Saya bukanlah seseorang yang mudah untuk termotivasi. Setiap mengikuti kegiatan motivasi saya hanya mendengar lantas lupa apa yang dikatakan oleh motivator tersebut. Tak peduli dia motivator ternama ataupun terkenal sejagat raya. Saya menganggap mereka hanya mem”bacot” saja. Tidak kurang tidak lebih.
Berbeda jauh bila saya mendengar cerita sederhana dari orang-orang yang memang berjuang menjalani kehidupannya. Melawan segala keterbatasan yang membelenggu. Menatap masa depan dengan senyuman meski hidupnya dipenuhi teramat banyak beban. Beban yang mungkin terlampau berat bagi manusia pada umumnya.
Baru kemarin saya mendapatkan cerita yang agaknya menohok relung hati. Cerita yang membuat saya belajar lagi tentang makna bersyukur. Diawali dengan berita dari kawan saya saat masih MA yang mengatakan bahwa ada salah satu teman perempuan saya yang sedang sakit. Kemudian dia mengajak saya untuk ikut menjenguknya.
Akhirnya terkumpulah 7 orang yang akan menjenguknya. 4-nya adalah perempuan dan sisanya laki-laki. Kami berangkat dari bogor magrib-magrib menuju serpong dengan menaiki mobil pribadi. Kemacetan membuat kami sampai agak malam. Sedikit ada rasa “gak enakan” karena bertamu kelewat malam.
Sekitar pukul 21:30 akhirnya kami sampai. Disambut oleh senyumnya yang sebenarnya sedang menahan rasa sakit. Sebelumnya saya tak tahu sakit apa yang sedang diderita olehnya. Hingga akhirnya dia bercerita.
L.U.P.U.S . . .Ya, saya mendengar dengan jelas ketika dia mengatakannya. Lalu saya teringat bahwa lupus adalah salah satu penyakit yang belum ditemukan obatnya. Sebuah penyakit kekebalan tubuh. Pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu banyak antibodi yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Menjadikan penderitanya melemah secara perlahan-lahan dan kemudian . . . (saya tak mampu menulisnya).
Saya yakin dia amat terpukul ketika mendengar vonis tersebut. Sebuah vonis dari dokter yang secara tak langsung menyerupai vonis hakim kepada terdakwa yang dituntut hukuman mati. Namun terlihat jelas dimatanya optimisme untuk terus survive menjalani kehidupan. Membuat saya selaku orang yang masih sehat menjadi malu karena teramat jarang bersyukur.
Umurnya kisaran 20 tahun. Seharusnya itu adalah waktu dimana seorang manusia sedang semangat-semangatnya menjalani kehidupan. Masa dimana sudah tak ada lagi pengawasan yang berlebihan dari orang tua. Tapi Tuhan justru berkehendak lain. Lupus mendatangi kehidupannya. Merusak puzzle-puzzle kehidupan yang baru dimulai untuk disusun. Menjatuhkan sejatuh-jatuhnya harapan serta mimpi-mimpinya menuju titik nadir.
Tak terasa kami bercakap-cakap hingga pukul 11 malam. Mau tak mau kami harus pamit karena keesokan harinya masuk kuliah. Sungguh tergugah hati saya melihat kesabaran dan keikhlasannya. Sebuah momen yang takkan mungkin saya lupakan.
Dalam perjalanan pulang terbesit dalam benak saya bahwa sudah menjadi sebuah keniscayaan kita semua akan mati. Pada hakikatnya kita semua juga sudah divonis mati (oleh Tuhan). Hanya tinggal menunggu eksekusi.
~ Penulis adalah seorang mahasiswa yang sudah divonis mati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H