Ulos Batak “Ragidup”, Simbol Pengharapan
Tentang Pengharapan
Jangan sampai putus harapan, dalam bahasa Batak disebut mandele. Orang yang mandele sudah tak mau lagi berusaha, menyerah, martungkol isang – topang dagu. Esktrimnya orang yang putus pengharapannya, bisa melakukan tindakan maningkot – bunuh diri. Karena itu, tetaplah berpengharapan.
Dalam tradisi Batak, salah satu karya budaya yang sering diperlihatkan ke hadapan umum adalah ulos. Acara-acara bertema Batak, biasanya dilengkapi dengan kehadiran ulos. Sebagai generasi muda, saya biasanya melihat ulos sebagai hiasan belaka, ornamen atau dekorasi sebuah perayaan. Sedangkan makna yang terkandung di dalam karya budaya Batak tersebut tidak terlalu saya pikirkan.
Sikap demikian itu tentu bukan hanya ada pada diri saya, sebagian besar pemuda, baik yang lahir dan besar di kampung, maupun yang lahir dan besar di parserahan – perantauan, kurang lebih memiliki sikap yang sama tentang budaya Batak. Banyaknya perhelatan adat pernikahan di Jabodetabek yang menghadirkan ulos tidak serta merta memberikan pengetahuan yang cukup bagi pemuda seperti saya. Saya tidak hafal jenis-jenis kain tenun Batak tersebut.
Etimologi “Ulos”
Kucoba dulu menggunakan istilah etimologi ini. Baru pertama kali ini pun kucoba menggunakannya, setelah mengikuti bermacam tulisan di Kompasiana, lalu memastikannya di Wikipedia dan kbbi.web.id dan beberapa tautan dari mbah google. Semoga tidak salah saja, kalau salah nanti mirip orang yang banyak istilah dan malah membuat tak jelas apa yang dibicarakan.
Menurut T.M. Sihombing (1986/2000) dalam bukunya Filsafat Batak – Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat, kata ulos itu berasal dari kata “las”. “Las” dalam bahasa Batak artinya hangat (warm). Orang Batak hidup di dataran tinggi dengan suhu udara yang sangat dingin. Di kampungku Siborongborong misalnya, minyak sayur (minyak goreng) selalu membeku karena suhu dingin. Kopi panas tak perlu menunggu lama untuk bisa diminum karena dia cepat dingin. Suhunya mirip suhu di lemari es (kulkas). Lebih lanjut, menurut TM Sihombing, orang Batak sangat memperhatikan masalah kehangatan ini. Maka bisa disaksikan kampung-kampung yang dikelilingi oleh tembok tanah dan susunan batu yang ditanami bulu soratan dan bulu godang (bambu). Selain sebagai benteng pertahanan, bambu tersebut dimaksudkan untuk menahan hembusan angin, sehingga penghuninya nyaman dalam kehangatan. Hal demikian itu tercermin dalam sebuah sajak Batak: sinuan bulu sibahen na las (bambu ditanam sekeliling kampung untuk menjaga kehangatan).
Jadi ulos itu adalah kain tenun yang dimaksudkan memberikan rasa hangat bagi si penerimanya. Hangat tubuhnya, hangat pula dengan tondi – roh jiwanya (mangulosi daging, mangulosi tondi). Pemberian ulos selalu disertai dengan umpasa – syair doa dan harapan dari yang memberi kepada penerima ulos.
Siapa yang Berhak Mangulosi (Memberi Ulos)?