Pemilu tahun 2014 semakin dekat, gema suasana meriah rakyat yang bersiap untuk mengorbankan suaranya untuk calon pemimpin negeri. Demikian halnya yang sedang booming di seluruh wacana politik di tanah air. partai A menyerang partai B, mencari-cari pelanggaran yang dilakukan partai lain. Saya pribadi heran dengan banyaknya partai di Indonesia yang nantinya akan bersaing pada pemilu 2014. Sedemikian banyaknya parpol sampai saya sendiri malas melihat daftarnya.
Indonesia yang saya kenal, berdasarkan dari pelajaran sekolah dasar sampai perguruan tinggi memiliki Pancasila sebagai ideologi atau dasar negara. Lalu bagaimanakah dengan Parpol yang berada di Indonesia? Sebagai warga negara yang baik dan merupakan sebuah lembaga politik di negara ber-Ideologi, seharusnya parpol memperhatikan dengan jelas tentang perlunya sebuah ideologi dalam tubuhnya.
Seperti dilansir pada http://www.tribunnews.com/nasional/2013/11/30/di-pemilu-2014-ideologi-partai-tidak-laku Pengamat politik dari Universitas Mercu Buana, Jakarta,Heri Budianto menilai bahwa “Partai politik yang hanya menjual ideologinya akan sulit bersaing dalam Pemilihan Umum 2014. Pengaruh ketokohan lebih menonjol dibanding ideologi parpol dalam pemilu mendatang”. Jika benar ideologi partai tak berlaku pada pemilu 2014, lalu apakah partai tak-ber-ideologi ini layak menjadi bagian dari Indonesia? atau mungkin dengan perubahan sistem politik yang kini sedang nge-tren dengan figur yang diidamkan masyarakat serta lembaga survey yang sengaja cari kerjaan ditengah sibuknya masyarakat, Indonesia akan melupakan ideologi?
Suatu hal yang sangat tidak mungkin jika Indonesia melupakan ideologi yang selama hampir 69 tahun dijaga meski dalam pelaksanaannya masih amat sangat kurang. Seandainya, pada pemilu 2014 nanti memang benar terjadi kebodohan masyarakat yang terjebak untuk melupakan ideologi bangsa tentu menjadi hal yang baik untuk mempersiapkan hancurnya dasar-dasar yang membangun negara. Seperti beberapa tokoh yang berpindah partai karena merasa tidak diuntungakan di partai lama, bahkan membuat partai baru, partai yang bisa dia kuasai nantinya. Sudah jelas patut dipertanyakan ideologi mereka, apakah partai yang mereka masuki itu untuk memajukan bangsa atau hanya untuk hura-hura. Masihkah akan dipilih orang-orang yang seperti ini? Banyak para pendahulu yang ber-ideologi memegang teguh dasar-dasar negara dan partainya nyatanya mampu membuat perubahan dan kompetitif di dunia politik. Tidak seperti sekarang, masuk partai hanya untuk mencari keuntungan. Merasa rugi atau tidak nyaman pindah seenaknya atau bikin baru. Semacam pemerintahan juga bisa bikin baru kalau dia bosan mungkin.
Saya yakin rakyat Indonesia tidak sebelah mata untuk menjunjung tinggi sosok atau figur hanya untuk mengorbankan masa depan sebuah negara. Perlu kita kaji ulang mereka yang semata-mata hanya mencari keuntungan untuk diri sendiri. Mereka yang sama sekali bisa dikatakan tak ber-ideologi hanya untuk memperbesar perut sendiri. Dimana asas sila ke-3 “Persatuan Indonesia” yang selama ini kita dendangkan saat melaksanakan upacara bendera. Sudahkah kita lupa bahwa Indonesia butuh kita semua? Bukan pemimpin yang merasa dirinya mampu memimpin! Tapi pemimpin yang mampu mengajak rakyat untuk bersama dan bersatu membangun tanah airnya.
Jika dalam “sejarah” tokoh atau figur tersebut saja sudah jelas tak ber-ideologi, kenapa masih dipilih? Mereka saja ibarat kacang lupa akan kulitnya pada saat mereka meninggalkan ideologi, sudah pasti mereka juga akan lupa kepada rakyat yang memilihnya kelak. “Ideologi aja gue tinggalin apalagi cuma rakyat”. Cek kembali tokoh dan figur anda sebelum pemilu, benarkah pilihan anda memegang teguh ideologi atau hanya sekedar bersembunyi dibelakang partai kuat dan mencari keuntungan untuk diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H