Merias Iblis dengan Puisi (Pebrianov dan DesoL)
Mendengar kata iblis, apa yang bisa kubayangkan? Iblis yang kukenal: jahat, jelek, seram, bertanduk (sibolis na martanduk), berbahaya, mencelakakan manusia dan dunia, dan sifat-sifat buruk lainnya melekat padanya. Iblis pertama yang kutahu adalah Lucifer, si malaikat pemberontak yang diusir dari langit (surga). Konon dialah pemimpin paduan suara yang memiliki ambisi untuk melebihi Tuhan. Iblis berikutnya berwujud ular, yang telah berhasil memprovokasi rasa ingin tahu manusia Hawa (Eva, pasangan Adam) untuk memetik buah sumber pengetahuan hal baik dan hal buruk. Karena memenuhi rasa ingin tahunya itu, Adam dan Hawa harus terusir dari Taman Eden, dimana mereka memulai kehidupan yang penuh kesulitan, mulai dari mencari makan, sampai sakitnya melahirkan keturunan. Cerita itu kuperoleh dari orang tua, dari guru agama dan guru sekolah minggu dulu. Karena itu, tak seorang anakpun yang ingin berjumpa dengan iblis, karena segala sifat buruk dan rupa menyeramkan yang disandang si iblis. Sampai limit tertentu, konon iblis diberi kuasa oleh Tuhan untuk mencobai manusia, karena itu manusia harus kuat agar terhindar dari bahaya karya iblis. Kisah pencobaan bertubi-tubi oleh iblis kepada manusia, pernah saya dengar dari guru sekolah minggu, seorang hamba yang dicobai berkali-kali oleh iblis, dialah Ayub. Ayub menang melawan iblis!
Di Kompasiana, tidak banyak yang memperbincangkan iblis. Paling tidak sependek keterlibatan saya membaca dan menulis di Kompasiana, tidak banyak saya menemukan kata iblis. Lagi pula beberapa Kompasianer tak percaya iblis sama tidak percayanya dengan Tuhan. Hingga beberapa hari terakhir ini, iblis hadir dengan riuh, mewarnai Kompasiana.
Adalah kompasianer Pebrianov dan DesoL yang membawanya ke Kompasiana. Iblis didandani, dirias begitu rupa, dalam puisi yang indah mereka bertempur saling menikam dengan kata-kata iblis yang berlendir dan bernafsu banal. Membaca puisi kompasianer berdua ini, saya seperti menonton pertunjukan kungfu yang diputar dari VCD VHS Beta di warung kopi terminal Siborongborong. Ditingkahi suara dari toa, agen Sanggul Mas dan Makmur yang memandu Bus Antar Kota itu masuk dan keluar terminal, menaikkan dan menurunkan penumpang, sementara pedagang ombus-ombus dengan kereta angin merapat mendekati setiap bus yang datang. Kami para remaja SMA dengan karcis segelas tes manis asyik menonton jurus-jurus indah dalam film kungfu yang diputarkan. Sedikit adegan percumbuan sudah cukup melesatkan pesawat imajinasiku, membayangkan hal-hal yang lebih panas, seperti kubaca dalam stensilan.
Sungguh, perang puisi Pebrianov dan DesoL telah merantai iblis menjadi makhluk yang manis, menari-nari dalam rangkaian kata-kata puitis, bercampur lendir nafsu banal yang berkali-kali disebutkan. Belati-belati tajam menjadi tak menakutkan, silaunya malah mengundang birahi untuk berlama-lama menikmati puisi.
Tapi, saya masih ingin mewanti-wanti. Cukuplah iblis sampai disini, di Kompasiana ini dirantai puisi. Jangan tergoda membawanya mendarat di ranjang hotel transit, atau di kamar kontrakan dalam perjalanan ke pedalaman (seperti komen beberapa kawan). Jika itu terjadi, iblisnya bisa terlepas, mewujud menjadi lendir nikmat, berakhir dalam sesal. Jagalah rasa ingin tahu-mu, rasa penasaranmu, ingat Eva di Taman Eden, tak tahan dengan rasa penasarannya, dan akhirnya dia memetik buah terlarang itu.
Hehehehe, kalian keren!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H