Mohon tunggu...
Asril Novian Alifi
Asril Novian Alifi Mohon Tunggu... Penulis - Writer | Learning Designer | Education Consultant

Writer | Learning Designer | Education Consultant https://linktr.ee/asrilnoa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PR di Kurikulum 2013

4 November 2014   19:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:41 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pekerjaan rumah atau yang biasa disingkat dengan PR seakan menjadi bagian terpenting dalam proses pembelajaran di setiap jenjang sekolah. Alasan utama diadakannya PR bagi siswa adalah supaya siswa lebih mantap dalam memahami materi yang sudah diajarkan guru di sekolah. Dengan mengerjakan PR di rumah, siswa diharapkan lebih terlatih sehingga semakin terasah kemampuannya dalam menguasai suatu materi ajar.

PR memang seringkali dianggap sebagai sesuatu hal yang positif, baik bagi guru maupun bagi wali murid. Selain untuk lebih memantapkan kemampuan siswa, biasanya guru berharap PR bisa menjadi media agar orang tua lebih memerhatikan perkembangan belajar anaknya. Dengan PR pula, biasanya wali murid akan lebih senang karena anaknya mendapat aktivitas yang lebih positif di rumah. Daripada bermain permainan yang tidak berguna, lebih baik anak mengerjakan PR. Oleh karena itu, seringkali yang ditanyakan orang tua kepada anaknya ketika pulang sekolah adalah “Ada PR atau tidak?” Begitu juga di jam-jam prime time di petang hari yang biasanya orang tua memerintahkan anak-anaknya untuk belajar, pastilah PR salah satu hal yang akan dijadikan alat untuk legitimasi agar anaknya belajar, “Ayo belajar! Kamu ada PR gak ? Ayo dikerjakan sana PR-nya!” Begitu kira-kira kalimat perintah yang sering kita dengar dari orang tua kita dulu sewaktu memerintahkan kita untuk belajar.

Begitu pentingnya PR bagi wali murid, sehingga dulu ketika menjadi guru, saya sering ditelfon orang tua jika tidak memberikan PR untuk anaknya. Tak jarang pula, saya selalu diminta agar selalu memberikan PR setiap hari, agar anaknya mau belajar ketika di rumah, karena anaknya hanya akan belajar di rumah jika ada PR. Namun, jika tidak ada PR, maka seringkali anak hanya nonton TV dan main PS (Play Station) saja di rumah. “Ah, tidak ada PR kok, Mama. Ngapain belajar. Main dulu lah, masa’ belajar terus...” Begitulah kira-kira jika tidak ada PR bagi anak, orang tua seringkali harus menghadapai alasan semacam itu dari anaknya. Kalau sudah menghadapi alasan seperti itu, biasanya proses meminta anak untuk belajar pun akan mengalami kendala dan tidak berjalan mulus.

PR mungkin selalu dipandang positif bagi guru dan wali murid, tapi seringkali tidak demikian bagi siswa. Ketika masih sekolah dulu, seperti tabiat kebanyakan siswa pada umumnya, tentu saya sangat tidak suka jika dapat PR dari guru, apalagi jika PR itu adalah mata pelajaran matematika beserta soal-soalnya yang susah bukan main itu. Hampir bisa dipastikan saya yang sudah frustasi tak bisa mengerjakan soal-soal itu, langsung mengubah status PR (Pekerjaan Rumah) menjadi (Pekerjaan Sekolah) dengan cara bangun pagi-pagi keesokan harinya kemudian menyalin hasil kerjaan teman. Anda yang yang juga pernah mengalami hal demikian, jangan terlalu berkecil hati, karena saya yakin Anda tidak sendirian.^_^ Kejadian seperti ini pasti juga pernah dialami oleh sebagian besar orang yang pernah duduk di bangku sekolah. Setidaknya saya tidak sendirian ketika mengalami hal ini. Selalu saja ada juga teman yang mengerjakan PR di sekolah. Bahkan teman yang saya anggap terpintar dan ter-rajin sekalipun, juga pernah sesekali saya dapati mengerjakan PR nya di sekolah.

Namun anehnya, Perasaan terbebani, memusingkan, dan membosankan justru akan berkurang jika PR itu tidak berupa soal. Entah mengapa saya justru malah tertantang dan lebih menyenangkan jika PR itu berbentuk sebuah proyek seperti membuat hasta karya, membuat eksperimen dan pengamatan di rumah, atau membuat pementasan drama. Meski mungkin terkesan lebih merepotkan karena banyak aktivitas, namun justru saya lebih menikmati proses-proses PR dengan wujud seperti itu daripada menjawab soal-soal yang menjemukan.

PR yang berwujud project dan melibatkan banyak aktivitas ini, juga akan melibatkan peran orang tua. Biasanya orang tua juga akan turut membantu anak-anaknya dalam menyiapkan alat dan bahan, atau minimal menunggui anaknya. Jika PR itu berkelompok, biasanya ini juga akan lebih mendekatkan siswa dengan sesama temannya. Pernah dulu ketika saya mendapatkan project untuk pementasan drama, saya dan teman satu kelompok banyak menemui dinamika kelompok, konflik, perbedaan pendapat, ngambek, sampai akur kembali.

Di kurikulum 2013, jenis PR yang berupa project mulai dibiasakan di tiap harinya. Di bagian akhir tiap pembelajaran pada buku siswa selalu ada kolom “Kerja Sama dengan Orang Tua”, yang bisa digunakan guru sebagai PR untuk dikerjakan oleh siswa-siswanya. Di bagian kolom “Kerja sama dengan Orang Tua” berisi tentang instruksi penugasan yang harus dilakukan di rumah bersama orang tua. Gambar di atas adalah salah satu contoh pada buku siswa kelas empat tema 1, sub tema 1, pembelajaran 1. Jadi setelah seharian belajar tentang beberapa muatan pelajaran yang tercakup dalam sub tema “Keberagaman Budaya Bangsaku”, guru bisa memberi penugasan (PR) di rumah sesuai dengan instruksi yang ada di bagian “Kerja Sama dengan Orang Tua” seperti pada contoh di atas. Instruksi tersebut berisi aktivitas-aktivitas yang sangat sederhana agar orang tua juga bisa melakukan pendampingan belajar anaknya dengan mudah. Tentu saja, aktivitas itu disesuaikan dengan materi, jejang usia, dan kelasnya, seperti contoh pada buku siswa kelas 1 di bawah ini.

Model PR yang seperti ini tidak hanya berguna untuk memberikan variasi bentuk PR bagi siswa, tapi juga ingin melibatkan peran orang tua dalam proses belajar anak. Jika bentuk PR hanya berbentuk soal, seperti yang sudah sering kita jumpai sekarang ini, maka yang banyak kita jumpai adalah orang tua cukup memanggil guru les untuk membantu anaknya mengerjakan PR tersebut. Kalau sudah seperti ini, maka seringkali orang tua merasa sudah menuntaskan kewajibannya dalam mendampingi belajar anaknya. Tapi dengan variasi PR yang seperti ini, mau tidak mau orang tua harus mendampingi anaknya belajar, karena bisa jadi di keesokan harinya, kemungkinan guru kelas siswa yang bersangkutan akan menanyakan kepada semua siswanya apakah mereka sudah melakukan aktivitas bersama orang tua, sesuai dengan instruksi guru yang sudah diberikan sebelumnya.

Jadi, Sudahkah Anda melakukan aktivitas di kolom “Kerjasama Bersama Orang Tua” ini bersama anak Anda, Wahi Para Orang Tua ? Bagi para guru, sudahkah Anda memaksimalkan fungsi kolom “Kegiatan Bersama Orang Tua” di tiap pembelajaran Anda ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun