikarenakan prosesnya yang sungguh merepotkan tersebut, seringkali penikmat musik dengan medium kaset jarang melakukan proses forwardatau rewind. Jadi, mau tidak mau, mereka akan mengikuti lagu-lagu dalam play list kaset itu berputar satu-persatu. Dalam kondisi inilah, saya sendiri sering mengalami sebuah petualangan.

Jika diibaratkan sebuah perjalanan, mendengarkan musik dengan media digital itu seperti orang bepergian yang langsung sampai ditempatnya dengan begitu cepat. Sedangkan mendengarkan musik dengan kaset itu seperti orang bepergian yang berputar-putar, terkadang juga tersesat atau mampir-mampir dulu sebelum sampai ke tempat tujuan.

Tapi siapa sangka, ternyata hasil dari "mampir-mampir" tersebut, seringkali membawa saya pada perjumpaan-perjumpaan yang mengejutkan. Tak jarang saya menemukan lagu-lagu yang awalnya tak menjadi tujuan saya mendengarkan isi kaset tersebut, justru adalah lagu-lagu yang tidak kalah keren dibandingkan lagu yang awalnya begitu saya ingin dengar (biasanya lagu yang memang sudah menjadi hit) dari kaset tersebut. Tak jarang pula akhirnya lagu tersebut akhirnya menjadi lagu yang paling saya favoritkan dalam album tersebut.

Demikian pula dalam hal membaca. Tiap kali membaca tulisan-tulisan di internet melalui gawai yang saya miliki, saya cenderung hanya membaca tulisan yang singkat-singkat saja. Tak jarang pula saya hanya membaca poin-poinnya dan tidak terlalu tertarik untuk mencermati tiap kata demi kita. Selain karena memang membaca tulisan dari layar gawai tak begitu nyaman bagi mata, saya merasa bahwa secara psikologis memang penggunaan gawai itu ditujukan untuk membaca informasi-informasi yang kita butuhkan saja.

Sangat berbeda dengan buku cetak. Dengannya saya bisa berlama-lama betah larut di dalamnya. Serupa dengan kaset, buku cetak juga kerap membawa saya tak sekadar pada informasi yang ingin saya dapatkan saja, tapi juga mampu membawa saya untuk "mampir-mampir" ke informasi lain yang ternyata juga tak kalah seru.

Ternyata apa yang saya rasakan tersebut pernah juga dibahas oleh Mbak Sofie Dewayani dalam bukunya Menghidupkan Literasi di Ruang Kelas (Kanisius, 2017). Pada bab awal tersebut Mbak Sofie menekankan bahwa membaca buku cetak masih tetap dibutuhkan, walaupun  arus informasi dari internet jauh lebih cepat dan mudah kita dapatkan melalui gawai-gawai kita.

Judul : menghidupkan Literasi di Ruang Kelas Penulis : Sofie Dewayani Penerbit : Kanisius Tebal Buku : 175 Halaman| Dokumentasi pribadi
Judul : menghidupkan Literasi di Ruang Kelas Penulis : Sofie Dewayani Penerbit : Kanisius Tebal Buku : 175 Halaman| Dokumentasi pribadi
Dalam buku tersebut, Mbak Sofie memaparkan beberapa hasil penelitan yang menjelaskan dua perbedaan mencolok antara aktivitas membaca buku dan aktivitas membaca dari internet lewat gawai yang kita miliki, di antaranya :

Informasi yang didapat Dari Membaca Buku Jauh Lebih Melekat di Ingatan
Anne Mangen dari Universitas Norwegia menemukan bahwa buku cetak membantu pembaca untuk mengingat materi bacaan dengan lebih baik ketimbang buku elektronik. Studinya membandingkan kemampuan menceritakan ulang bacaan dari pembaca buku cetak dan pembaca buku elektronik. Dia menyimpulkan bahwa pembaca buku cetak mampu mengingat aspek lebih detail dari isi buku yang dibacanya.

Pembaca Buku Cenderung Lebih Sistematis dalam Mendapatkan Informasi
Dari hasil penelitian Ziming Liu menunjukkan bahwa saat membaca pada layar komputer, pembaca cenderung menghabiskan lebih banyak waktu untuk berselancar mencari informasi spesifik dengan cara memindai (scanning), menggunakan kata kunci tertentu, membaca dengan alur yang nonlinier, dan membaca penggalan informasi secara selektif. Hal ini tentunya berbeda dengan pembaca buku cetak yang membaca dengan perhatian terfokus, sehingga mendapatkan informasi yang sistematis.

Sebenarnya, aktivitas memindai dilakukan oleh pembaca buku cetak maupun pembaca buku digital. Hanya saja cara melakukan pemindaian diantara keduanya berbeda. Saat membaca buku cetak, pembaca memindai bacaan untuk menemukan informasi tertentu. Pembaca pun dapat mengingat informasi dengan menandai letaknya dalam buku. 

Menurut Olsen (1994), ingatan visual ini tidak terjadi pada kegiatan menelusuri bacaan digital (scrolling up, scrolling down). Teks digital umumnya dibaca parsial, sehingga pembaca tidak membacanya sebagai satu ide kesatuan secara utuh.

Meski demikan --masih dalam bukunya tersebut-- Mbak Sofie menekankan bahwa membaca materi digital juga sama pentingnya. Keduanya saling melengkapi. Membaca digital lebih sesuai untuk penelusuran informasi secara instan, sedangkan membaca materi cetak membantu untuk menemahami informasi secara menyeluruh.

Kalau boleh saya ibaratkan lagi dengan aktivitas bepergian, membaca materi digital itu seperti orang yang sedang bepergian untuk urusan bekerja. Tidak boleh mampir-mampir dan tidak boleh berputar-putar. Sesegera mungkin harus sampai ke tujuan. Sedangkan membaca materi cetak itu layaknya orang yang sedang travelling. Ia akan menelusuri setiap sudut-sudut bacaan yang ada digenggamnya, sehingga akan mendapatkan pengalaman membaca yang lebih komprehensif. Keduanya tetap dibutuhkan dalam kehidupan kita.

Oh ya, Omong-omong, setelah saya telusuri lagi rumah saya, ternyata semua kaset-kaset hasil tirakat saya selama ini sudah raib entah ke mana. Beruntung buku-buku dan majalah-majalah saya tak ikutan lenyap, sehingga saya masih tetap bisa menikmati travelling. Ya, bagi orang yang suka jalan-jalan, tapi tak selalu punya uang yang mencukupi ini, membaca buku setidaknya tetap bisa dijadikan aktivitas travelling yang menyenangkan. Murah, meriah, tak perlu keluar rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun