Mohon tunggu...
Sudut Langit
Sudut Langit Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Premis 1: nobodies perfect. Premis 2: i'm nobody Conclussion: i'm perfect

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lebih Baik Mati Saja

31 Desember 2013   19:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:18 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu bintang-bintang bersinar amat terang dan aku sedang berjalan menyusuri alun-alun kota. Aku selalu menyukai malam yang cerah, tetapi tidak malam itu. Langit terlihat membentang sangat luas, purnama duduk anggun di peraduannya, bumi terlihat seperti serpihan debu, dan aku hanyalah seonggok daging tanpa jiwa diantara miliaran orang asing.

Aku merasa menjadi orang yanggagal dan ibu yang sangat buruk. Sambil menangis aku mencoba untuk mencari-cari alasan mengapa aku harus mati malam ini. Terbersit dalam benakku cara yang paling mudah untuk mati. Setelah lama berkontemplasi, aku memutuskan untuk menabrakan diri dengan kereta. Aku menilai bahwa ditabrak dengan kecepatan tinggi adalah cara yang paling ringan untuk menemui malaikat maut.

Dari kejauhan aku melihat kereta commuter line berlalu. Aku meyakinkan diri untuk menabrakan jasad ini dengan kereta selanjutnya. Sekian jam menunggu namun tak ada kereta yang lewat. Aku tak tahu pasti apa yang sebenarnya sedang terjadi, akan tetapi fenomena ini tidak seperti biasanya. Akhirnya ku urungkan niatku untuk bunuh diri malam itu.

Aku berjalan menuju rumah. Sekarang jarum jam menunjukkan sudah pukul empat pagi. Perlahan-lahan rasa kantuk menyerangku. Jalanku mulai sempoyongan dan tak beraturan. Kebetulan kulihat mobil taksi menuju ke arahku dan spontan aku panggil taksi tersebut. Entah kenapa taksi itu tidak berhenti, mungkin supirnya tidak melihatku atau mungkin sudah ada penumpang didalamnya. Aku tak tahu pasti.

Sekian menit berlalu dan aku sampai di rumah. Aku berjalan ke kamar dan melihat putriku masih berbaring diranjangnya. Wajahnya hancur dan separuh badannya lumpuh. Selang infus masih setia menemaninya. Semakin lama kutatap wajahnya justru membuat diriku semakin bersalah. Puzzle-puzzle kejadian pahit itu kini kembali memenuhi ruang otakku. Dan keinginanku untuk tidur, lenyap begitu saja.

@@@

Ku dengar suara langkah kaki menuju ke arahku, dan sepertinya itu adalah langkah kaki ibu. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya. Kulihat topeng kecemasan menutupi seluruh wajahnya. Ingin sekali aku memanggilnya namun lisan ini terlalu kaku untuk berbicara. Lidah ini terlalu kelu untuk berkata. Ya Tuhan, aku hanya ingin menyapa ibuku.

@@@

Berulang kali kucoba untuk melupakan kejadian itu namun hasilnya sia-sia. Adakah sesuatu yang lebih getir dari ditinggalkan orang-orang yang kau cintai dalam satu waktu dan engkaulah yang menjadi penyebabnya.

Sulit sekali bagiku untuk melupakannya. Hari dimana aku, suami, mertua dan anakku mengalami kecelakan di jalan bebas hambatan. Ketika itu kami ingin berjalan-jalan ke jungle land. Mengantarkan sekaligus menyaksikan putri kami yang sedang mengikuti seleksi kejuaraan lomba renang nasional. Harusnya hari itu menjadi hari yang membahagiakan. Tapi aku justru menghancurkannya.

Berawal dari keinginanku untuk menjadi supir untuk perjalanan hari itu. Satu bulan sebelumnya aku mengikuti kursus pelatihan supir di dekat rumahku. Menjadi kesenangan tersendiri ketika hasil latihanmu membuahkan hasil. Entah kenapa ambisiku untuk menunjukkan kemampuanku kepada keluargaku begitu besar. Dan itulah awal kehancuran hidupku. Bukan saja hidupku, tapi hidup kami.

Sejak pertama kali aku duduk di kursi supir, suamiku mengingatkanku untuk berhati-hati. Lisanku mengiyakan nasihatnya namun sebenarnya aku tak benar-benar mengiyakan nasihatnya. Pikirku buat apa membayar mahal kursus pelatihan supir bila hanya mengendarai mobil dalam kecepatan standar. Kulaju mobil menuju akses jalan tol. Kubayar beberapa ribu rupiah untuk membayar jasa penggunaan jalan bebas hambatan. Penjaga loket itu tersenyum kepada kami dan mengatakan hati-hati. Berkali-kali kudengar orang mengucapkan kata “hati-hati” dan aku tidak berfirasat apapun mengenai hal itu.

Mobil ku kendarai dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Di kursi belakang putriku dan kakeknya bermain tebak-tebakan. Suamiku sibuk memperhatikan gadget-nya. Dia memang selalu disibukkan dengan klien-kliennya yang terkenal rewel. Dan aku mencoba untuk tetap fokus berkendara sambil mengobrol dengan suamiku ala kadarnya.

Mobil jeep hijau gelap didepanku berjalan melambat. Ku klakson namun tak terlihat adanya respon untuk meningkatkan kecepatannya. Ku coba untuk melewatinya dari arah kanan mobil tersebut. Ku tekan gas lebih kencang dan mobil itu berlalu begitu saja.


Beberapa saat kemudian mobil jeep tadi berada disamping kiri mobil kami. Jendela bagian depan terbuka dan kulihat sosok perempuan berkacamata hitam disana. Tanpa tedeng aling-aling dia membalap mobil kami dari sisi kiri. Membuat emosiku naik karena merasa dilecehkan dengan sikapnya yang seperti itu. Suamiku mengatakan untuk menghiraukan saja perempuan tadi. Tapi bagiku itu adalah penghinaan. Jelas sekali wanita itu ingin mencelakai kami.

Kali ini ku tekan gas lebih dalam. Mobil kami meluncur pada kecepatan 105 km/jam. Kucoba untuk mendahului mobil jeep itu dari sebelah kanan. Namun naas, ban depan mobil kami pecah. Mobil kami terguling. Dari belakang mobil-mobil lainnya menabrak mobil kami. Seketika itu pula aku pingsan tak sadarkan diri.

Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Kulihat adik laki-laki suamiku membaca tabloid kesehatan. Aku menggumam, kemudian dia menaruh bukunya dan langsung berdiri menghampiri ranjangku. Kutanyakan kabar suami, mertua dan anakku. Wajahnya memerah, sepertinya dia sedang dilanda amarah. Dia langsung memaki-makiku dan mengatakan bahwa aku sudah membunuh kakak dan ayahnya. Aku tak mampu berkata apa-apa. Hanya bisa diam dan menitikkan air mata.

Beberapa hari kemudian tubuhku pulih. Kini aku sudah mampu berjalan. Aku berjalan menuju ruang VVIP untuk melihat keadaan putriku. Kubuka pintu ruang perawatan putriku. Kulihat tubuhnya dipenuhi perban-perban. Aku tak kuasa membendung air mataku. Maafkan ibumu ini nak.

Seorang dokter perempuan menghampiriku. Dia mengatakan bahwa putriku sudah melewati masa kritis-nya. Namun dia juga mengatakan bahwa putriku akan lumpuh seumur hidup. Mendengar hal itu membuat hatiku seperti disayat-sayat. Seakan-akan langit dunia runtuh menimpaku. Semakin banyak aku tahu, semakin membesar rasa bersalahku kepada mereka yang telah ku hancurkan hidupnya.

Aku tak ingin membayangkan apa yang ada dibenak putriku. Tubuh yang sudah tidak normal. Wajah yang hancur dan terlihat seperti mumi. Dan ambisi menjadi atlit renang nasional yang kini harus dikubur dalam-dalam akibat keterbatasan. Nasibmu tragis sekali nak. Dan lagi-lagi aku hanya mampu mengucapkan “maafkan ibumu ini nak”.

Putriku sudah boleh dibawa pulang. Kini dia akan mengikuti rawat jalan. Namun hingga hari ini aku belum mendengarnya berbicara satu patah kata-pun. Hanya matanya saja yang melirik kesana kemari seakan-akan mencari sesuatu.

@@@

Tragedi itu terus berlanjut. Adik suamiku meminta harta warisan dariku. Katanya aku tak berhak menerima sepeserpun harta yang ditinggalkan oleh mertua dan suamiku. Dia mengatakan bahwa aku seorang pembunuh. Haram bagiku untuk memakan harta orang-orang yang telah terbunuh olehku. Dan aku hanya bisa diam dalam geram.

Adik suamiku bertingkah lagi. Sepertinya dia memanfaatkan situasi yang kami alami untuk mengeruk keuntungan. Bukan hanya hak-ku yang di ambil tapi hak putriku juga dia ambil. Seluruh harta kini dikuasai olehnya. Untungnya rumah yang kami tinggali saat ini atas namaku sehingga dia tak mampu menyentuhnya. Kami diperlakukan seperti sampah olehnya. Tak ada sedikitpun harta yang dia sisakan untuk kami.

Disaat suami dan mertuaku telah tiada. Disaat putriku membutuhkan biaya pengobatan. Justru adik suamiku menambah daftar panjang beban hidupku. Menyogok pengacara keluarga agar mau mengalihkan kepemilikan harta yang diwarisi kepada kami menjadi hartanya. Membuat depresi saya semakin berat. Ini bukan semacam kesedihan di “hari yang menyedihkan” tapi rasa putus asa yang mendalam, menguras tenaga, dan menghancurkan. Aku tak memiliki pekerjaan. Dari mana aku harus menghasilkan uang.

Aku dan putriku bertahan hidup berkat tetangga sebelah rumahku. Mereka selalu menyediakan makan serta obat-obatan untuk kami. Sungguh, aku bahkan tak terlalu mengenalnya namun perempuan tua berkerudung itu terlihat sangat tulus menolong kami.

@@@

Setiap pagi ibu menyiapkan makan untukku. Memastikan tak ada buku pelajaran atau bekal yang ketinggalan. Mencium pipiku sebelum aku berangkat kesekolah. Entah apa yang ada dalam benak ibu. Setelah kecelakaan itu ibu tak pernah menemaniku makan lagi. Jangankan mencium pipi, untuk urusan memberikan obat saja ibu menyerahkan tugas tersebut ke perawat.

Banyak sekali pertanyaan yang ingin kutanyakan pada ibu. Namun mulutku sulit sekali untuk bergerak sesuai dengan yang ku inginkan. Setiap ibu melewatiku hanya menggerak-gerakan tangan saja yang bisa kulakukan. Ibu hanya menatapku cemas lalu meninggalkanku begitu saja.

Belakangan ini aku tahu bahwa ayah dan kakek meninggal di kecelakaan itu. Sepertinya ibu merasa sangat bersalah. Pandangannya kosong dan hampa. Layaknya orang yang dilanda depresi berat. Ingin sekali ku hibur ibu dengan tebak-tebakan yang sering kumainkan bersama kakek. Namun ibu tak pernah mendekatiku. Sungguh, aku merindukan peluk hangatmu ibu.

@@@

Sudah sekian kalinya aku bermimpi dengan cerita yang sama. Suami dan mertuaku mendatangi rumahku kemudian memberikan kalung mutiara kepadaku. Lalu tiba-tiba adik suamiku mengambil kalung tersebut dan lari entah kemana. Ketika itu aku menangis, lalu suami dan mertuaku mengatakan bahwa rezeki tidak akan pernah salah alamat.

Kutanyakan arti mimpi itu kepada ustadz yang tinggal di komplek perumahanku. Beliau mengatakan bahwa warisan yang diambil oleh adik suamiku sejatinya adalah hak aku dan putriku. Cepat atau lambat harta warisan yang ada di adik suamiku akan kembali ke tangan kami. Dalam hati aku berkata “semoga”.

Ternyata apa yang dikatakan oleh sang ustadz benar. Adik suamiku kini mendekam di hotel prodeo. Dia terlibat perjudian dengan taipan asal Filipina yang ternyata adalah buronan internasional. Pengacara keluarga mendatangi kami. Dia menyerahkan kembali harta-harta yang sudah diambil oleh adik suamiku. Sejujurnya aku menyukai situasi ini. Semoga adik suamiku mendapat pelajaran yang setimpal di penjara.

@@@

Wajah ibu hari ini terlihat cerah. Sepertinya ibu sedang mendapat nasib baik. Dia menghampiriku kemudian menceritakan banyak hal. Diujung cerita ibu meminta maaf kepadaku. Sontak tangisan melengkapi kebahagiaan dihari itu. Tak sadar mulutku bisa mengeja sesuatu. Tak ada untaian kata yang pantas ku ucapkan saat itu selain “terima kasih ibu”.

Ibu masih saja menangis. Perawat yang berada disamping ibu memberikan beberapa helai tisu kepada ibu. Kulihat dia juga ikut menangis. Walau badan ini terasa masih sakit tapi hatiku sangat gembira. Walaupun kegembiraan ini masih terasa kurang lengkap karena tidak adanya kehadiran ayah dan kakek. Namun sungguh, aku berterimakasih kepada Allah yang telah mengirimkan bidadari tercantik untuk menjadi ibuku.

@@@

Setelah pengacara memberikan kembali hak atas harta peninggalan suami dan mertua. Tanpa pikir panjang kuhampiri ranjang putriku dan menceritakan banyak hal. Kulihat dia tersenyum meski rasa sakit yang menjalar ditubuhnya memaksa dia lebih keras untuk membuat senyum tersebut. Diakhir cerita aku meminta maaf kepadanya karena tidak pernah menemani hari-harinya ketika baru keluar dari rumah sakit.

Air mata mengalir di pipinya. Tiba-tiba saja dengan terbata-bata dia mengatakan “terima kasih ibu”. Membuat ketegaranku runtuh, air mataku deras mengalir tanpa henti. Perawat disampingku memberikanku beberapa helai tisu dan kulihat dia juga ikut menangis.

Kini kebahagiaan mulai mengisi celah-celah kosong yang ada di rumah kami. Membuat cat putih yang menghiasi dinding terlihat lebih mengkilap. Lampu-lampu yang menyala terlihat lebih terang. Dan suasana rumah kami menjadi lebih hidup. Keadaan rumah kami menjadi sangat berbeda ketika hak waris kami dipenuhi.

Dulu aku selalu menangis sampai tertidur. Kini semuanya bertolak belakang. Putriku sudah mulai mampu berbicara dan berjalan. Setiap detik kami lalui dengan keceriaan. Aku tak menyangka bahwa harta yang diwariskan kepada kami begitu banyak sehingga tak perlu membuatku harus mencari pekerjaan. Kemudahan ini membawa kami menuju kemerdekaan yang membahagiakan. Hidup memang bisa menjadi sangat sulit. Namun keyakinanmu kepada Allah akan menyelamatkanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun