Kemarin, tanggal 2 Januari 2014 saya membaca sekilas berita online. Seseorang yang berurusan dengan KPK meminta agar dompetnya yang bermerk "P" dikembalikan oleh KPK. Rupanya barang bermerk mahal tersebut turut serta diambil oleh KPK dalam proses penyidikannya.
Tentang dompet, dompet saya juga bermerk, dari kulit katanya, baru saya ganti beberapa bulan yang lalu. Dompet kulit obralan dari pelataran basement sebuah mall di Jakarta. Kukira dengan mengganti dompet, akan membuat arus kas masuk ke dompetku bertambah, eh malah semakin sepi. Sering kosong dia dari mata uang.
Tentang dompet juga, teringat pula saya kebiasaan emak-emak di kampung jaman saya masih kecil dahulu kala. Waktu itu presiden kita masih Pak Harto, menteri penerangan masih Pak Harmoko. Waktu itu Pak Harmoko suka mengumumkan harga bahan pokok semisal cabe keriting dan kol gepeng. Konon katanya harga-harga saat itu terkendali. Beda dengan zaman sekarang, dimana konstitusi yang tidak menganut pasar bebas terpaksa tunduk kepada kemauan pasar bebas, sehingga harga-harga sulit dikendalikan oleh pemerintah, tetapi dikendalikan oleh pasar (bebas).
Lho kok malah ngelantur ya.
Kembali ke dompet emak-emak di kampungku jaman saya masih kecil dahulu kala. Waktu itu nama-nama menteri dan posternya dipampang di dinding kelas. Lha balik lagi.
Jadi begini, tentang dompet ini sudah pernah kutuliskan dahulu kala di Kompasiana tercinta ini, ajang diskusi online paling bergengsi, menurut saya sendiri. Tapi barangkali masih relevan dengan masa sekarang apalagi banyak kompasianer baru yang belum sempat membaca tulisan saya yang sangat menarik itu, menurut saya sendiri juga.
Kalau di kota-kota besar, kecil, dan sedang, biasanya orang-orang mengantongi dompet, atau memasukkan dompet ke tas tangan. Tas dan dompet juga bermerk tertentu. Merk-nya biasanya bukan Bahasa Indonesia, bukan juga salah satu Bahasa Daerah kita. Tetapi bahasa asing seperti Italia, Inggris atau Prancis. Tas dan dompet menjadi bagian dari gaya berbusana.
Di kota-kota besar terutama di tempat keramaian seperti pasar, halte bis, di dalam kereta api, di dalam bis bahkan di angkot, tas dan dompet menjadi sasaran profesional copet. Mereka bisa memindahkan benda-benda tersebut ke tangan mereka beserta isi-isinya, sampai yang punya hanya bisa bengong dan bermuram hati.
Beda dengan emak-emak di kampungku dulu. Mereka jarang memakai tas tangan karena mereka harus membawa keranjang atau karung membawa hasil pertanian. Mereka jarang sekali harus bergaya busana. Busana tak lebih dari alat penutup tubuh. Asal jangan terlalu jelek-lah, kira-kira begitu. Tali dompet mereka dikancingkan ke tali kutang dengan peniti. Tak akan kelihatan kalau mereka membawa dompet. Copet profesional pun akan sulit mengambilnya, karena si dompet dikancingkan dan bersemayam di "dada" pemiliknya. Sentuhan ke daerah itu tentu akan berakibat fatal, di kota disebut tindakan pelecehan seksual.
Jadi relatif amanlah si dompet itu dari incaran pencopet.
Dompet itu tidak bermerk. Hanya terbuat dari kain, berupa kantung. Seperti kantung hand phone jaman sekarang. Kalau tidak salah bahasa kotanya "pouch" ya?